Ketika Cai-Lun menemukan cara membuat kertas dari kulit kayu murbei pada 105 Masehi, dia tidak terpikir betapa (peradaban) manusia akan sangat bergantung kepada, atau bahkan ditentukan dan dibentuk oleh, kertas. Bahkan ketika manusia sudah merasa, dan telah menjadi, homo nir kertas, konsumsi kita terhadapnya malah kian masif saja.

Jika kita melihat kembali dunia dari kacamata China Abad 1 M, kita akan memahami bahwa orientasi Cai Lun pada saat itu hanya untuk menemukan media tulisan yang (jauh) lebih murah dari sutra dan (jauh) lebih ringan dari bambu. Dalam proses tersebut, dia mengupas kulit kayu murbei untuk kemudian ia rendam di dalam air bersama rami, kain bekas, dan jala ikan. Ia pukul-pukulkan kulit kayu itu biar lepas serat-seratnya, ia biarkan dalam rendaman hingga menjadi pulp. Setelah itu ia tekan setipis mungkin dan dijemur  (Silkroad Foundation, 2000).

Kaisar senang, Cai-Lun naik pangkat. Tetapi dampaknya tidak berhenti sampai di sana. Bagi Lapierre (n.d.), penemuan kertas tersebut memungkinkan ide, gagasan, seni, dan produk budaya dapat lebih mudah dikomunikasikan, didistribusikan, dikontestasi dan dikembangkan. Manusia telah mengenal bahasa dan telah mengkonstruksi aksara.

Dalam mengkomunikasikan gagasan, keyakinan, dan pengetahuan, manusia telah memanfaatkan tradisi penceritaan secara oral dan penulisan pada batu, dinding gua, tulang-belulang, dan kayu. Tapi semua itu terbatas dan dibatasi. Dinding gua harus didatangi, batu dan kayu dan tulang-belulang berat untuk dibawa-serta ke mana-mana. Penceritaan oral, di sisi lain, hanya menjangkau audiens yang terbatas.

Tak dinyana lagi, kertas menjadi agen 007 jika permasalahan di atas ada pada film James Bond: solusi paling memuaskan, sejenis one man show. Dengan ongkos produksi murah dan berat yang ringan, kertas dapat dibawa-serta di sepanjang Jalur Sutra dan dengan itu menjadi media pengkomunikasian ide dan gagasan: menjadi motor dinamika peradaban. Lima abad kemudian penerbitan dari kayu ditemukan. 140 tahun kemudian China mensaksi-matai lahirnya koran pertama. Korea dan Jepang kena imbas positifnya (Silkroad Foundation, 2000).

Ketika China kalah perang pada 751 oleh Pasukan Turki Ottoman di Perang Talas, teknologi pembuatan kertas dibawa-serta ke Samarkand. Baghdad menjadi kota Islam pertama yang memiliki industri kertas. Dari sana, teknologi ini masuk ke Eropa melalui tangan Muslim Spanyol (Lapierre, n.d.).

Pada 1453 Guttenberg mengakselerasi teknologi tersebut (baca: meningkatkan ketergantungan kita terhadap kertas) dengan keberhasilannya menemukan mesin cetak. Dan dalam 500 tahun lebih semenjak itu, Andoko (n.d.) menulis, manusia senantiasa melakukan inovasi atas nama masifikasi percetakan dan penerbitan: bagaimana membuatnya lebih mudah, cepat, masif, dan  murah.

Upaya itu membawa kita pada konsumsi kertas yang luar biasa besar. Amerika Serikat sendiri saja, dalam satu tahun, memproduksi 2 milyar buku, 350 juta majalah, dan 24 milyar koran (Lapierre, n.d.). Penggunaan kertas naik dari 92 juta ton ke 208 juta ton dalam 20 tahun. Atau naik sekitar 126%. Menurut Statista (2017), total produksi kertas per tahun 2014 mencapai 407 juta metrik ton. China menjadi konsumen terbesar disusul Amerika.

Indonesia sendiri menempati ranking ke-12 sebagai eksportir kertas pada 2002 lalu naik ke posisi 6 per 2011. Kemampuan produksi kita di angka 2,93 juta metrik ton. Dalam konteks Asia, Indonesia kalah dari China dan Jepang. Dalam cakupan ASEAN, Indonesia jadi juara bertahan (Ekawati, 2016). Saat ini, 60% industri kayu berfokus pada pemroduksian pulp dan kertas (The Paperless Project, 2016).

Tetapi kita tahu ada opportunity cost yang harus dibayar dari industri mahabesar tersebut, dari kemajuan peradaban yang menyertainya. Pulp dan kertas dianggap sebagai polutan terbesar ketiga di Amerika dan Kanada, dengan total sampah yang dihasilkan mencapai 100 milyar kilogram, mencemari udara, air, dan tanah (The Paperless Project, 2016).

The Paperless Project juga mencatat bagaimana 18 milyar hektar hutan hilang setiap tahun, setara dengan hilangnya 20 lapangan sepakbola setiap menit. Dengan kata lain: deforestasi. Dan akibat turunannya adalah: emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Dalam hal ini Indonesia masuk Guinness Book of Record pada tahun 2000 sebagai negara tropis dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia (Ekawati, 2016).

