Sang surya mulai tertunduk dengan awan abu yang memaksa untuk merengkuk. Hujan perlahan turun membasahi jalanan yang membuat para penguasa bumi mulai berpergian beralu lalang tak karuan. Tertegun lamunan puan yang sedang berjalan dengan suara gemuruh hujan yang sangat kencang. Benaknya bertanya-tanya, “Apakah engkau merasakan apa yang aku rasakan? Atau engkau sengaja, menurunkan air matamu karena aku mengingatnya?” 

“Emm sudah.. yaa aku mengerti, mungkin kau membantuku menutupi tetesan air mataku ini.” (sambil berlari menuju bus yang sudah datang).

 

Pintu bus yang telah terbuka lebar, Asnamira bergegas duduk di bangku belakang. Membasuh kacamata yang terkena percikan air hujan, tiba tiba terdengar notifikasi pesan dari telepon genggamnya. Dengan cepat Asnamira mencari telepon genggam yang masih di dalam tas mungil berwarna merah bata tersebut.

“Assalamualaikum, maaf jika mengganggu waktumu. Bagaimana kabarmu? Masih belum mau bertemu denganku? Sudah dua tahun aku masih menunggu jawabmu.”

Melihat pesan tersebut, seketika jantungnya berdenyut sangat kencang dan tak terasa sesuatu mengalir di kedua pipinya. Tak tahu harus bagaimana, Asnamira hanya mengabaikan pesan dari sosok pengirim tersebut dan dengan cepat memasukan telepon genggam kembali ke tas mungilnya.

 

Tak terasa tempat tujuan mulai terlihat, sesegera Asnamira bersiap-siap untuk turun dari bus dan hujan pun mulai berhenti menetes. Sesampai di rumah, Asnamira disambut lembut oleh sang bunda.

“Assalamualaikum, ibu Namira pulang.” (sambil tersenyum dan memeluk sang bunda). “Waalaikumsalam, alhamdulillahh putriku. Kenapa? Ada apa? Kamu baik-baik saja putriku? Tidak biasannya kamu langsung memeluk bunda.”

“Bunda maaf, bunda jadi basah karenaku. Namira izin ganti baju terlebih dahulu bund.”

 Ya sudah, segera ganti bajumu lalu turun untuk makan, bunda sudah memasak makanan favoritmu sayur asem dan ikan asin.”

“Wahhh bunda tahu saja Namira lapar, terima kasih bunda.”Tanpa bertele-tele sesegera Asnamira bergegas menuju kamar. Sesampainya di kamar, terdengar kembali notifikasi pesan.

“Saya masih menunggu jawabanmu, saya harap jawabanmu membawa berita baik untukku.” Masih tidak menghiraukan pesannya, Asnamira bergegas mengganti pakaiannya dan segera turun menuju ruang makan. 

Sesampainya di ruang makan, Asnamira dengan cepat menghampiri bundanya yang sedang menuangkan nasi ke piring. “Bund, biar Namira saja yang mengambil, bunda cukup duduk saja.” “Tidak papa nak, kamu pasti capek (sambil menuang nasi ke piring). 

“Bagaimana hari ini kerjamu nak? Tanya sang bunda kembali.

“Alhamdulillah bund Namira tetap bersyukur apapun yang terjadi di hari ini.”

“Alhamdulillah, ya sudah makan dulu putriku.” –“Ayah dimana bund?” tanya Asnamira. 

“Ayahmu pergi ke warung sebentar, sepertinya membeli pupuk.” Mendengar jawaban dari sang bunda, Asnamira pun kembali melanjutkan makannya.

Setelah makan, Asnamira bergegas untuk merapikan meja makan dan mencuci piring. Namun ketika hendak beranjak dari meja makan, sang bunda melontarkan kata-kata yang membuataktifitas Asnamira terhenti. “Namira, tadi nak Arsen datang kemari.” -“Ada perlu apa bun Arsen datang ke rumah?” “Hanya berkunjung sebentar nak. Apakah kamu masih belum membalas pesan darinya?” -“Belum bun, Namira masih…” -“Nak, temui Arsen, jangan kamu memutus tali persaudaraan kalian karena peristiwa itu. Bunda yakin nak Arsen pasti ada alasan tertentu melakukan itu. Arsen hanya memintamu untuk menemuinya kan?  Nak Arsen anak yang baik dan sholeh nak, dan bunda sangat yakin dia pasti mempunyai niat yang baik.” 

