Karena belum sempat pulang ke kampung halaman, maka saya ditemani istri dan anak-anak saya meluangkan waktu liburan lebaran, untuk menikmati suasana Ibu Kota.

Selain agar tak kesepian karena di sekitar rumah tempat tinggal keadaannya sepi, karena banyak tetangga bersama keluarganya yang menjalankan mudik lebaran, juga bagi saya perjalanan ke Jakarta bisa sekalian menjalani terapi selama masa pemulihan fisik.

Saya, istri dan anak-anak sepakat, perjalanan kali ini menggunakan sarana angkutan umum, mulai dari bus kota, kereta komuter yang lebih dikenal sebagai Kereta Rel Listrik, KRL, lalu bus TransJakarta hingga kereta cepat bawah tanah yang sering disebut Mass Rapid Transit, MRT. Selebihnya berjalan kaki.

Deal.



...pohon-pohon yang berjajar rindang, juga menambah teduh suasana.

Mengukir Prestasi di Sudirman

Oh, Jakarta tambah keren. Ditambah suasana lebaran, yang membuat jalanan bisa lebih dinikmati karena sepi dari biasanya. Udara juga lebih segar, apalagi pas mendung, jadi tak kepanasan pas jalan-jalan.

Senang, bisa melenggang kangkung di Jakarta bareng keluarga. Sepanjang kawasan Sudirman, berjalan kaki tidaklah terasa melelahkan.

Jalan utama bagi pejalan kaki sangatlah nyaman, luas menghampar sebagai pijakan langkah kaki yang terasa alami, karena tersusun dari bebatuan alami yang memiliki kontur halus membuat kaki merasa rileks selama menyangga tubuh saat berdiri melangkah.

Juga aman, karena dalam jarak tertentu ada petugas keamanan yang siap untuk membantu para pejalan kaki di poros jalan pusat bisnis di Ibu Kota ini.

Deretan tanaman perdu yang menghijau sebagai pembatas jalan pedestrian dengan jalan raya kendaraan bermotor, serta pohon-pohon yang berjajar rindang, juga menambah teduh suasana.

Hanya saja memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sekarang tak terlihat pedagang kaki lima yang dulu mudah ditemui menjajakan aneka olahan masakan dan kudapan.

Sesekali hanya terlihat penjaja kopi sasetan siap saji yang melintas jalan raya mengendara sepeda kayuh.

Penampilan standar sepeda kayuh penjaja aneka minuman siap saji di Jakarta

Rapi, bersih, luas, tak nampak sejumput sampah pun yang menggeletak di poros jalan pedestrian di kawasan yang menjadi tempat gegap gempita bagi banyak profesional muda yang berkiprah mengukir prestasi ini.



...tak senyaring suara halo-halo di stasiun-stasiun kereta pada umumnya.

KRL Riuh, MRT Hening

Perjalanan kami pun berlanjut ke stasiun kereta api bawah tanah dengan tujuan akhir Lebak Bulus.

Memang banyak nama-nama daerah di Jakarta yang antara nama dengan wujudnya, tak sesuai harapan.

Ada daerah namanya Kebon Jeruk. Mana kebunnya, mana jeruknya?

Ada lagi, Sawah Besar. Bagaimana bisa yakin besar? Sawahnya saja nggak ada.

Ada pula nama jalan, menggunakan nama sejenis umbi, yakni; Birah, di kawasan Blok S.

Banyak persimpangan di daerah jalan Birah sehingga harus ditambah kode angka-angka romawi I, II, III dan seterusnya.

Paling fenomenal adalah jalan Birah yang pertama, tertulis Jl. BIRAH I. Jika dibaca sekelebatan menjadi; Jl. BIRAHI.  

Nah, sekarang Lebak Bulus. Lebak bisa berarti genangan lumpur. Bulus bisa jadi hewan yang mirip Kura-Kura. Mungkin dulunya daerah ini ada semacam tempat penangkaran Bulus.

Tak hanya bersih dan rapi kondisi stasiun kereta MRT bawah tanah, namun juga didukung oleh para petugas yang profesional.

Berbeda dengan stasiun penyedia sarana angkut komuter, KRL, maka di stasiun MRT suara pengumuman kedatangan maupun keberangkatan kereta tidaklah sekencang suara stasiun KRL.

