Saya senang sekali bisa menemukan situs blogging Qureta. Situs berbagi ide, cerita dan narasi-narasi kecil yang dikelola oleh non lembaga media mainstream. Semoga saja demikian, meski saya melihat nama Goenawan Mohamad di sini sebagai kontributor. Saya hanya bisa berharap agar situs ini memang benar-benar nantinya untuk merayakan keberadaan posmodernisme.
Merayakan kematian ilmu pengetahuan, melahirkan narasi-narasi kecil untuk kemajuan peradaban terutama peradaban Indonesia. Narasi-narasi kecil yang dulu hanya didiskusikan kalangan terbatas melalui diskusi kelompok di ruang-ruang sempit, mewujud ke ruang publik yang lebih luas. Ruang publik maya yang bisa diakses pengguna bahasa Indonesia di seluruh dunia.
Qureta sebagai alternatif landing page dari akun-akun media sosial. Bukankah, tradisi literasi Qureta tidak cukup 140 kata? Tradisi literasi qureta 700-1000 kata, tiap paragraf 5 baris. Melawan narasi besar memang membutuhkan narasi kecil melalui tradisi literasi. Tradisi literasi Qureta menulis dengan 700-1000 kata.
Kebiasaan orang yang mengaku dekat dengan akademik (dunia ilmu) itu menulis bukan tradisi oral atau cuap-cuap yang menjadi fenomena akhir-akhir ini. Facebook yang menyarankan menulis apa yang anda pikirkan dan twitter yang memotivasi menulis apa yang sedang terjadi, semoga tidak mengubah budaya literasi yang dekat dengan dunia ilmu.
Meskipun demikian, patut dihargai kedua situs jejaring sosial tersebut memilik peran berarti untuk menyalurkan ide-ide kecil kita. Seperti meme-meme lucu akun Facebook humor politik. Namun, kata-kata dan gambar-gambar dekontrusksi wacana tersebut hanya bisa dinikmati orang yang mengikuti akun-akun tersebut. Selain itu, tidak semua level intelektual bisa memahami apa maksud gambar tersebut.
Selama ini saya sudah cukup gembira menikmati karnaval pemikiran yang membebaskan dari narasi-narasi kecil melalui blog-blog dan situs sosial media, seperti Twitter. Dunia memang sudah berubah. Manusia sudah bergerak secara mondial. Teks-teks tidak lagi didominasi oleh struktur kekuasaan. Masyarakat melek internet sudah bisa bernegosiasi dengan kekuasaan. Struktur kekuasaan harus lebih hati-hati dalam memproduksi teks.
Namun sayang, kebanyakan penyedia situs blogging gratis banyak yang berasal dari luar Indonesia. Penyedia Indonesia sendiri baru ada di tahun 2008. Itu pun disediakan dari pengusaha-pengusaha media besar Indonesia. Saya hanya kuatir bila situs tersebut disediakan oleh media-media mainstream, situs blogging hanya berperan sebagai buzzer dari teks-teks media mainstream.
Situs blogging Qureta adalah harapan bagi saya yang merindukan karnaval pemikiran narasi-narasi kecil. Memang tidak mudah mengurus penyedia hosting blogging gratis. Diperlukan niat yang kuat untuk #merawatindonesia, memajukan peradaban Indonesia. Selain itu juga dibutuhkan manajemen yang baik, update perkembangan teknologi informasi web dan tentunya ditopang dengan pendanaan yang mandiri.
Sudah saatnya dunia blogging mengarah ke nalar kritis, membongkar teks-teks yang kini erat dalam genggaman kekuasaan. Marilah menuliskan hal-hal yang kita ketahui, menulis tentang pengalaman dan perasaan kita sendiri (J.K Rowling). Bukankah tradisi dunia ilmu demikian? Saya ingat dulu Galileo Galilei mencatat hasil pengamatan terhadap Matahari dengan bulatan Matahari dan titik-titik di sekitarnya. Dan titik itu dijelaskan oleh orang lain setelahnya.
Demikianlah tradisi meneliti dan menulis. Meneliti tidak takut benar dan salah. Meneliti itu adalah hubungan peneliti dengan yang diteliti. Tidak perlu takut untuk tidak dapat menjelaskan panjang lebar. Cukup menuliskan apa-apa yang berhasil diketahui dari hal yang diteliti. Yang perlu ditakutkan adalah menyampaikan kebohongan dari hal yang diteliti. Jadi, meneliti dan menulis tidak perlu jadi professor atau menyandang gelar master atau doktor.
Dunia blogging dengan nalar kritis bagi saya adalah wadah bagi para blogger untuk menuliskan apa adanya, dari pengetahuan sehari-harinya. Baik itu melalui bahasa puisi, esai atau bahasa ABG yang sedang tren saat ini. Melalui situs qureta ini saya mengajak net citizen untuk tidak takut menuliskan idenya melalui situs blogging. Mari kita menyumbangkan pemikiran yang tidak penting menurut kita demi kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Kita ubah tradisi oral menjadi tradisi literasi.
Membangun tradisi literasi melalui blogging memang sangat diperlukan saat ini. Tradisi tersebut dapat membentengi bangsa Indonesia dari pengaruh teks-teks kekuasaan yang menyesatkan. Terlebih dunia blogging, dunia literasi non mainstream yang mulai menjadi rujukan masyarakat luas. Saya tidak terbayang bagaimana jadinya bangsa ini ketika paham terorisme banyak tersebar melalui propaganda kekuasaan, bila tidak diimbangi tulisan blog.
Saya juga tidak terbayang bagaimana masyarakat memaknai kejadian teror bom kawasan Thamrin, Jakarta, tanpa tulisan dan kreatifitas kawan-kawan dunia sosial media. Banyak tulisan yang sepotong-sepotong, yang berusaha memproganda kebenaran-kebenaran aksi teror bom Thamrin. Tulisan-tulisan tersebut berusaha menyatakan bahwa aksi teror tidak ada, padahal telah memakan korban banyak. Tulisan-tulisan yang kebanyakan tanpa menggunakan nama atau anonim.
Melalui blog ini saya mengajak lebih banyak blogger yang berani memunculkan diri dan menuliskan ide-ide atau pikiran-pikiran kesehariannya. Menulis dengan berani menampilkan identitas, tanpa takut dicemooh tulisanya jelek. Bersedekah tulisan nilainya lebih besar daripada bersedekah harta, he he he. Terutama bagi saya yang belum punya uang banyak. Ayo kita bangun dunia literasi Indonesia. Mulailah menulis sekarang juga.