Mendengar sang bunda tidak ada habisnya membujuk Asnamira untuk menemui Arsen, dengan suara yang pelan,Asnamira menjawab “Baik bund.”

-“Ya sudah lanjutkan aktivitasmu, bunda mau buatkan kopi ayahmu dulu.”  

 

Seusai menyelesaikan pekerjaan rumah, Asnamira kembali menuju ke kamarnya.

“Mengapa engkau datang ke rumah dan bertemu ibu?” ucap Asnamira dengan suasana hati yang cukup kesal. 

“Astaghfirullahh, sabar sabarr, sabar Namira kendalikan pikiranmu dan redamkan egomu.”

Amarah Asnamira berhasil dialihkan oleh sang pencipta alam yang menyuguhkan langit senja dengan polesan pelangi yang terpampang nyata di jendela. “Apa aku harus menemuimu?” –“Apa ini juga sudah saatnya, rinduku ini tidak akan membuahkan lara lagi?”

“Tidak tidak, tidak Namira, untuk apa aku temui?” Tapii….sudahlahh lebih baik aku mandi saja.”

Lantunan adzan maghrib mulai terdengar, sesegera Asnamira melaksanakan kewajibannya untuk beribadah. Usai melaksanakan kewajiban, matanya tertuju pada handphone yang berada di atas meja dan ia kembali membaca pesan dari Arsen yang sempat terabaikan. Pikiran Asnamira mulai berinteraksi dengan hatinya -“Rasanya… aku ingin menemuimu.” Perlahan jari tangan Asnamira mulai bergerak dan menuliskan sebuah pesan “Waalaikumsalam, alhamdulillah saya baik mas.”

Belum berjalan satu menit, notifikasi handphone terdengar kembali menandakan pesannya terbalas. 

“Alhamdulillah, terima kasih dek sudah membalas pesanku. Jadi bagaimana ini dek? Bisa kita bertemu? Saya hanya ingin waktumu sebentar saja untuk berbicara.”  Membaca jawaban dari seseorang yang dahulu pernah disayangi, hati Asnamira semakin tak karuan. Detak jantungnya semakin berdetak sangat keras, membuat tekatnya berani membalas kembali pesan dari sang pujaan hatinya. “Baik mas, saya ada waktu luang di hari Minggu, insyaAllah saya akan datang menemuimu.”

 

Melihat jawaban Asnamira yang membuahkan hasil sesuai dengan harapan Arsen, detak jantung Arsen tak kalah berdetak dengan cepat. Sesegera Arsen membalas 

“Alhamdulillah terima kasih dek, saya akan menunggumu di tempat pertama kali kita bertemu pukul jam 9 pagi.” Bak kapal yang terombang ambing di lautan, Asnamira tak tahu harus bagaimana. Dalam hatinya hanya bisa berbisik “Setidaknya aku cukup tenang".

 

Tak terasa sang surya mulai memancarkan sinarnya untuk menerangi bumi. Dengan balutan kain berwarna merah bata, Asnamira yang cukup tenang dan percaya diri mulai turun ke bawah meskipun pikirannya tak setenang seperti raganya. 

“Waduh-waduhh, cantik sekali putriku satu ini”. Ucap ayahAsnamira. “Putriku memang selalu cantik” balas bunda Asnamira kepada sang suami. Perlahan Asnamira menghampiri kedua orang tuanya dengan wajah yang memerah dan berkata “Ayah bunda, Namira izin pamit untuk keluar….” Belom selesai Asnamira meminta izin untuk pergi, tiba-tiba terdengar ketokan pintu dan ucapan salam. “Assalamualaikum..”. Mendengar suara yang sudah tak asing bagi Asnamira, detak jantung Asnamira mulai berdetak dengan cepat.

Seketika semua perhatian telah tertuang kepada sumber suara dan dengan kompak penghuni rumah yang sederhana tersebut menjawab, “Waalaikumsalam”. Mata Asnamira mulai berbinar setelah melihat sosok laki-laki yang berbadan tinggi dan berkulit sawo matang mulai menginjakkan kakinya ke teras.“Nak Arsen, silahkan masuk” ucap ayah Asnamira. “Baik pak” balas Arsen. “Nak Arsen sudah datang rupanya, silahkan duduk nak ibu buatkan teh hangan dulu”

-“ Tidak usah repot-repot bu” 

“Bunda, biar Namira yang membuat, bunda duduk saja” sambung Asnamira dan bergegas menuju dapur. 

“MasyaAllah, mas Arsen belom berubah sopan santunnya” ucap Asnamira dalam hati sambil membuat teh. 

