Sebagai anak yang beriman dan aktif di gereja, saya selalu diajarkan untuk menaati setiap aturan di gereja, mulai dari cara beroda, memasuki gerja hingga pantangan (berpuasa) pada saat Masa Prapaskah. Kata guru sekolah minggu saya, “jika setiap anak menaati aturan yang dibuat gereja, ia tidak akan dihempaskan ke dalam dosa. Ia akan diselamatkan di surga, kelak.” Begitu juga kepercayaan banyak orang di kampung saya, termasuk kedua orag tua saya.
Makan pada hari pantang adalah cara mengolok Tuhan, bahkan menghujatnya, nasihat Mama saya waktu dulu. Pesan itu tersimpan rapi di benak saya. Dengan itu saya dianggap anak patuh dan rajin. Setiap hari Jumat dalam Masa Prapaskah, saya hanya akan makan sekali saja walalu penyakit lambung adalah teman hidup saya sejak masih berumur 7 tahun. Itu tidak masalah, yang penting jangan mengolok Tuhan. Makan seadanya saja. Atau bila perlu tidak makan seharian. Sebab Jumat itu adalah hari puasa.
Malam hampir turun, hari berwarna orange, tak seperti senja atau lembayung. Jarang saya melihat warna sore hari yang begini. Menurut ayah saya, itu adalah waktu para arwah menjemur pakaian. Mereka di surga juga mencuci pakaian kotor seperti yang dilakukan orang-orang di bumi. Cerita itu sering didengungkan di mana-mana, di pelosok kampung dan sudah menjadi kepercayaan umum.
Saat-saat seperti ini adalah waktu yang paling menakutkan bagi saya. Jangankan bila melihat para arwah menjemur pakaian, melihat Pak Tentara saja ketakutan saya membuncah seperti bertemu makhluk gaib. Saya selalu menganggap mereka yang selalu menakutkan adalah orang-orang berbadan kekar, besar, dan tinggi yang selalu makan enak tiap hari. Mereka mungkin tidak pernah berpuasa. Tetapi saya membiarkan bayangan itu purna sendiri. Saya akan bergegas ke kamar tidur.
Sebelum ayah mematikan radio, ia menyambangi saya di kamar. Saya sedang gemetaran seperti tersengat listrik; lapar. Rasanya seperti sudah di ambang kubur. Tetapi saya berpikir bahwa saya tidak akan mati, sebab ini puasa untuk Tuhan. Bapak tahu tentang perihal itu, ia terakhir melihat saya makan di pagi hari dan hingga kini tak sebutir nasi masuk ke mulut saya.
Tetapi entah kenapa, ia tidak risau dengan hal tak membahayakan itu. Ia tahu, saya tengah berpuasa. Ia juga seharian tidak makan. Dan ia juga belum sesekarat saya. Mungkin saja, saya lapar bercampur takut akibat warna aneh pada cakrawala, sore tadi. Jika melawan ketakutan itu mungkin saja saya dapat tidur nyenyak hingga besok.
Arnoldus melanjutkan ngobrol dengan Bapak. Mereka bicara tentang dogma-dogma gereja. Kebetulan Bapak adalah seorang katekis senior. Pembahasan agama seperti itu paling ia sukai. Kadang menghabiskan waktu hanya untuk membanding-bandingkan agama satu dengan agama lain. Begitu pula mengklain Tuhan sebagai milik agamanya. Pokoknya macam-macam. Saya sungguh tidak paham sedikit pun.
“Kita kadang berdoa tetapi tetap saja tidak ada sebab dari doa itu,” Bapak berkata pada Arnoldus menggati topik. Kini menyalahkan dirinya sendiri.
“Ia Om, kita ini do-doa juga sama saja tetap berbuat dosa” jawab Arnoldus. Suaranya terbata-bata seperti ragu-ragu mendaraskan kalimat itu, sebab ia adalah seorang pemuda aktif di gereja.
“Tetapi saat kita mati, itulah penghakiman terakhir Arnol. Kita baru akan tahu seberapa berdosa kita di hadapan Penghakim. Tugas kita harus tetap berdoa. Kau jangan main-main dengan doa. Tadi saya hanya kelakar saja.” Suara Bapak sedikit tinggi. Lalu sunyi. Hanya dendang nafas alam. Berselang beberapa menit, mereka melanjutkan obrolan dan saya nyaris bermimpi. Mereka mengobrol hingga saya tertidur nyenyak. Entah, sampai jam berapa mereka selesaikan obrolan itu.
***
Seminggu kemudian, tepat hari Jumat malam, saat usai Jalan Salib, kabar dari Tanta Marta, anaknya Rio meninggal. Saya merasa amat kehilangan. Rio adalah teman saya sejak Sekolah Dasar di Bestobe. Anak itu pintar sekali. Dia berasal dari keluarga kaya.
