Hamparan Realitas

Sejak beberapa dasawarsa terakhir, aksi teror dan gerakan radikalisme yang ditengarai berbagai motif keagamaan dan SARA menjadi bumbu pahit dalam pemberitaan media nasional maupun mancanegara. Pada 11 september 2001 silam, WTC (World Trade Centre) AS luluh lantah oleh aksi pengeboman yang didalangi para ekstremis al-Qaeda. Tak ayal, AS pun menyatakan perang terhadap terorisme.

Dalam negeri pun berbagai aksi serupa telah beberapa kali terjadi. Tahun 2000, kedutaan Filipina untuk Indonesia dibom dan pelakunya diketahui sebagai yang juga terlibat dalam bom Bali I tahun 2002, dengan pelaku utamanya terpidana mati Amrozi cs. Juga, di tahun 2009, sembilan hari setelah Pilpres terjadi bom Mega Kuningan, di hotel JW Marriott Jakarta. Ragam peristiwa ini mengingatkan publik tanah air bahwa untuk hidup aman bahkan di negeri sendiripun tidak lagi mudah didapat.

Kejadian terakhir yang masih belum jauh dari ujung lupa adalah bom Sarinah di Jalan Thamrin Jakarta, 14 Januari 2016 lalu. Rasa aman yang mulai dirajut kembali tersayat oleh para penebar teror. “Menolak Takhluk!”, “Kami berduka, Kami tidak takut!”, demikianlah jargon-jargon media massa menyikapi aksi keji tersebut. Pun secara masif melalui jejaring sosial, banyak pihak menyatakan perang terhadap terorisme dan menertawakan ‘kegagalan mereka’. Tapi apakah dengan demikian terorisme serentak terkalahkan?

Sosiolog UNJ, Robertus Robet mengatakan bahwa respons untuk menunjukkan keberanian dan mementahkan tujuan terorisme memang bagus dan bermanfaat, namun menertawakan dan meremehkan terorisme adalah tindakan yang gegabah dan keliru (Kompas, Senin, 26 Januari 2016, hlm. 6). Sebab, radikalisme dan terorisme merupakan tindakan fondasional, yang perlu rujukan sebelum diaktualisasikan dalam tindakan. Radikalisme dan terorisme adalah wajah nampak dari suatu paham ‘Fundamentalisme Agama’ yang mana diungkapkan Karen Amstrong sebagai salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20.

Karena itu pentinglah mencari jawaban bagi pertanyaaan-pertanyaan ini: Apa itu fundamentalisme agama dan alasan-alasan yang melatarbelakanginya? Apakah membunuh demi membela iman atau membunuh yang tidak seiman dengan dalih memurnikan iman adalah tindakan religius? Serta bagaimana kita bersikap dalam upaya men-deradikalisasi gerakan ini?

Radikalisme sebagai Ekspresi Fundamentalisme Agama

Term fundamentalisme berakar pada kata bahasa Latin, yaitu fundare yang berarti mengalaskan, mendasarkan, menegakkan dasarnya, memegang teguh pendirian dan prinsip-prinsip dasar. Manakala dikontekstualisasi dalam kerangka pemikiran dan praksis hidup beragama istilah fundamentalisme diartikan sebagai semangat untuk mengikhtiarkan kembalinya seluruh paham dan praksis hidup beragama pada dasar, asas agama, dan mengacu pada otoritas legal seperti Kitab Suci dan tradisi suci agama yang bersangkutan. Sehingga, terminologi fundamentalisme seringkali dipakai dalam kesepadanan dengan kata skripturalis.

Secara historis, istilah fundamentalisme lebih mengarah pada agama Kristen sebagai gerakan untuk melawan para teolog modernis liberal, sekularisasi dan tantangan ilmu pengetahuan. Sementara dalam Islam pada mulanya lebih menyoal fenomena sosial-politik yang kemudian berubah menjadi fenomen keagamaan. Fundamentalis (skripturalis) Islam adalah mereka yang memegang teguh keimanan pokok Islam, khususnya mengenai al-Quran dan Hadits yang dilihat sebagai suatu entitas yang sempurna, suci dan datang dari Tuhan dan sama sekali terhindar dari berbagai kemungkinan kritik (Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam).

Latar Belakang Fundamentalisme Agama

1. Reaksi Atas Modernisme dan Sekularisasi

Modernitas ditandai oleh beberapa hal diantaranya rasionalitas, pluralitas dan kemajuan di segala bidang kehidupan. Cakrawala berpikir kaum modernis yang berciri rasionalis mendobrak dogma-dogma agama dan kekuasaan feodal dengan penemuan-penemuan baru di bidang ilmiah. Orang berpikir secara bebas, dan berdampak pada pengakuan akan kemajemukan (pluralitas) dan heterogenitas.

Sementara sekularisasi membawa pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, antara yang duniawi dan akhirat. Juga lebih tegas dikatakan sebagai dorongan-dorongan ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Urusan agama berubah haluan menjadi urusan privat yang terpisah dari negara, dari panggung politik, sosial, dan segala macam urusan duniawi. Fenomen ini menggeser peran institusi agama yang selama ini menjadi pemberi arah dalam kehidupan umat. Penekanan berlebih atas otonomi diri manusia berkonsekuensi akan terlemparnya nilai-nilai agama dari kehidupan, pun lebih jauh manusia tidak lagi mengakui ketergantungannya kepada Tuhan.

Dari kenyataan di atas jelas bahwa modernisme dan sekularisasi menjadi ancaman serius bagi religiositas dan menyebabkan krisis makna hidup dan moralitas. Di sinilah fundamentalisme hadir untuk menegaskan kembali identitas awali yang tergusur yakni agama (Dr. Martin Harun, OFM: 1996, hlm. 9). Paham ini kemudian melahirkan usaha pemurnian ajaran dan sekaligus memunculkan permusuhan terhadap pihak lain dengan memandang ‘yang lain’ itu, yang tidak sealiran sebagai kafir.

