Jika kita perhatikan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, hal-hal yang dibicarakan dalam tiap “cerita”, terutama anak muda, melulu kekhawatiran akan masa kini yang tidak jelas pertaliannya dengan masa depan; pesimisme manusia akan waktu yang akan datang.

Mengeluh masalah kerja, mengeluh masalah keputusan, mengeluh masalah hari ini dan esok. Namun keluhan ini sepenuhnya soal-soal individu: soal dirinya sendiri; upaya untuk mengisolasi diri dengan urusan banyak orang.

Subjek ini lebih sering mempertanyakan eksistensi diri di hadapan dunia dibandingkan mempertanyakan kebenaran dunia manusia yang berefek pada eksistensi kedirian; ekonomi, keadilan, lingkungan hidup.

Akhirnya subjek terisolasi dengan perkara dunia sosial; suatu dunia yang justru dari sana subjek merasa kesepian dan merasa sendiri. “Subjek-isolasi” meninggalkan pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana sistem dunia yang baik bagi manusia?

Trend kesibukan diri menjadi masalah tersendiri masa kini. Alih-alih mengubah dunia, atau paling tidak menafsirkan dunia, “subjek-isolasi” justru sibuk memikirkan situasi batin.

Keterputusan pada dunia luar ini bukan tanpa dampak dan sebab.

Dampaknya bisa kita perhatikan dengan tidak pedulinya “subjek-isolasi” ini untuk urusan keumatan, terutama terkait dengan kemiskinan, ketidakadilan, kesetaraan, ataupun pemanasan global (global warming). Intinya soal politik.

Kesepian dan masalah eksistensi diri yang dari dunia luar itu terbentuk diabaikan oleh manusia macam ini. Problem kekacauan batin direduksi pada perkara diri sendiri, yaitu suatu kepercayaan tidak mampu menghadapi dunia yang sedang dia jalani. Padahal perkara batin adalah reaksi psikologis dari dunia eksternal. Jadi yang perlu diubah adalah dunia luar yang tidak adil yang menginstitusi batin manusia.

Namun, bagaimana bisa dunia luar diubah sementara “subjek-isolasi” sibuk dengan dunia batinnya? Perubahan mengandaikan ketidakterputusan subjek dengan dunia luar, dan pada akhirnya mempersyaratkan massa yang sadar.

Syarat mengubah kenyataan eksternal yaitu subjek harus “kerasan” dengan dunia luar, menjadikan dunia eksternal (masyarakat dan negara) sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan dunia individu.

Inilah yang sering disebut quarter life crisis; refleksi naïf akan ketidakberdayaan diri dan keterbatasan diri, juga ketidakpercayaan diri, mengenai keputusan yang telah dia buat dan akan dia buat.

Meski demikian, dalam fase-fase hidup kecemasan ini pastilah timbul. Namun tidak melulu seluruh perkara kecemasan dipahami sebagai perkara psikologi subjek yang terpisah dari perkara eksternal. Lalu menjadi problem ketika keyakinan ini dipahami sebagai persoalan utama umat manusia dan menjadi trend massa. Ini hanya akan mengakibatkan setiap orang terputus satu sama lain, setiap orang terputus dengan dunia sosial, akhirnya ketidakpedulian pada struktur yang lebih besar lagi.

Ketercerabutan individu dari dunia sosial bisa kita lacak sebabnya dari George Lucas, dalam analisisnya tentang kelahiran genre novel.

Bagi Lucas (seorang estetikawan komunis dan pemikirannya dianggap sebagai landasan tradisi Marxisme Barat), genre novel merupakan “ungkapan dari ketakberumahan transendental”. Ia mengidentifikasi “ketakberumahan” sebagai ciri khas bentuk novel dan membedakannya dari pendahulunya. Novel, kata Lucas, adalah puisi epik di zaman ketika kemenyuluruhan kehidupan tak lagi berarti secara langsung. Hanya ketika masyarakat tak lagi hidup dalam “kemenyeluruhan” maka bentuk novel terlahir. Kemenyeluruhan adalah kesatuan batin antara manusia dan dunia, antara diri dan lingkungan sekitarnya. Kesatuan batin semacam ini terwujud dalam masyarakat Yunani Antik. (Dikutip dalam buku Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, 2016: 604-605)

Manusia yang hidup dalam era Yunani Antik selalu berpikir dan hidup dalam kerangka polis, selalu kerasan dengan dunia sekitar yang ia tinggali, tidak terputus menjadi individu-individu yang terisolir. Mereka merasa bahwa masyarakat (polis) adalah “rumah”.

Memasuki era Modern perasaan “berumah” ini terputus. Orang menjadi sendiri-sendiri. Berumah dalam diri sendiri, dalam batinnya. Manusia Modern menjadi “tak kerasan” dengan dunia sekitar, lalu mengalami keterasingan. Dari sini kecemasan menjalar; saat manusia “tak berumah”. Dan yang dimaksud oleh Lucas masyarakat Modern adalah “masyarakat kapitalis”.

Sejalan dengan logika keterpisahan di atas, Erich Fromm, dalam bukunya Lari dari Kebebasan, menjelaskan keterbelahan individu, terutama akar dari “kecemasan” yang membuat manusia jalan secara sendiri-sendiri. Akarnya berpuncak dari kesadaran manusia Modern dengan ide kebebasan, melalui proses individuasi, di bawah payung Pencerahan.

Tulis Fromm, “Awal mula sejarah sosial umat manusia dimulai ketika manusia melepaskan dirinya dari kesatuannya dengan alam, dan menyadari dirinya sebagai makhluk yang terpisah serta berbeda dari alam dan manusia lain di sekitarnya.”

Fromm memberi contoh keterpisahan macam ini seperti upaya manusia memutus sejarah dari Abad Pertengahan, yaitu ketika otonomi diri, kebebasan, tidak diperoleh. Individu seutuhnya dikuasai oleh kekuasaan eksternal, misalnya di bawah ketundukan agama.

Keterpisahan ini digambarkan oleh Fromm seperti anak kecil yang lahir dan memutus hubungan primer dari rahim ibu. Semakin seorang anak tumbuh dan semakin hubungan primer dengan ibu itu terputus seorang anak terus mencari kebebasan dan kemerdekaan diri sendiri. Ide ini diperkuat dengan jargon-jargon Pencerahan.  “Aspek lain dari individuasi adalah mengembangkan kesendirian,” tulis Fromm. 

Jadi, bagi Fromm justru ketika ide kebebasan dan kemerdekaan diri, otonomi individu, yang terus dikejar oleh manusia di saat itu pula manusia akan mengalami kesendirian dan kecemasan karena merasa hidup dan berjuang seorang diri.

Quarter life crisis harus dipahami dalam kerangka dunia sosial yang makin tidak adil dan keterbelahan manusia dengan manusia yang lain. Jika tidak, ini hanya akan menghasilkan gelombang ketidakpedulian sosial; hidup yang ramai dengan manusia yang sendiri-sendiri.