Kampus seperti kita ketahui bersama bahwa secara ideal dimaknai sebagai tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kreativitas manusia. Pengembangan keilmuan dan kreativitas itu lebih bersifat dinamis, sistematis dan terstruktur sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Dalam dunia pendidikan formal, kampus atau sering disebut dengan nama lain universitas. Dikutip dari A Latin Dictionary (1966) karya Charlton T. Lewis, dan Charles Short, istilah universitas berasal dari bahasa Latin asli yang dapat diartikan "orang-orang yang terasosiasi dengan sebuah badan, masyarakat, perusahaan, komunitas, kelompok pekerja, korporasi, dan lain-lain".
Kampus atau universitas adalah tingkatan pendidikan tinggi yang punya otonomi tersendiri dan independen secara kelembagaan. Independen, artinya kampus adalah lembaga yang tugasnya menyampaikan dan mengembangkan kebenaran ilmu pengetahuan. Sedangkan punya otonomi sendiri, artinya kampus merupakan lembaga yang tidak bisa diintervensi oleh apapun termasuk lembaga pemerintah.
Kampus memiliki kebebasan secara utuh dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang unggul, cerdas dan bermoral sesuai dengan standar kemanusiaan. Sebab kampus adalah lembaga pendidikan. Dan pendidikan pada dasarnya meminjam istilah Paulo Freira merupakan upaya untuk memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses humanisasi.
Tetapi, ketika melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kampus seperti kehilangan eksistensinya sebagai pilar pendidikan untuk kemajuan dan dalam membentuk nalar kritis para mahasiswa. Idealnya roh kampus tidak lagi ditemukan. Kampus sejatinya tidak lagi mampu menciptakan insan akademis-pencipta, tetapi lebih untuk hanya menciptakan insan pekerja.
Banyak yang masih memaknai proses pendidikan di kampus sebagai institusi pendidikan sebagai gerbang awal yang setelah keluar lalu pergi mencari kerja dengan modal gelar sarjana yang sudah diperoleh. Sehingga siklusnya, kurang lebih seperti ini, masuk kuliah - lalu wisuda - cari kerja. Hanya berputar pada wilayah itu.
Sedangkan untuk mengabdikan keilmuan kepada masyarakat tidak pernah ada. Tentu hal ini diakibatkan dari model pendidikan dan kurikulum kita di kampus yang wajib dipertanyakan. Padahal tri darma perguruan tinggi kita jelas, yakni (1) Pendidikan, (2) Penelitian, dan (3) Pengabdian Masyarakat. Kampus hari-hari ini sudah semakin memudar pesonanya sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan secara umum dan sistem pendidikan tinggi yang dibentuk di Indonesia kadang menjadi lumbung permasalahan bagi proses pendidikan kita sendiri. Akar permasalahan begitu kompleks dan beragam. Ia (baca: sistem pendidikan) menghambat, mengahalangi, menyusahkan para mahasiswa.
Sistem serta aturan dalam pendidikan kampus itu diantaranya: Tuntutan akademik terlalu padat; Dunia kemahasiswaan untuk mendukung kebebasan berekspresi dan mimbar akademik dipersempit; Efektifitas pendidikan; Mahalnya biaya pendidikan; dan Rendahnya kualitas tenaga pendidik dan pendidikan.
Sekelumit permasalahan di atas yang setidaknya membuat kampus lamban menciptakan manusia yang berkualitas baik. Padahal spirit perguruan tinggi (kampus) didirikan untuk menciptakan manusia-manusia yang berilmu pengetahuan, bukan untuk “memeras” para mahasiswa dengan sistem yang telah ditetapkan.
Tentunya untuk menciptakan manusia-manusia yang berkualitas sebagai “manusia” di dalam suatu perguruan tinggi harus menggunakan dengan sistem yang baik pula. Hari ini tidak terlihat pada sistem pendidikan terkesan memenjarakan, mengikat mahasiswanya sehingga melahirkan krisis mahasiswa yang berkualitas.