“Terimakasih dek” ucap Arsen yang melihat Asnamira menyuguhkan teh dan beberapa cemilan ke meja ruang tamu. Asnamira hanya membalas dengan senyuman manis.

Setelah lama berbincang-bincang dengan kedua orang tua Asnamira, kemudian Arsen meminta izin untuk mengajak Asnamira pergi. –“ Bapak ibu, jadi tujuan Arsan kemari ingin meminta izin bapak ibu, bahwa Arsan ingin mengajak Namira untuk pergi sebentar. Apakah bapak ibu mengizinkan?” 

“Silahkan nak, tapi bapak berpesan tidak usah terlalu lama ya untuk kebaikan kita Bersama.”

“Baik pak, terimakasih banyak atas izinya pak buk”.

Setelah berhasil mendapatkan izin dari kedua orang tua Asnamira, kedua manusia yang penuh dengan kesederhanaan tersebut bergegas menuju ke mobil. Perjalanan menuju ke tempat tujuan, Asnamira merasa canggung kepada Arsan maupun sebaliknya. Hanya suara bunyi klakson yang saling bersautan menjadi saksi bisu bahwa kedua insan ini akhirnya dapat bertemu.

“Eee, sepertinya ini akan memakan banyak waktu dek, mungkin 5 jam kedepan masih macet” (Arsan membuka percakapan). -“Tidak apa apa mas, sabar saja saya juga tidak terburu-buru” jawab Asnamira sambil tersenyum kecil. 

“Bukan masalah itu dek, saya sudah diberi pesan bapak supaya pulang tidak terlalu larut. Bagaimana kita jalan kaki saja? 300 m lagi kita sampai Bana Rawa.” –“Tidak masalah mas, tapi mobil mas bagaimana?” –“Saya parkirkan di minimarket depan saja tidak apa-apa dek”. Sesegera Arsan memakirkan mobil Jazznya yang berwarna hitam di depan minimarket.

Setelah berjalan kurang lebih 300 m sampailah mereka di tempat pertama kali mereka tak sengaja bertemu. “Mau pesan apa dek?” tanya Arsan. “Seperti biasa mas” jawab Asnamira berharap Arsan masih mengingat minuman favoritnya. 

–“ Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sambil menyodorkan menu

“Selamat siang, kami pesan satu hazelnute latte, banana shaken expresso, pisang goreng wijen, dan pancake.” –“Baik saya ulangi ya kak, ada hazelnute latte, banana shaken expresso, kemudian ada pisang goreng wijen, dan puncake.” 

“Apakah ada tambahan lain?” -“Tidak, sudah cukup.” -“Baiklah mohon untuk di tunggu sekitar 15 menit, terimakasih dan selamat siang.” –“Terimakasih mbak”. Ucap Arsan dan Asnamira dengan kompak.

Lagi-lagi suasana menjadi canggung dan menjelma kebisuan antara kedua mahkluk tersebut. Akhirnya Arsan membuka kembali percakapan “Bagaimana kerjamu dek, lancar?”

-“Alhamdulillah mas, lancar. Mas sendiri bagaimana kuliahnya di Turki?” –“Alhamdulillah mas sudah lulus dek, Insyallah tahun depan mas mau melanjutkan S3 di Jerman. Doakan saja semoga harapan mas lancar.” Mendengar perkataan tersebut Asnamira terdiam dan tiba-tiba pelayan datang mengantarkan hidangan. 

“Permisi, ini pesanannya. Saya cek kembali ya, ada satu hazelnute latte, banana shaken expresso, kemudian pisang goreng wijen, dan pancake. Apakah ada pesanan yang terlewat atau ada tambahan lain?” –“Tidak mbak, sudah.” -“Baik terimakasih dan selamat menikmati.”

“Silahkan dek, dinikmati.” Sambil menyodorkan hazelnute latte yang merupakan minuman favoritnya. Melihat Asnamira hanya terdiam, Arsenpun bertanya. 

