Jika kita memperhatikan dengan seksama rangkaian sejarah panjang tentang bagaimana Allah menciptakan manusia, tentu kita akan menemukan kisah tentang Nabi Adam AS sebagai manusia pertama yang dibekali oleh Allah dengan ragam kemuliaan yang melekat pada dirinya.
Diantara bentuk kemuliaan yang melekat pada Nabi Adam tersebut adalah berupa pengetahuan atas segala hal yang telah Allah ciptakan, sehingga hal tersebut menjadikannya sebagai makhluk yang paling mulia diantara seluruh penghuni surga, termasuk diantaranya beliau pun lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Iblis yang pada mulanya Allah memberinya kemuliaan, karena kesungguhannya dalam melakukan ruku’, keunggulannya dalam bersujud maupun dalam kemanahannya dalam menjaga seisi surga, sehingga ia pun digelari oleh Allah dengan rangkaian gelar ar-raki’, as-sajid, dan kanizul jannah.
Keutamaan yang Allah hiaskan kepada Nabi Adam inilah yang rupanya menjadikan Iblis merasa iri kepadanya. Lantaran ia merasa bahwa ia yang pada awalnya menjadi yang terbaik di negeri surga, sekarang harus bergeser posisinya setelah Allah menciptakan Nabi Adam. Sikap iri yang dilandasi dengan sifat sombong, ‘ujub, takabur inilah yang kemudian semakin menjadikannya sangat hina di hadapan Allah SWT.
Derajat penuh kehinaan di hadapan Allah inilah yang kemudian menjadikan Iblis justru semakin terbuai untuk menjerumuskan Nabi Adam dan keturunannya agar mereka kelak bernasib sama seperti dirinya, sehingga ia pun tak henti-hentinya berusaha agar Nabi Adam, keluarga dan anak turunnya terusir dari surga dan menjadi makhluk yang tersesat di muka bumi karena terjerat oleh segala bujukannya.
Diantara bentuk upaya yang dilakukan oleh Iblis untuk menipu Nabi Adam dan keluarganya adalah dengan cara menghadirkan bukti-bukti, menyuguhkan argumentasi-argumentasi, data-data bahkan sikap seakan-akan bersimpati kepada Nabi Adam dan Siti Hawa, sehingga mereka pun akan percaya dengan apa yang ia terangkan. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Al-A’raf ayat 22 berikut:
فَدَلّٰىهُمَا بِغُرُورٍ
“Dia (Iblis) pun menunjukkan, membujuk Nabi Adam dan Siti Hawa dengan ragam tipu daya.”
Iblis bahkan tidak cukup melakukan tipu daya saja untuk menggelincirkan Nabi Adam, demi menghilangkan adanya sisa-sisa keraguan yang masih melekat dalam angan Nabi Adam dan sekaligus untuk semakin meyakinkan keduanya, Iblis pun bahkan berani bersumpah dengan menggunakan asma Allah agar mereka dapat meyakini bahwa apa yang ia terangkan kepada Nabi Adam dan Siti Hawa itu benar adanya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Al-A’raf ayat 21 berikut:
وَقَاسَمَهُمَا اِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ
“Iblis pun bersumpah kepada Adam dan Hawa seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk diantara penasihatmu yang sungguh-sungguh tulus.’”
Akibat jurus tipuan itulah kemudian Nabi Adam beserta isterinya (Siti Hawa) harus diusir dari surga akibat melanggar apa yang telah Allah larang sebelumnya. Akan tetapi, karena Nabi Adam dan isterinya melakukan kekhilafan tersebut bukan karena kesalahan mereka semata, melainkan akibat bujuk rayu Iblis sebelumnya, maka Allah pun masih mengasihi mereka dengan membekali keduanya doa dan kesempatan untuk bertaubat kepada Allah yang akan menjadi penenteram hati mereka semasa menjalani ujian di alam dunia. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Al-Baqarah ayat 37 berikut:
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍۢ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Nabi Adam menderaskan kalimat-kalimat yang sebelumnya telah ia terima dari Tuhannya, lalu Allah pun menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Dengan memahami kisah tentang Nabi Adam tersebut kiranya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa akan selalu ada ragam tipuan yang sewaktu-waktu bisa saja hadir dalam kehidupan kita dari mana saja arahnya, di mana tujuan dari tipuan tersebut adalah untuk menggelincirkan kita dalam kehinaan-kehinaan dan penyesalan.
Tipuan tersebut bahkan tidak jarang ia bisa saja hadir dengan rupa yang sangat samar dan seakan hampir mirip dengan wujud kebenaran, karena ia dikemas dengan menggunakan data-data, dibungkus dengan bukti-bukti, argumentasi-argumentasi, bahkan perasaan-perasaan yang seakan-akan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
Selain itu, sebagai upaya untuk menggoyah keyakinan pihak lain tersebut—khususnya dalam hal ini bagi orang-orang yang beriman, tidak jarang Iblis beserta sekutunya yang hendak melakukan muslihat itu melengkapinya dengan sumpah-sumpah, sehingga dapat semakin meyakinkan siapa saja yang tengah memperhatikan penjelasan mereka.
Akan tetapi, sebaik apa pun kemasan untuk menghias muslihat itu tentu tetap akan tampak wujud aslinya di masa kelak. Sebab tujuan utama dalam melakukan penipuan tersebut adalah untuk menjerumuskan pihak lain—orang yang beriman, sehingga mereka akan berada pada lembah kehinaan, keburukan dan penyesalan di kemudian hari.
Oleh sebab itu, sikap kita dalam memandang atau menilai apapun terutama seiring derasnya laju informasi ini adalah, kita tidak sepatutnya bersikap gegabah atau tergesa-gesa, terutama dalam mempercayai dan memutuskan sebuah perkara yang belum kita yakini kebenarannya.
Ada baiknya manakala kita masih merasa ragu dengan kebenaran informasi yang kita terima, maka kita melakukan klarifikasi, kita melakukan tabayyun atau pengecekan kembali secara seksama berita-berita atau informasi-informasi yang telah kita terima sebelumnya, sehingga kita tidak begitu saja menerima dan mempercayainya, apalagi kita sudah terlanjur menyebarkannya kepada pihak yang lain, padahal kabar itu adalah perihal yang tidak benar adanya. Berkait dengan hal ini, ada baiknya kita mencermati penjelasan dalam QS Al-Hujurat ayat 6 berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepada kalian dengan membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan, yang pada akhirnya justru kalian menyesali perbuatan itu.”
Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua, sehingga kita dapat selamat dari bermacam belenggu tipuan yang dihembuskan oleh iblis, setan dan bala tentaranya, sehingga kita dapat terus meniti jalan-jalan yang diridhai oleh-Nya. (*)