Setiap hari di sekolah ia selalu membagi hasil jajanannya kepada kami. Saya selalu gembira berteman dengan teman yang kini telah berpulang ini. Padahal, pada akhir-akhir ini ia rajin sekali ke gereja juga berdoa rutin di Gua Maria. Memang sangat memilukan, banyak orang ikut merasakan kepedihan kepergian remaja baik hati ini.
Sejak itu, kabar kematian Rio mulai tersiar ke seluruh isi kampung. Orang-orang ,mulai berbondong-bondong melayati mayatnya. Para guru sekolah minggu juga tak satupun yang tak ikut ke rumah Rio. Tersiar isu Rio mati karena lapar.
Dari cerita Kakak pertamanya, sudah dari hari Rabu ia tidak makan. Lalu pada hari Kamis, ia hanya makan dua kali dalam seharian itu. Dan pada hari Jumat ia tidak menyentuh makanan apa pun. Padahal, kemana-mana ia selalu membawa cemilan di tasnya. Tapi rupanya Rio tidak makan selama hari Jumat itu. Mungkin saja ia memiliki riwayat penyakit atau memang ia sedang mengidap penyakit lain yang membuatnya tidak makan.
Saya boleh mengira-ngira tetapi tetap tak dapat jawaban yang pasti, sebab Rio sehat-sehat saja kalau ke rumah saya, atau bertemu di sekolah dan gereja. Mungkin sudah saatnya Tuhan memanggilnya. “Eh, kasian, teman saya.” Saya membatin.
Usai memberi makan babi, saya menuju rumah tempat Rio berbaring kaku. Di sana, saya melihatnya menutup mata untuk selamanya di dalam keranda. Saya menjatuhkan air mata. Saya bicara dengan diri sendiri, “kebaikannya selama ini akan dibalas oleh Tuhan. Dia sudah pergi bertemu Tuhan itu.”
Pada hari itu hari Jumat, saya mengingat kematian Yesus tepat seperti hari Rio meninggal. Ini mungkin bukan kebetulan. Rio itu orang baik seperti Yesus, makanan ringannya akan selalu ia bagi mereta untuk kami semua sahabat-sahabatnya. Ia tidak kikir. Ia anak yang bijaksana. Selain itu, karena cukup pintar di kelas, ia juga kerap mengajari kami cakar matematika. Saya letih dan pilu ketika memikirkan kehidupan Rio yang penuh kasih sayang itu. Sungguh teriris.
***
Malam makin pekat dan tangisan semarak dar segala arah. Tidak lama berselang, di tengah riuh isak tangis itu, para pemain judi mulai ricuh, ada yang tak jujur dalam permainan judi itu. Kursi, kartu, dan bingo mulai berhamburan. Mereka baku hantam dengan kursi. Saling lempar-melempar.
Tetapi rupanya mereka tak memiliki tenaga, sehingga benturan kursi itu tidak pecah atau patah, atau samapai melukai. Mereka kecapaian sendiri dan merasa tak berdaya. Rupanya mereka berpuasa pada hari itu; tidak makan, sebab hari itu adalah Hari Puasa.
Di antara mereka yang bikin rusuh itu terdapat juga Pak RT, Ketua BPD dan Ketua Kelompok St. Matias Rasul. Semua adalah pejabat gereja dan pejabat negera tercinta. Untung saja karena peristiwa pedih itu bertepatan dengan hari puasa sehingga para pelaku bejat itu lapar tak berdaya. Jika tidak, tempat duka itu akan benar-benar dijungkirbalik oleh orang-orang yang juga lapar kebengisan ini.
Berkat seorang guru agama yang mulai angkat bicara dengan nada marah, para perusuh mulai diam. Suasana kembali tenang. Mereka lalu didamaikan. Tidak diproses secara hukum. Apalagi ada Ketua RT dan Ketua BPD yang adalah apratur pemerintah di desa itu. Saling mengerti dan negosiasi semua jadi aman.
Saya mendekati Rio yang terbaring kaku itu, berdoa sejenak lalu hendak meninggalkannya dengan kata pamitan yang telah menjelma air mata. Saya mendekap Tanta Marta sebelum pulang, begitupun perempuan paruh bayah itu memeluk saya erat-erat dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa menahan pedihnya. Ia terlihat seperti Bunda Maria melepaspergikan Yesus di kayu salib.
Bermodal sisa tenaganya yang hampir pupus, Tanta Marta menarik pohon telinga saya mendekat ke bibirnya, lalu membisikan sepenggal kalimat, “Rio kelaparan hingga meninggal. Ia mencoba berpuasa seperti kamu. Akhirnya penyakitnya kambuh dan ia sendiri akhiri hidupnya.” Ibunya melepaskan eratannya dari tubuh saya. Terdengar tangisannya makin pecah.
Saya menengadah ke langit dan berteriak sekuat tenaga, “Yesus, apa Engkau sedang berpuasa?”
Langit kembali terlihat seperti berwarna orange, dan sekejab gelap kembali turun menyelimuti.