Kalau saya yang menjadi Ji Sun-woo, istrinya Lee Tae-oh, dan mendapat musibah suami selingkuh seenaknya tanpa rasa bersalah, sudah pasti saya anggap orangnya nggak pernah ada di dunia ini.

Tapi itu, kan, pendapat pribadi saya, lajang 30-an yang belum tertarik pernikahan meski punya laki-laki yang jadi kesayangan. Anda boleh saja punya pendapat berbeda.

Jatuh cinta setengah mati, menikah dengan laki-laki yang menyimpan luka sejak kecil karena permasalahan keluarga, punya mertua yang terlalu memuja anaknya, teman-teman yang oportunistis, hidup yang selalu terencana dan sempurna karena terbiasa mandiri sejak menjadi yatim piatu; dengan deretan kenyataan hidup seperti itu, menghadapi suami selingkuh hanyalah satu dari sekian musibah yang harus dijalani Ji Sun-woo.

Saya tahu tim Jin Sun-woo akan menolak mentah-mentah pendapat ini karena menganggap 100 persen penjahatnya adalah Tae-oh dan Dae-kyung. Apalagi kalau ingat scene pesta di rumah mereka saat baru pindah ke Gosan. Gemas!

Tapi tolong simak sebentar argumen saya.

Ini erat kaitannya dengan pola asuh ibu yang terlalu memanjakan anak. Tae-oh belajar bahwa semua perbuatannya akan dimaklumi karena orang terdekatnya selalu suportif tanpa menjelaskan tentang salah dan benar.

Bahkan saat Sun-woo menceritakan kesedihannya karena diselingkuhi, ibu Tae-oh malah menyalahkannya, disebut bahwa Sun-woo lah yang membuat Tae-oh tergoda perempuan lain. Ironisnya, ibu Tae-oh di masa mudanya juga ditinggal kabur suami dan membesarkan anak seorang diri.

Tae-oh tumbuh menjadi laki-laki yang egoistis dan oportunistis. Apalagi tidak ada sosok ayah saat Tae-oh tumbuh. Tidak ada "role model" yang menjelaskan dan memberi contoh bagaimana seharusnya laki-laki menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga dalam kultur patriarki masyarakat Korea.

Saya percaya kesetaraan gender bisa menyelesaikan permasalahan di antara Tae-oh dengan Sun-woo. Tapi apalah daya, kultur patriarki dan ego kekanakan sekaligus maskulinitas toksik yang melekat pada Tae-oh menyulitkan ia melihat persoalan dengan jernih.

Jin Sun-woo mendapat suami yang meskipun seumuran, tapi tingkat kedewasaannya memprihatinkan. Jangankan menjadi pengambil keputusan, atau bertanggung jawab mengatasi permasalahan, untuk menyelenggarakan hidupnya sendiri saja tak mampu.

Sun-woo bagaikan malaikat tanpa sayap untuk Tae-oh yang untuk menaruh sepatunya dengan benar saja tak sanggup.

Ji Sun-woo hidupnya sulit karena menjadi yatim piatu sejak masih sekolah. Setelah kedua orang tuanya meninggal tragis dalam sebuah kecelakaan mobil, ia ingin hidup tenang. Sementara Tae-oh yang seumur hidupnya hanya tahu beres, terbiasa kebutuhannya diurus orang lain, inginnya berpetualang.

Keinginan bertualang ini yang membuat Tae-oh kepincut Dae-kyung yang mampu menambah semangat hidup, sementara Sun-woo hanya memberi rasa nyaman yang membosankan karena karakternya yang perfeksionis dan berjarak secara emosional.

Jarak emosional sebagai pasangan membuat Tae-oh merasa ada kebutuhannya yang tidak bisa dipenuhi Sun-woo. Ditambah karakter Tae-oh yang memang kekanakan. Tae-oh bukan hanya kehilangan kontrol sebagai kepala rumah tangga, ia juga sulit mengontrol dirinya sendiri.

Dijelaskan dalam buku "Male Brain" (2010), ditulis Louann Brizendine, laki-laki cenderung ingin menjadi bos. Hierarki yang tidak stabil bisa menyebabkan kecemasan. Sebaliknya, rantai komando yang ajeg, misalnya seperti di militer atau tempat kerja, dapat menurunkan kadar testosteron dan mengekang agresivitas laki-laki.

Nah, Tae-oh kehilangan kemampuan menjadi bos dalam rumah tangganya dengan Sun-woo. Ia menjadi suami yang "nervous" dan sebentar-sebentar merasa perlu membuktikan diri.

Pangkal musibah karena ego maskulinitas Tae-oh yang terluka karena tak berdaya di depan istri benar-benar menyebalkan. Ego yang sama juga menyakiti Joon-young, anak mereka satu-satunya.

Ego kekanakan ini juga yang membuat Tae-oh berpikir Sun-woo akan memaklumi perbuatannya. Saat sudah menikah dengan Dae-kyung pun ia masih kepo sama mantan. Bahkan saat susah, ia berani-beraninya ngajak balikan Sun-woo. Hmmm, kaca mana kaca?

Dari Tae-oh sebaiknya para lelaki belajar. Seorang laki-laki tidak otomatis menjadi jantan hanya karena berhasil beranak pinak, Mas. Ingatlah selalu maskulinitas toksik bisa merusak saraf otak, sudah saya sebut di tulisan lain.

Joon-young, anak satu-satunya juga memutuskan pergi, menghilang selama satu tahun untuk memulihkan diri di sebuah pusat rehabilitasi untuk remaja, menjadi musibah terberat bagi Sun-woo. 

Joon-young tak punya pilihan, dalam hidupnya Tae-oh adalah sosok ayah ideal, terutama karena si ibu memiliki karakter yang sulit. Sosok "easy going" yang maskulin tapi toksik ala Tae-oh pada akhirnya malah yang paling menyakiti Joon-young, sementara untuk berpaling ke ibunya pun tak mudah karena secara emosional mereka berjarak.

Selingkuh adalah perilaku menyimpang. Pelakunya tak peduli sikapnya menyakiti orang-orang terdekat bahkan anak. Luka akibat perselingkuhan selamanya akan membekas.

The World of the Married menjelaskan bahwa keputusan yang buruk dalam rumah tangga bisa merusak kehidupan seseorang dan orang lain.

Semua orang di cerita The World of the Married berusaha bertahan dari rumitnya hidup sembari menghukum orang lain sesuai dengan caranya masing-masing. Kecuali Kim Yoon-ki, dokter yang ganteng dan baik hati itu.