Seiring waktu berjalan, seseorang akan mengalami perkembangan dalam hidupnya, baik itu fisik, mental maupun spiritual. Dalam proses perkembangan tersebut bukan berarti tidak mungkin seseorang akan mengalami hal-hal yang baru ditemukan sepanjang hidupnya. Biasanya hal itu terjadi pada usia kisaran 20an- 30an. 

Fase ini disebut sebagai fase transisi atau ada yang menyebutnya sebagai masa krisis. Mengapa demikian? karena pada kisaran usia 20an- 30an termasuk ke dalam masa peralihan dari remaja menuju ke masa dewasa awal, yang mana seseorang akan mengalami perkembangan yang sangat kompleks terkait psikologinya atau pada zaman sekarang sering disebut dengan  istilah Quarter Life Crisis (Krisis seperempat abad).

Berbicara mengenai istilah quarter life crisis, sebenarnya istilah ini berkaitan dengan munculnya istilah Twenty Somethings sekitar tahun 2001 yang dikemukakan oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner. Istilah ini ketika itu digunakan karena banyaknya anak-anak di usia dua puluh tahunan yang mengalami krisis emosional.

Apa kalian pernah merasa jika teman kalian berkurang atau bahkan tiba-tiba menghilang? Nah itu merupakan salah satu contoh perubahan yang dialami oleh seseorang ketika menuju masa dewasa dan contoh ketika seseorang berada di fase Quarter Life Crisis. Ketika dewasa mungkin teman akan semakin sedikit, lebih suka menyendiri, atau bahkan dapat menjadi orang yang tidak suka basi basi; lebih suka berbicara Langsung ke intinya.

Apa sih sebenarnya yang mempengaruhi timbulnya quarter life crisis di kalangan generasi muda? Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Artiningsih dan Savira menunjukan beberapa hal.

1. Rata-rata perempuan lebih tinggi dalam mengalami cemas dan tuntutan di sekitarnya.

2. Tidak memiliki perkerjaan. Kelompok orang-orang yang tidak bekerja memiliki kemungkinan yang lebih tinggi terjadinya QLC daripada orang yang sudah bekerja.

3. Belum memiliki pasangan. Orang yang belum memiliki pasangan lebih seriang merasa cemas karena munculnya tekanan dari lingkungan bahkan keluarganya sendiri, sehingga timbullah QLC tersebut.

4. Loneliness (kesepian) Laki-laki lebih sering mengalami lonelines, tetapi lebih kepada kurangnya hubungan sosialnya bukan kepada hubungan emosional, dan biasanya mereka enggan untuk mengakui kesepian yang dialaminya.

5. Status tempat tinggal. Mereka yang hidup bersama orang lain itu memiliki kemungkinan loneliness yang lebih tinggi daripada tinggal sendiri. Mengapa? Karena tidak terpenuhinya harapan yang tinggi akan kedekatan ikatan yang dijalin antara satu sama lainnya. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi maka timbullah yang namannya kesepian atau loneliness tadi.

Dari hasil penelitian diatas didapati kesimpulan yang mana antara loneliness (kesepian) dengan quarter life crisis memiliki hubungan yang positif. Semakin tinggi loneliness maka akan semakin tinggi kemungkinan orang mengalami QLC pada masa dewasa awal hidupnya.

Setelah kita bahas sekilas mengenai istilah quarter life crisis, ternyata fenomena tersebut sangat umum terjadi dan sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Telah disebutkan bahwa orang yang mengalami QLC terlihat hidupnya selalu dikelilingi oleh masalah. Namun bukankah setiap masalah pasti ada jalan keluarnya? Jadi krisis yang terjadi pada fase QLC juga dapat diatasi, walaupun perlu dengan usaha yang keras karena belum adanya solusi yang sederhana mengenai masalah ini.

Didalam buku What’s the Matter with Quarter Life Crisis karya Istifatun Zaka, disebutkan bahwa salah satu yang dapat dilakukan untuk menanggapi dan melewati fase QLC adalah dengan perenungan jiwa atau refleksi diri. Apa yang dimaksudkan dengan perenungan jiwa? Perenungan jiwa ini bertujuan untuk menemukan jati diri kita yang sebenarnya. Misalkan dengan bercermin kita dapat mengenali diri kita tetapi hanya secara fisik saja, disamping itu perlu kita sadari bahwa diri kita bukan sekedar tubuh fisik saja melainkan juga terdapat jiwa.

Apakah kalian pernah overthingking atau marah? Nah itu merupakan bukti bahwa kita memiliki hal yang tidak berfisik. Dengan kita overthingking hal tersebut otomatis akan mempengaruhi fisik kita. Maka dari itu, dalam fase QLC kita perlu mengenali emosi-emosi negatif yang dapat datang kepada diri kita. Ketika kita telah mengenal diri kita maka kita pun akan mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam diri.

Sebagai contoh, ketika kita ada dalam suatu masalah, kita dapat mengetahui emosi negatif seperti apa yang langsung datang kepada kita. Misalkan respon kita ngomel-ngomel, maka kita bisa menganggap bahwa diri kita termasuk orang yang Moody-an. Ketika kamu sudah mengetahui emosi-emosi negatif tersebut maka kita juga dapat mengetahui hal-hal buruk apa yang perlu diperbaiki.

Dengan mengamati, menyadari, dan merenungi setiap tindakan, kita akan menyadari apa yang telah kita pilih. Ketika dalam masa  QLC maka kita tidak boleh takut dengan kegagalan, hanya perlu fokus terhadap tindakan yang kita lakukan dalam upaya penyelesaian masalah bukan terhadap masalahnya. Namun keputusan tersebut tetap harus dipikirkan secara matang-matang tidak tergesa-gesa dan tidak diselimuti emosi negatif tadi.

Yang paling penting pada point ini adalah jangan pernah bandingkan hidup kita dengan orang lain karena hidup bukanlah kompetisi. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Setiap orang memiliki waktunya untuk mencapai kesuksesan. Setiap orang berada dalam kondisi yang tidak sama. Dan setiap orang juga bergelut dengan proses hidupnya masing-masing.

Dengan demikian, kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri dan hal terpenting adalah lakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan.

Semangat, ya.