Padahal konsep dasar dari sistem pendidikan itu dibuat adalah terciptanya iklim pendidikan berkualitas, yang mampu melahirkan generasi yang terdidik sesuai dengan minat dan bakatnya. Agar generasi dapat menghadapi tantangan zaman ke depannya. Gutmann (1999) berpendapat upaya tersebut mustahil berjalan dengan maksimal jika tidak ditopang oleh sistem yang baik. Dengan kata lain, sistem pendidikan tinggi memiliki peranan penting dan pengaruh besar pada institusi yang dipayunginya.
Pembunuhan Karakter
Sistem pendidikan yang ada di kampus masih terkesan sangat memonopoli, menyulitkan, dan terlihat sangat membunuh karakter mahasiswa yang identik dengan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian dalam rangka mengasah kerangka pikirnya, mengembangkan kreativitasnya, mencari identitasnya, serta ingin mengabdikan dirinya untuk kepentingan bersama akan terhambat.
Perguruan tinggi/kampus di Indonesia kini cenderung membelenggu atau memenjarakan “kebebasan” mahasiswa. Ini semua akibat adanya berbagai hambatan sistem perguruan tinggi dan birokrasi kampus yang rumit.
Bukannya para mahasiswa harus dibentuk mengembangkan semangat berpikir dan bertindak menyelesaikan masalah. Malahan hanya disibukkan pada hal-hal yang formal mengenai perkuliahan di dalam ruangan kelas, serta diberikan tugas begitu banyak.
Hal ini bukanlah sesuatu yang imajinatif dalam mengembangkan kreativitas dan nalar kritis mahasiswa, tetapi inilah gambaran atas realitas pada kampus hari-hari ini. Bahkan ada sistem atau aturan yang sengaja dibangun dengan tujuan menghalangi untuk kritis terhadap sesuatu.
Akhirnya mahasiswa sangat tidak mengembangkan tugasnya sebagai agen of change and social control, serta gagap sekaligus bisu dalam mendiskusikan permasalahan yang ada di dalam dan di luar kampus. Bahkan, saat ini kampus dinilai sebagai tempat tempat untuk membunuh kreatifitas mahasiswa. Upaya mahasiswa untuk mengelaborasikan dirinya dalam dunia kampus tidak bisa tercapai, akibat mekanisme kampus yang diterapkan.
Mestinya, mahasiswa harus dibentuk menjadi lebih cerdas dan kreatif. Ada beberapa cara membangun kreatifitas itu pertama, dengan melibatkan mahasiswa dalam proyek-proyek penelitian. Kedua, membuka dan membawa cara berpikir mahasiswa untuk melihat permasalahan di sekitarannya. Sehingga secara tidak langsung dosen telah mentransfer ilmu yang jauh berbeda dengan transfer ilmu di ruang kelas.
Hal yang kemudian ditakutkan adalah kampus tidak akan lagi dipercaya oleh publik sebagai tempat paling steril dalam membentuk kualitas manusia yang paripurna. Atau lebih parahnya lagi, kampus akan dicap sebagai institusi paling irasional. Akhirnya frame yang terbangun mengenai kampus itu negatif, yang hanya bisa kampus berikan hanya berupa nilai-nilai dan terakhir adalah lembaran ijazah.
Kampus harus lebih dari itu-harus bisa menciptakan manusia yang punya kecerdasan di atas rata-rata, kreativitas yang tak terbatas, mampu membuka wawasan pengetahuan seseorang, dan memberi jalan menuju masa depan.
Kampus mesti dijadikan seperti kata Ki Hadjar Dewantara yakni taman siswa, dimana terminologi taman adalah tempat yang indah, sejuk, dan penuh warna. Kampus harus juga demikian, tempat dimana mahasiswa akan menemukan kebahagiaan, kegembiraan, kenyamanan karena berhadapan dengan berbagai macam pengetahuan baru di dalamnya.