2. Memanipulasi Iman dan Tafsiran Doktrinal Atas Kitab Suci

Sesungguhnya setiap agama adalah ajaran yang suci, jalan damai, kemuliaan dan penghargaan tertinggi bagi kemanusiaan. Namun, kaum fundamentalis mengatasnamakan Allah untuk menyingkirkan sesama ciptaan. Karenanya baik kekerasan, teror maupun pembunuhan bukanlah sesuatu yang buruk dalam pandangan mereka. Mereka yakin semuanya itu demi Tuhan dan surga.

Secara normatif tindakan menghilangkan nyawa orang lain sama sekali bukanlah tindakan yang mencerminkan iman yang sejati. Itu merupakan tindakan areligius dan memanipulasi keyakinan religius demi kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Bagaimana mungkin keselamatan diperoleh dengan menegasi sesama? Bukankah keselamatan mencakup tiga dimensi: beresnya relasi dengan diri sendiri, sesama (alam ciptaan) dan Tuhan sebagaimana diamini al-Ghazali (M.M Syarif, M.A (ed.): 1998, hlm. 77).

Klaim kebenaran sempit yang didasarkan atas penafsiran teks-teks suci menjadikan radikalisme mendapat legitimasi teologisnya. Para radikalis dan teroris dalam tindakannya bukan saja bermotif pribadi, kelompok atau tujuan politik tertentu, melainkan penenuhan diri dalam tindakan dan doktrin yang diyakini benar. Ada dimensi teleologis dari tindakannya. Meskipun para fundamentalis yakin telah mendasarkan dirinya pada KS, malah yang terjadi justeru sebaliknya, fundamentalisme tidaklah didasarkan pada KS melainkan pada sejumlah penafsiran semena-mena oleh oknum-oknum berkepentingan. Singkatnya, fundamentalisme justeru menghilangkan fundamen itu sendiri.

3. Mengabaikan Sejarah

Kaum fundamentalis pertama-tama tidak menempatkan dan memahami Kitab Suci dalam konteks sejarahnya. Pendirian para fundamentalis yang menginterpretasikan KS secara literal dengan mengabaikan sejarah dan tradisi dalam dirinya sendiri sangat berbahaya. KS adalah Firman yang diwahyukan. Karena berupa Wahyu, maka sebuah sabda mesti didengar, perlu direnungkan, dan harus ditafsirkan secara terus-menerus. Umat beriman tidak mungkin mampu menangkap kehendak Tuhan tanpa memiliki kemampuan membaca sejarah dan pergulatan hidup yang dihadapi umat manusia, baik dalam perbedaan kurun waktu maupun lokus kebudayaannya. Karena itu suatu interpretasi mestinya memperhitungkan perubahan dan desakan zaman.

Upaya Deradikalisasi

Pengembangan sikap toleransi dan meredusir arus radikalisme menjadi target dari berbagai dialog yang gencar dilakukan para tokoh lintas agama dan para pemimpin internasional. ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) saat ini menjadi musuh bersama yang perlu diwaspadai dan gencar diperangi. Aksi radikal mereka serentak melahirkan Islamophobia, semacam serbuan narasi kebencian dan ketakutan terhadap Islam, karena radikalisme dan terorisme selalu dihubungkan dengan Islam (Fajar Riza Ulhaq, Kompas, 29 Maret 2016, hlm. 7). Sehingga di bumi Eropa, perang melawan terorisme dan radikalisme agama menjadi identik dengan penolakan terhadap Islam. Ini nampak dari pernyataan Donald Trump dan Ted Cruz, kandidat Presiden AS dari partai Republik, yang menyerukan kembali pentingnya membatasi dan mengawasi komunitas muslim di AS pasca bom Belgia. Keduanya mewakili sosok politisi Barat yang berpandangan bahwa Islam tidak bisa berdamai dengan nilai-nilai Barat.

Karenanya pandangan seperti ini, perlu hati-hati sebab bisa menjadi jebakan yang menyudutkan agama tertentu. Tindakan deradikalisasi dan penanganan terorisme lebih dari sekadar komitmen politik dan tuntutan mereformasi kultural, pun menepis anggapan bahwa pemeluk Islam tidak identik dengan ekstremis, tapi meningkatkan dialog dan toleransi antar umat beragama dan paling urgen adalah menjadi umat beriman yang solider.

Mendiang Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa masyarakat modern sebenarnya sangat membutuhkan agama. Agama menyanggupi manusia memaknai hidup dan kehidupannya, bersikap terbuka dan toleran. Kesalahan utama kaum fundamentalis adalah meredusir agama dan iman hanya dalam kebenaran-kebenaran doktrinal. Padahal, relasi terhadap Tuhan tidak semestinya mengeksklusikan manusia. Pemuliaan Tuhan ikhwalnya bermuara pada pembelaan kemanusiaan.

Karena alasan itulah, radikalisasi dalam modus apapun dengan dalih pembelaan iman atau agama harus ditolak, sebab jalan kekerasan tidak pernah sampai pada damai. Namun, mesti juga diingat bahwa potensi ancaman kaum radikalis dan teroris masih terbuka untuk kembali terjadi. Kewaspadaan dan kampanye daya tahan terhadap teror perlu ditingkatkan bukan saja secara sipil-militer, tapi juga secara sosial-keagamaan, sehingga upaya deradikalisasi menjadi sebuah keniscayaan.*

#LombaEsaiKemanusiaan