Puisi atau sajak ditulis oleh penyair untuk menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu untuk mengemas tema dan amanat tertentu. Pembaca memiliki kebebasan untuk menafsirkannya. Bisa jadi makna yang terkandung di dalam puisi tidak tunggal.

Apalagi jika kita harus menafsirkan puisi gelap atau puisi prismatis. Sebuah puisi gelap mempunyai sangat banyak arti. Dalam istilah sastrawan Sapardi Djoko Damono puisi itu oleh penyair digunakan untuk sesuatu yang dikemas dengan kata-kata yang tidak selalu berbanding lurus dengan makna puisi. "Maksudnya begini, ngomongnya begitu", kata Sapardi

Dalam puisi bertajuk “Penyair” Sapardi Djoko Damono atau mengibaratkan penyair layaknya pintu yang daun-daunnya sama sekali terbuka. Hingga akhirnya tak ada lagi yang bernama rahasia. Dengan demikian, penyair adalah seseorang yang membukakan rahasia kehidupannya kepada orang lain. Ini merupakan sesuatu yang paradoks. Sebab, sementara manusia pada umumnya merahasiakan kehidupannya agar tidak diketahui oleh orang lain, tidak demikian halnya dengan penyair.

Sapardi Djoko Damono, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 adalah sastrawan terkemuka. Ia telah menulis banyak buku kumpulan puisi. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Sapardi Djoko Damono dikenal melalui puisi-puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Berikut ini puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Penyair”.

 PENYAIR

aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku

satu per satu aku terbuka, bagai daun-daun pintu,

hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia;

begitu sederhana: sama sekali terbuka.

dan engkau akan selalu menjumpai dirimu sendiri di sana

bersih dan telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia

jangan terkejut: memang dirimu sendirilah yang kaujumpa

di pintu yang terbuka itu, begitu sederhana

jangan gelisah, itulah tak lain engkaumu sendiri,

kenyataan yang paling sederhana tapi barangkali yang menyakitkan hati

aku akan selalu terbuka, seperti sebuah pintu, lebar-lebar bagimu

dan engkau pun masuk, untuk mengenal dirimu sendiri di sana


Tonggak 2 (editor Linus Suryadi, 1987: halaman 408-409)

Sementara itu, penyair berlatar belakang pendidikan dokter hewan, Taufiq Ismail, juga menulis banyak buku kumpulan puisi. Buku kumpulan puisi penyair yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 25 Juli 1937 dan besar di Pekalongan, Jawa Tengah, ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, Inggris, Rusia, Mandarin, dan Jepang.

Berikut ini puisi Taufiq Ismail yang sangat terkenal — “Dengan Puisi, Aku” — yang dinyanyikan oleh kelompok musik Bimbo.

DENGAN PUISI, AKU

 Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Kebadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya.


Tirani dan Benteng (Taufiq Ismail, 1983: halaman 62)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa puisi — menurut Taufiq Ismail — berfungsi sebagai sarana bernyanyi, bercinta, mengenang, menangis, mengutuk, dan berdoa. Dengan kata lain, puisi layaknya menjadi media bagi ekspresi jiwa yang bersemayam di batin kita.

Pada saat yang lain, Subagio Sastrowardojo, sastrawan Indonesia garda depan, menulis puisi yang memiliki visi dan misi sangat jelas. Setelah membaca puisi “Sajak”, kita tentu tidak memiliki keinginan bunuh diri. Bahkan, kita akan mengurungkan niat menggantung diri itu karena ia teringat bait terakhir puisi “Sajak” ini.

Sastrawan Subagio Sastrowardoyo, yang lahir di Madiun pada1 Februari 1924 dan meninggal dunia di Jakarta pada 8 Juli 1995, merupakan sastrawan penyair, cerpenis, kritikus, dan esais terkemuka.

Berikut ini puisi bertajuk “Sajak” karya Subagio Sastrowardojo..

SAJAK

Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk

bau vicks dan kayu putih

melekat di kelambu.

Kalau istri terus mengeluh

tentang kurang tidur, tentang

gajiku yang tekor buat

bayar dokter, bujang dan makan sehari.

Kalau terbayang pantalon

sudah sebulan sobek tak terjahit.

Apakah arti sajak ini

Kalau saban malam aku lama terbangun:

hidup ini makin mengikat dan mengurung.

Apakah arti sajak ini:

Piaraan anggerek tricolor di rumah atau

pelarian kecut ke hari akhir?


Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.


Dan Kematian Makin Akrab (Subagio Sastrowardoyo, 1995: halaman 6)

Oh, ternyata puisi atau sajak dapat mengingatkan kita agar tak berputus asa. Sebab, sajak dapat melupakan Anda kepada pisau dan tali, melupakan Anda kepada bunuh diri.

Demikianlah pandangan tiga penyair garda depan mengenai penyair dan puisi atau sajak. Secara eksplisit dan transparan Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, dan Subagio Sastrowardoyo menyampaikan pesan kepada pembaca bagaimana eksistensi seorang penyair, fungsi puisi yang ditulisnya, dan makna sajak yang digubahnya.