Puasa identik dengan sikap menahan diri terhadap berbagai hal yang tampak menggoda sebagaimana seorang Muslim menahan keinginannya untuk makan dan minum, mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya di ufuk barat. Tentu ada banyak hal yang mesti seorang Muslim tahan, apakah itu menahan ego terhadap berbagai hal yang menyilaukan mata.
Perkara seruan people power yang menyeruak di kalangan politisi, sebagai akibat adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu plus penyelenggara pemilu. Apakah seruan politisi untuk people power akan terjadi bak dayung bersambut? Tetapi, sebelum menyambut people power, rakyat juga perlu bertanya balik kepada oknum penyerunya.
Setidaknya rakyat perlu menanyakan kisi-kisi people power. Pertama, apakah people power hadir sebagai respons terhadap kekalahan capres tertentu? Kalau people power dimaksudkan untuk membatalkan hasil pilpres dengan alasan kecurangan, maka rakyat mesti mengatakan kalangan dinilai ada kecurangan mestinya semua hasil pemilu mulai pilpres hingga pileg turut dibatalkan.
Kedua, apakah memang rakyat yang menginginkan people power ataukah kalangan elit politik? Bila rakyat yang menginginkan tentunya tanpa komando itu akan terjadi sebagaimana peristiwa reformasi. Namun, kalau kalangan elite politik yang menginginkan, maka besar kemungkinan ada jabatan di balik batu. Daripada rakyat melempar batu, rakyat jua yang terluka mending suruh saja elite politik melempar sendiri batunya.
Kalau rakyat memahami betul esensi pemilu sebagai hasil pilihan rakyat, maka seruan people power hanyalah semacam selubung maksud. Sebab, people power yang sejati itulah hasil pemilu, sedangkan people power yang diserukan elite politik itu sejatinya elite power. Artinya, itu hanyalah bentuk alibi elite politik yang tidak menerima hasil pemilu.
Rakyat perlu berpikiran positif kepada elite politik semoga saja mereka puasa di bulan Ramadan ini. Yang semestinya pemilu bisa dimaknai seperti puasa, kalau partainya kalah dan usungan capresnya belum berpeluang masuk istana, semestinya bersabar tunggu waktu berbuka puasa politik alias pemilu lima tahun yang akan datang, siapa tahu menang.
Elite politik perlu banyak belajar dari ibadah puasa, sikap jujur dan integritas yang dapat dilihat selama pelaksanaan puasa. Semestinya nilai puasa yang dihadirkan dalam laku dan gerak politik mereka, sebab memaksa berbuka bukan pada waktunya hanya akan berefek membatalkan. Memaksa diri untuk berkuasa padahal rakyat belum memberi peluang, sama halnya pungguk merindukan istana, ops bulan.
Daripada memperkeruh suasana, lebih baik kepada para elite politik, dengan banyak hormat rakyat perlu meminta untuk menghormati dan menerima hasil pemilu. Apakah tidak cukup dengan banyaknya pahlawan pemilu berguguran? Akibat menjadi penyelenggara pemilu dengan semangat juang tanpa kenal lelah memastikan rakyat mendapatkan haknya.
Tanpa berniat menggurui para elite politik yang terhormat, semestinya bukan seruan people power yang digemakan, melainkan seruan kepada negara untuk memberikan gelar pahlawan demokrasi kepada penyelenggara pemilu yang mangkat dalam melakoni tugasnya. Kalau seruan itu yang digalakkan, mungkin ceritanya akan lain.
Seruan people power dari elite politik yang mengajak rakyat untuk bergerak dan menyongsongnya. Kalau dicermati secara saksama bukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, sebab bila hanya mencermati secara singkat bisa saja rakyat terprovokasi. Tetapi, secara dalam seruan people power memberikan sinyal gagalnya pendidikan politik di kalangan elite politik.
Kalau elite politik memiliki indikasi mengalami kegagalan pendidikan politiknya, maka di situlah masalah besarnya. Sebab, people power seolah terlihat menunjukkan kualitas elite politik yang memiliki sifat kekanak-kanakan. Masa rakyat baru saja kelar menyalurkan hak pilihnya, bahkan KPU belum merilis hasilnya secara resmi, sudah diajak lagi people power? Kan geli dan menggelitik, ibaratnya tinta pemilu belum pudar benar dijari rakyat.
Ada puisi yang menarik dari Gus Mus buat elite politik penyeru people power: Bukan karena banyaknya grup lawak di negeriku maka selalu kocak, justru grup-grup lawak hanya mengganggu dan banyak yang bikin muak, negeriku lucu dan para pemimpinnya suka mengocok perut. Mungkin puisi Gus Mus patut direnungkan buat bangsa Indonesia, utamanya mereka yang mengaku sebagai elite negeri ini.
Mungkin akan menarik bila dibuatkan semacam dialog imajiner antara elite politik penyeru people power dengan rakyat. Kala elite politik mengajak rakyat untuk melakukan people power, mungkin rakyat akan berseru:
“Maaf, pak, kami lagi sibuk menyiapkan menu buka puasa. Kalau bapak mau bersabar, tunggu lima tahun lagi, pak. Daripada sibuk people power, mending acara buka bareng sama pemenang pemilu, siapa tahu berkah.”
Rakyat perlu melek selama bulan Ramadan, dalam artian rakyat memikirkan setiap tindak-tanduk para elite politik. Sebab, politik bila dipandang dari jauh adalah tragedi, tetapi dari dekat akan terlihat sebagai drama.
Hadis mengatakan tidurnya orang berpuasa berpahala, jangan sampai rakyat dibangunkan oleh seruan people power. Sehingga rakyat menjadi pemeran tragedinya, sedangkan elite politik bagian skenario dramanya. Lengkaplah cerita people power.