Saya termasuk beruntung dilahirkan saat pelajaran surat-menyurat di dalam pelajaran Bahasa Indonesia bukan semata soal korespondensi resmi. Bagi generasi 90-an, bahkan sebelumnya, pelajaran semacam itu tentu memiliki kenangan tersendiri. Menulis surat pribadi kepada orang tak dikenal di wilayah random dan menanti balasan adalah dua aktivitas menggembirakan. Ada nuansa nyaman di situ.
Kedatangan gelombang digital pada tiap ranah kemudian mendisrupsi pelajaran surat-menyurat nonformal. Hal ini ditandai dengan bagaimana tiap sektor korespondensi telah bergeser dari tulisan tangan ke digital. Perubahan yang sistematis dan masif itu tak pelak cenderung mementingkan surat elektronik (e-mail) ketimbang berkirim pesan lewat pos.
Jamak orang memilih efektivitas berkirim pesan melalui surel karena menawarkan kecepatan dan segala tawaran kemudahan lain. Tinggal jemari menari di atas papan layar, selang beberapa detik kemudian, pesan yang dibuat itu lekas diterima oleh pihak yang disasar.
Hilangnya pelajaran surat-menyurat dari pelajaran Bahasa Indonesia karena tak lagi relevan, di satu sisi, memberi celah romantisme yang makin kabur dan perlahan menghilang. Acuan etisnya, menurut saya, adalah preferensi menulis surat yang niscaya memakai kertas tak lagi dipertimbangkan secara estetis. Padahal, memori akan menulis surat dengan kertas, betapa pun, masih menyisakan nostalgia.
Hal inilah yang kini hilang sepenuhnya. Saya akan bercerita sedikit soal ini, setidaknya sekadar berbagi pengalaman mengenai pertautan surat, kertas, dan kenangan. Begini kira-kira.
Hampir seperempat abad saya hidup di Yogyakarta. Menghabiskan waktu penuh di sekolah dasar di kota ini membuat saya “tak bisa ke lain hati” untuk berpaling menuju kota lain. Bukan karena Yogya menawarkan tradisi dan inspirasi etos manusia yang relatif unik bagi sebagian orang, melainkan karena guru Bahasa Indonesia saya, yang dengan tekun, mengajarkan menulis surat buat sahabat yang tak dikenal.
Tahun 2001, saya kelas 2 SD. Materi pelajaran saat itu adalah bagaimana caranya menulis biodata diri untuk kemudian dikirimkan ke sahabat pena lewat Pak Pos. Jangan kira konten biodata mirip seperti CV untuk kepentingan kerja. Biodata, menurut ajaran guru saya tersebut, malah cenderung berisi deskripsi hobi.
Kertas yang diberikan guru berukuran setengah kuarto. Memang, guru barangkali hendak bersikap hemat, sehingga membagi kertas berukuran kuarto untuk dijadikan media tulisan para siswa. Kurang lebih saya menulis empat baris saja, dengan kalimat pertama yang unik, “Halo, aku Rony, hobiku bermain layang-layang di sawah...”
Yang paling terkenang adalah bagaimana murid diajarkan berkirim surat. Guru mengatakan, sesudah kertas itu diisi deskripsi hobi, siswa kemudian memasukkannya ke amplop dan dilem.
Di bagian depan amplop, selanjutnya, ditempeli perangko. Guru begitu baik hati. Ia juga menyiapkan perangko yang bagi saya waktu itu cukup terheran-heran: kenapa harus ditempeli “stiker” bergambar ini untuk menjadi prasyarat terkirimnya surat?
Belakangan saya mafhum kalau surat, amplop, dan perangko adalah tiga komponen yang terbuat dari kertas. Betapa pun saya menyadari akan hal ini beberapa bulan silam: kertas sudah menjadi bagian inheren dari proses pendidikan dan kontribusinya tak terelakkan bagi medium pembelajaran semua siswa di Indonesia.
Penamaan sahabat pena sebagai sasaran surat yang saya tulis, saya kira, sudah tepat karena ketidaktahuan kita mengenai identitas penerima pesan. Guru saya hanya memberi sinyal kalau beruntung surat itu akan dibalas. Tentu, status penerima surat itu merupakan siswa yang sama seperti saya. Bedanya,saya tak tahu di mana sekolahnya. Baru diketahui bila “beruntung” karena mendapat gayung bersambut.
Pada titik ini, saya hendak menandaskan bahwa peradaban kertas, terutama surat-menyurat di dalam pelajaran SD, berperan signifikan terhadap kontinuitas sekaligus distribusi pengalaman, pengetahuan, dan habituasi di dalam lanskap pendidikan Indonesia. Peradaban kertas setarikan napas dengan peradaban pendidikan. Tesis ini tak sekonyong-konyong glorifikasi berlebihan versi saya, tetapi semacam kode kultural yang dapat dibuktikan posisi relasionalnya.
Saya mendukung direduksinya peran kertas dalam media pembelajaran di sekolah karena pertimbangan ekologis. Eksploitasi kertas yang berbahan baku kayu mesti dikurangi, sekalipun kebijakan ini harus ditransformasikan secara perlahan-lahan. Walaupun eksistensi surat-menyurat sekarang tak hadir di ruang kelas sebab telah digantikan media digital, kurikulum pendidikan nasional yang berisi substansi itu tak kering ide.
Surat-menyurat masih eksis dengan dimediasi surel. Saya setuju akan hal ini. Hal tersebut berarti komodifikasi kayu untuk dijadikan kertas makin ditinggalkan. Tetapi keunikan sekaligus kenangan yang menyertainya, sebagaimana saya uraikan di atas, sukar disetip, setidaknya bagi saya sendiri.
Peradaban pradigital yang memosisikan kertas sebagai titik sentral distribusi kenangan dan pengetahuan telah lama mengakik di dalam memori kolektif kita. Peradaban kita telah dibantu secara total oleh kertas. Tanpa itu, kita sekadar melewatkan masa silam di benak. Padahal, dengan kertas, kesilaman ini dimampatkan sehingga menjadi bukti autentik—semacam data historis yang niscaya empiris.
Pertanyaannya kemudian, dapatkah memori romantis akan surat-menyurat berbahan kertas itu bisa (sepenuhnya) diganti oleh peran surel? Ini pertanyaan retoris yang menarik didedah lebih lanjut.