Banyak hal yang terjadi dalam pendidikan, entah itu secara global atau khususnya di dalam lanskap Indonesia, telah menuai banyak kritik dan memunculkan sejenis kesepakatan umum bahwa suatu perubahan yang radikal harus dilakukan.

Proses pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia memiliki banyak tingkat yang berlangsung selama 12 tahun atau lebih. Beberapa kalangan masyarakat yang beruntung bahkan memiliki kesempatan untuk meneruskan dan mengerucutkan bidang studinya dalam ranah pendidikan tinggi.

Lamanya waktu yang harus dijalani atau bahkan biaya yang harus dikeluarkan semestinya menghasilkan sesuatu yang sepadan. Harapan yang begitu besar pun juga seyogianya dapat terealisasikan.

Tetapi ada yang sepertinya salah. Proses yang begitu lama atau biaya yang besar tidak menjadi jaminan akan esensi pendidikan tersalurkan dengan baik. Tenaga, waktu dan harta yang terkuras tidak bersandingan selalu dengan hasil.

Salah satu hal yang sangat penting dalam pendidikan adalah rasa keingintahuan. Perasaan itulah yang sejatinya menjadi inti dalam proses pendidikan. Tanpa seorang guru menumbuhkan rasa keingintahuan kepada muridnya, usaha guru tersebut tidak menimbulkan siknifikansi yang besar dalam kehidupan seorang murid.

Seorang anak kecil yang lugu dan polos sering sekali membuat orang dewasa menjadi gusar dan sedikit terganggu oleh berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan oleh anak itu. 

Rasa keingintahuan adalah suatu perasaan yang sudah muncul dalam diri seseorang sebagaimana ia saat bayi mencari air susu ibunya ketika lapar. Perasaan itu sangat fitrah, karena sejatinya manusia ingin memahami realitas dan bahkan memahami dirinya sendiri dengan pemahaman yang penuh.

Tapi sayangnya, semakin ia dewasa, semakin pula ia lupa akan fitrah tersebut. Manusia dewasa telah disibukkan berbagai macam pekerjaan dan pencapaian-pencapaian semu dalam hidupnya. Mengapa saya bilang semu? Karena pencapaian semu tersebut, bukan berarti harus dinegasikan, adalah tidak bersifat mendasar pada hidup manusia.

Secara natural, manusia hidup ingin memahami realitas dan hidup berdasarkan realitas itu sendiri. Semakin ia memahami realitas, semakin pula ia merasa dirinya bahagia. Manusia dewasa memiliki berbagai macam pekerjaan sehingga lupa untuk sejenak merenung dan mempertanyakan segala hal dalam pikirannya yang sekiranya ia hanya menerima tanpa memikirkan lebih dalam.

Ketika rasa keingintahuan manusia dinyalakan, manusia akan bertanya sedemikian rupa sehingga ia paham tentang berbagai persoalan. Sayangnya, dalam pendidikan, terutama yang bersifat formal, jarang sekali para guru menyentuh titik dasar ini.

Mungkin, penulis mengira, para guru memiliki berbagai macam pekerjaan sekolah, daftar panjang kurikulum yang harus disampaikan, dan murid yang sangat banyak untuk diajarkan.

Para murid pun menjadi lupa dengan fitrah tersebut karena tugas yang sangat banyak, emosi yang belum stabil, kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan, yang menurut penulis penting, mind-set tentang menjadi seorang penuntut ilmu yang baik.

Sekolah menuntut para murid untuk selalu taat, mengerjakan tugas dengan baik dan mendapatkan nilai tinggi setiap semester. Sekolah lupa bahwa tugas terpentingnya adalah meningkatkan rasa keingintahuan dalam diri murid. Jika tidak, para murid hanya menjadi robot berbentuk manusia yang hanya menyimpan berbagai macam informasi tanpa memiliki rasa keingintahuan dan berpikir kritis.

Penulis tidak ingin berbicara tentang peningkatan kreativitas dan berbagai hal lainnya yang menurut penulis semuanya itu berpangkal pada rasa keingintahuan. Kreativitas, semangat belajar, dan bahkan akhlak bersandar pada rasa keingintahuan. Seorang murid yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi pastinya akan memiliki ketundukan yang penuh pada seorang yang berilmu. Ia akan terus mencari dan menaati gurunya. Semangat belajar dan kreativitas akan tumbuh dengan sangat subur.

Jika seorang murid tidak memiliki perasaan ini, maka ia akan menyepelekan gurunya, semangat belajar akan hilang begitu saja apalagi kreativitasnya. Ia hanya mengikuti rutinitas belaka dan akan menjadi bangga pada pencapaian-pencapaian semu. Apalah arti kebahagiaan material pada diri penutut ilmu dibandingkan jika berbagai macam pertanyaannya yang membuat ia gusar terjawab dengan sangat memuaskan.

Penulis ingin mengatakan bahwa tidak lah itu sebuah kepuasan yang tinggi jika hanya dapat nilai besar saat ujian semester atau lulus dengan predikat tinggi. Sokrates, seorang filsuf yunani kuno, pernah berkata; “Hidup yang tidak diuji atau dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak”.

Metode menghafal, ketaatan yang berlebih, berbagai pelajaran yang tidak terealisasi dengan murid sebaiknya mulai untuk dikurangi. Kesemuanya itu diganti dengan suatu metode pengajaran yang membangkitkan rasa penasaran murid terkait sesuatu hal sehingga antara dirinya dan objek pengajaran itu ada suatu relasi yang sedemikian rupa sehingga dirinya terbangkitkan untuk mencari lebih lanjut.