Kita kemudian sadar akan pentingnya melindungi hutan dan membangun industri kertas yang ramah lingkungan. Salah satunya, dengan membangun kebiasaan dan industri daur ulang kertas. Pada tahun 2013 sebanyak 233 juta metrik ton kertas didaur ulang. Rasionya di Amerika Serikat mencapai 66,8% (Statista, 2017).

Selain itu, mungkin sudah saatnya kita menjadi generasi nir kertas. Untungnya, penemuan komputer yang awalnya didesain untuk memasifkan percetakan dan penerbitan, rupanya menawarkan opsi peradaban nir kertas. Apa itu? Yatu, perkawinan antara komputer dan internet yang melahirkan ebook, ezine, dan koran elektronik.

Hari ini, informasi dapat diakses dari layar ponsel dan laptop, tidak harus dalam bentuk kertas. Kita menemukan gadget untuk mendukung bacaan nir kertas: Ipad, Kindle, Sony Reader, dan lain-lain.

Belum lagi muncul kecenderungan orang untuk melihat video ketimbang membaca tulisan. Instrumentalitas internet dalam menawarkan peradaban nir kertas semakin menjanjikan ketika kita melihat bahwa pengguna internet telah mencapai 1,7 milyar pada 2009 dengan tren yang terus naik (Andoko, n.d.). Pun banyak perusahaan media yang kemudian beralih ke, dan/atau punya, kanal online-nya masing-masing.

Peralihan dari cetak ke online menurunkan prosentase jumlah pembaca media cetak sebesar 28% menurut Scarborough Research. Pada Desember 2008, lebih dari 10 surat kabar di Amerika Serikat mengajukan bangkrut. Prof. Phillip Meyer, guru besar University of North Carolina, bahkan menyebut Oktober 2044 sebagai Hari Kiamat Surat Kabar di Amerika Serikat (Andoko, n.d.). Negara-negara lain mungkin menyusul beberapa tahun kemudian.

Tetapi, apakah hal tersebut menjanjikan suatu peradaban nir kertas? Ternyata tidak juga. Konsumsi kertas tetap besar, industri kertas karenanya tetap menjanjikan. Akibatnya, potensi polusi akibat sampah kertas dan deforestasi masih ada. Kenapa bisa demikian? Kita tahu bahwa walaupun pada awalnya kertas didesain sebagai media penyebaran ide dan gagasan, kertas hari ini punya peran yang jauh lebih besar. Buku, koran, dan majalah hanya bagian kecil dari fungsi kertas bagi peradaban manusia hari ini.

Dari 407 juta metrik ton kertas yang diproduksi pada tahun 2014, lebih dari setengahnya adalah untuk kertas pembungkus, nyaris sepertiganya untuk kertas grafis (Statista, 2017). Tiga atau empat dekade lalu sebagian dari kita masih menggunakan daun pisang sebagai pembungkus beberapa jenis makanan tertentu, hari ini, ia kian tersingkir oleh dominasi kertas yang dianggap lebih mudah dan murah.

Itu belum seberapa. Bahkan untuk pup saja kita, manusia post-modern ini, juga butuh kertas. Sebagian malah menganggap cebok pakai air itu so yesterday, atau setidak-tidaknya, kurang higienis.

Tisu jadi pilihan utama. Alhasil, tak kurang dari 20 milyar rol tisu toilet diproduksi setiap tahun di Eropa Barat (Wikipedia, n.d.). Belum lagi di wilayah lain seperti Amerika Serikat yang konsumtif, Asia dan Afrika yang secara total lebih luas, serta Australia sebagai persemakmurannya United Kingdom.

Bahkan Venezuela, di antara kepungan darurat inflasi, memutuskan untuk menyetujui kredit senilai USD 79 juta atau setara dengan Rp 790 miliar kepada Kementerian Perdagangan untuk mengimpor, salah satu dan terutama, 39 juta rol tisu toilet (BBC Indonesia, 2013).


Referensi:

Andoko, A. (n.d.). Teknologi Digital: Akankah Media Cetak Berakhir? Tangerang.

BBC Indonesia. (2013, May 23). Kelangkaan Serius Tisu Toilet di Venezuela. BBC Indonesia. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/05/130523_bisnis_venezuela

Ekawati, E. (2016). Industri Kertas di Indonesia. Retrieved January 5, 2018, from https://sis.binus.ac.id/2016/12/16/industri-kertas-di-indonesia/

Lapierre, Z. (n.d.). Paper in Our Lives. Retrieved January 5, 2018, from http://fourriverscharter.org/projects/Inventions/pages/china_paper.htm

Silkroad Foundation. (2000). The History of Paper. Retrieved January 5, 2018, from http://www.silk-road.com/artl/papermaking.shtml

Statista. (2017). Paper Industry - Statistics & Facts. Retrieved January 5, 2018, from https://www.statista.com/topics/1701/paper-industry/

The Paperless Project. (2016). Facts About Paper: The Impact of Consumption. Retrieved January 5, 2018, from http://www.thepaperlessproject.com/facts-about-paper-the-impact-of-consumption/

Wikipedia. (n.d.). Tissue Paper. Retrieved January 5, 2018, from https://en.wikipedia.org/wiki/Tissue_paper