Tak ada bunyi 'Ting Tong Ting Tung', suara pengumuman verbal di stasiun MRT juga terdengar lirih, tak senyaring suara halo-halo di stasiun-stasiun kereta pada umumnya.

Calon penumpang kereta MRT lebih menyimak pengumuman yang tertera pada layar-layar elektronik, yang tak berbunyi.

Jika mau naik kereta KRL itu seperti mau nonton bioskop XXI yang ada bunyi ting tong ting tung sama rekaman suara wanita sampaikan pengumuman, maka mau masuk kereta MRT itu ibarat menonton bioskop CGV atau Cinemaxx.

Gak ada bunyi suara pengumuman babar blas. Calon penonton diminta mandiri menyesuaikan jadwal dan teater pemutar film yang hendak ditonton.



...dalam gerbong MRT pun saya coba melangkahkan kedua kaki.

Teori Relativitas Dalam Kereta

Interior gerbong kereta MRT juga lebih bersih, rapi dengan pendaran cahaya lampu yang ramah mata.

Apa karena bentuk rel kereta MRT tanpa jeda, atau karena kecepatan keretanya yang melampaui laju KRL, saya sama sekali gak mendengar suara hentakan khas kereta api saat roda besinya menghentak rongga jeda.

Tak ada bunyi "Cetok, cetok! Tok tok tok tok! Tuk tuk tuk tuk! Duk duk duk duk!..." yang terdengar saling menjauh.

Pada kereta MRT dalam gerbong terdengar desis angin yang terdengar lebih kencang saat masih dalam jalur bawah tanah. "SssoooohhhhH..."

Suasana dalam gerbong MRT cukup sepi, semua penumpang dapat tempat duduk. Lalu, karena saya lagi kemaruk-kemaruknya berjalan kaki demi recovery, maka dalam gerbong MRT pun saya coba melangkahkan kedua kaki.

Sekalian saya ingin membuktikan teori relativitas Einstein.

Selama berjalan di atas gerbong kereta yang melaju cepat, saat saya melihat jendela luar pas kereta sudah keluar dari ruang gelap bawah tanah, maka benar saya merasa berjalan lebih cepat dari gerbong kereta yang menyangga kedua langkah kaki saya.

Saya juga yakin, pasti orang-orang yang berdiri di luar kereta MRT tempat saya melangkah, yang mereka kebetulan melihat saya berjalan dalam gerbong kereta, bakal bertanya-tanya dalam hati;

1. "Lho itu ada pria bertopi kok bisa jalannya kayak melayang dalam gerbong ya?"

2. "Halah itu ada pria sok-sok mau buktiin fisika modern... Kemlinthi."

Saya juga mencoba berjalan mundur saat kereta MRT melaju ke depan. 

Hasilnya? Saya merasa pusing dan was-was.

Mungkin karena ada efek momen berlawanan yang memicu pengurangan keseimbangan badan, termasuk pikiran.



...berjalan kaki di atas jembatan yang seolah tak berkesudahan.

Ngos-ngosan Buah dan Sayuran

Kami puas dan senang, bisa meluangkan waktu liburan lebaran, melangkahkan kedua kaki di sepanjang jalan di jantung Ibu Kota.

Panorama awan Ibu Kota saat mendung, seolah alam memberi restu bagi wisatawan menikmati keramahan Jakarta

Juga, naik turun tangga stasiun-stasiun, halte-halte bus, termasuk berjalan di jembatan busway poros Semanggi Bendungan Hilir, yang begitu panjang, yang sempat membuat saya ngos-ngosan.

Bagaimana tidak? Lagi ngerjain yang enak aja ngos-ngosan, apalagi berjalan kaki di atas jembatan yang seolah tak berkesudahan.

Tentu, kami juga menyempatkan melepas lelah, bersama menikmati hidangan masakan.

Sementara anak-anak memang perlu asupan gizi selengkapnya meliputi karbohidrat, protein, mineral, vitamin dan air sebagai nutrisi masa pertumbuhan, maka cukup buah dan sayuran saja yang menjadi pilihan menu saya.

Eh, tapi saya sambil mengincip seiris dua iris daging ikan Dori goreng tepung kesukaan istri saya ding, buat syarat saja.

Lha habis mau gimana? Namanya juga pria vegetarian level belajaran.

Baca Juga: Aku dan Jakarta