Lebaran kurang 8 hari lagi, itu berarti batas maksimum pengusaha memberikan THR hanya tinggal besok. Yang mana itu berarti banyak karyawan yang akan mendapatkan uang lebih dibandingkan bulan bulan biasanya.
Momen Ramadhan kali ini tentu saja tidak jauh beda dengan tahun kemarin. Pemerintah masih membatasi arus mudik, dan masih mengingatkan terus menerus kepada warga negaranya untuk selalu mematuhi protokol kesehatan karena COVID-19 belum selesai.
Puasa sendiri, dalam artian jika hanya diterjemahkan menahan lapar dan dahaga, sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi peradaban manusia.
Puluhan ribu tahun yang lalu ketika manusia masih berburu & meramu, maka sudah menjadi hal yang wajar jika di beberapa waktu nenek moyang kita menemukan makanan yang berlimpah, dan di beberapa waktu tertentu tidak menemukan makanan sama sekali. Pada akhirnya nenek moyang kita pun terpaksa dalam hal ini menahan lapar dan dahaga dengan waktu yang mungkin tidak ditentukan.
Bagi umat islam, tentu mengimani bahwasanya puasa di bulan Ramadhan bagi umat islam bukan hanya menahan lapar dan dahaga seperti nenek moyangnya terlebih dahulu, melainkan juga menahan hawa nafsu.
Budaya konsumerisme sendiri dalam pandangan kemajuan bukanlah budaya yang memalukan, dan seperti halnya budaya-budaya lain, Konsumerisme bukanlah budaya yang tiba-tiba turun dari langit, melainkan perkembangan dari kemajuan umat manusia.
Konsumerisme tentu tidak lepas dari perkembangan kapitalisme yang mana alih-alih membuat manusia di jurang kekurangan, kapitalisme membuat manusia hidup di era keberlimpahan hingga membuat manusia merasa kurang, kurang, dan tidak pernah merasa cukup.
Budaya konsumerisme di Indonesia sendiri semakin terlihat di momen-momen menjelang hari Idul Fitri seperti sekarang dengan ditandai semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok, maupun pakaian.
Tentu saja ini tidak bisa kita benturkan dengan niat Pemerintah yang mendorong supaya daya beli masyarakat meningkat. Mengapa? Karena meskipun memang saling berkaitan, tetapi seyogyanya bisa dipahami secara bijaksana.
Ini seperti yang saya utarakan di atas, budaya konsumerisme alih-alih terlihat sebagai budaya yang memalukan, justru menjadikan budaya ini terlihat seolah membangun kemajuan karena membuat umat manusia untuk merasa kurang dan kurang dalam hal membeli apapun dan akhirnya menggerakan ekonomi yang semakin besar.
Hasrat merasa kurang dan kurang ini bisa juga kita lihat saat kita terkadang lupa diri waktu berbuka puasa dengan membeli makananan sebanyak mungkin, dan memakan sebanyak mungkin hingga merasa kekenyangan. Mungkin benar kata sebagian orang, kalau berbuka puasa merupakan saat yang tepat untuk berbalas dendam ketika seharian dalam keadaan kelaparan.
Ini juga semakin terlihat ketika hari lebaran semakin dekat seperti sekarang, pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak, baik pusat perbelanjaan modern seperti mall, maupun pasar tradisional. Orang2 berbondong-bondong untuk membeli pakaian2 baru, jajan untuk persiapan lebaran, hingga membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita perlukan dalam waktu dekat.
Prioritas berbelanja untuk lebaran seharusnya bisa dikelola lebih bijak lagi, terlebih untuk kita yang lebih memilih belanja di pusat berbelanjaan secara tatap muka. Selain untuk menghindari kerumunan untuk menghindari penyebaran virus covid-19 yang belum reda, tentu kita tidak ingin usaha kita sejauh ini dalam hal menekan covid-19 menjadi sia-sia seperti di negara tetangga yang kita tahun hari ini dihadapkan masalah covid-19 yang lebih besar.
Sebenarnya ini bisa di atasi dengan mencatat belanjaan dengan perhitungan yang matang tentang seberapa prioritas barang yang memang akan kita beli sebelum berangkat ke pusat perbelanjaan, supaya waktu yang kita habiskan di mall bisa secara efektif.
Berbelanja secara online sebenarnya memiliki kelebihan karena di saat kita memilih-milih apa yang kita beli, kita bisa masukkan keranjang terlebih dahulu, dan mendiamkannya sesaat untuk memberi waktu kita berpikir apakah kita memang harus membelinya?
Jika hal-hal yang seperti saya contohkan di atas untuk mengurangi sifat sembrono kita dalam membeli ini kita tidak lakukan. Tentu yang kita khawatirkan akan terulang dan terulang lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita melupakan hakikat bulan Ramadhan dalam hal mengontrol hawa nafsu kita dan menyuburkan sifat tidak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki.
Maka tidak heran, alih-alih pengeluaran di bulan Ramadhan semakin menurun, justru yang ada pengeluaran terlihat semakin banyak hingga akhirnya melebihi bulan-bulan selain Ramadhan.
Sifat manusia yang merasa kurang dan tidak pernah merasa cukup dalam hal mengkonsumsi apapun tentu tidak bisa hanya dilihat sebagai bagian dari kedangkalan berpikir umat manusia.
Meskipun mudah saja kita menghakimi mereka yang mana mereka umat manusia mengetahui kebutuhan kalori harianya, tetapi umat manusia ini masih saja mengkonsumsi sebanyak mungkin hal yang bisa dikonsumsi tanpa melihat batasan dirinya sendiri sehingga menimbulkan misalnya obesitas.
Saya sendiri melihat fenomena ini tidak bisa dilepaskan gen manusa hari ini yang mewariskan gen dari nenek moyang kita yang di puluhan ribu tahun lalu harus bersikap segera menkonsumsi yang ada sebanyak mungkin karena mungkin hari esok kita tidak menemukan makanan selezat hari ini.
Budaya konsumerisme di bulan Ramadhan memang sebaiknya harus kita lihat dengan cakrawala yang lebih luas, alih-alih hanya sekedar menghakimi umat manusia terlebih umat islam sebagai umat yang tidak bijak, kita harus mengetahui juga motif yang membelakangi sifat tidak pernah merasa cukup.
Ini bukan berarti membenarkan sifat konsumerisme, tetapi lebih luas dari itu. Umat Manusia, terlebih umat islam yang mengamini bahwasanya puasa tidak hanya dipahami hanya sebatas menahan lapar, dan dahaga, melainkan hawa nafsu. Ini bisa kita impelementasikan dalam sikap yang tidak gegabah dalam membeli sesuatu, merasa cukup jika sudah memiliki, dan bijak dalam hal mengelola keuangan. Ingat, segala hal yang berlebih merupakan hal yang dilarang dalam Islam.