“Dek, ada masalah apa? Apa perkataanku menyakitimu?” Asnmaira hanya terbungkam, hatinya terasa sakit setiap menginggat peristiwa itu dan tak terasa matanya penuh air yang siap untuk diteteskan. Melihat sosok yang sangat dia cintai menangis, dengan rasa bersalah Arsanpun berkata, 

“Maafkan aku dek, mungkin kau masih menyimpan perih dan lara. Mas ingin menemuimu salah satunya ingin menjelaskan peristiwa di dua tahun yang lalu. Mas mohon dengan sangat tolong…”

Belom selesai menjelaskan Asnamira memotong pembicaraan Arsan dengan tegas,

“Mas, sebenanya untuk apa mas ingin menemuiku jika hanya untuk membahas peristiwa dua tahun yang lalu? Dua tahun bukan waktu yang singkat mas. Mas dengan mudahnya meninggalkan saya tanpa kabar apapun. Mas tahu, saat itu betapa khawatirnya saya dan betapa hancurnya pikiran saya karena sosok yang saya cintai, telah berjanji untuk menikahiku di depan kedua orang tuaku tiba-tiba menghilang tanpa petunjuk apapun. Bisa mas bayangkan begitu sakitnya hati saya dan kedua orang tua saya?”

Suasana saat itu mulai ricuh, Asnamira pun sadar dan berusaha memadamkan amarahnya. “Astagfirullah hal adzim, maafkan aku mas.” (sambil membasuh air matanya). 

Mendengar pernyataan dari sosok wanita yang sangat dicintai duduk di depannya, Arsan pun menjawab, 

“Maafkan mas dek, mas tidak bermaksud untuk mencampakanmu. Mas memang pantas disalahkan, mas juga menyadari bahwa mas tidak bertanggung jawab karena pergi begitu saja tanpa mengucapkan suatu kata apapun. Ketika itu situasi sangat mendesak, mas dikabarkan malam itu harus berangkat ke Turki karena mas mendapatkan beasiswa yang mas impikan dari kecil. 

Saat di bandara tanpa sadar telepon genggam mas hilang, sehingga mas tidak bisa memberimu kabar. Mas memberi pesan kepada Rafailla untuk memberi tahumu mas berangkat ke Turki dan pesan itu alhamdulillah sampai di telingamu. Mas di sana tinggal di asrama, jadi mas tidak bisa setiap saat mengirim pesan untukmu. 

Hanya ketika mas di kampus, mas dapat mengirimkan pesan melalui email. Mas sudah mengabarimu dek dan selalu mengabarimu, namun tidak ada balasan darimu. Sekali lagi mas minta maaf karena telah menyakitimu dan juga bapak ibu.

Mendengar penjelasan Arsan, Asnamira pun kembali meneteskan air matanya. Ia merasa bersalah karena selalu mengabaikan pesan dari Arsan. “Mas maafkan Namira mas..”

“Namira tidak perlu minta maaf, mas juga paham perasaan Namira dan itu memang kesalahan mas. Namira tenangkan pikiran Namira terlebih dahulu ya, setelah itu mas ingin menyampaikan maksud mas untuk mengajak Namira bertemu pada hari ini.”

Namira pun kemudian berusaha untuk menenangkan diri. Setelah merasa dirinya tenang, Namira berkata, “Namira sudah cukup tenang mas, apa yang ingin mas sampaikan?”

“Alhamdulillah, Namira sebenarnya maksud dari mas ingin bertemu denganmu sudah lama. Mas sudah datang ke rumahmu untuk menemuimu dan meminta maaf kepadamu dan juga ayah dan bunda. Namun mas hanya bertemu dengan ayah dan bunda Namira karena Namira masih bekerja. 

Mas sudah menyampaikan permohonan maaf dan meminta restu kepada ayah bunda Namira bahwa mas insyaAllah ingin menikahi Namira. Mas sangat bersungguh-sungguh dek dan apakah Namira berkenan untuk menyempurnakan agama bersama mas?”

Tubuh Asnamira seketika terasa lemas setelah mendengar ucapan dari sosok yang telah didambakan. Tak bisa berkata-kata Asnamira hanya bisa menganggukan kepala dan mengeluarkan air matanya dengan senyuman penuh bahagia. Melihat wanita yang sangat dicintai menangis dihadapannya, Arsan pun ikut menangis bahagia. Momen inilah yang Arsen impikan dan ternyata membuahkan hasil yang baik.

Tak terasa sang surya mulai melambaikan tangannya yang pertanda gelap akan segera jatuh. Mereka pun bergegas pulang. Sesampai di rumah Asnamira, mereka disambut lembut oleh kedua orang tua Asnamira yang seakan-akan sudah mengetahui apa yang telah terjadi. Tak lama kemudian Arsan pun berpamitan untuk pulang. “Alhamdulilah pak buk, Arsan berhasil.” –“Alhamdulillah nak.” (jawab orang tua Asnamira) 

“Kalo begitu Arsan pamit pulang pak buk. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam hati hati di jalan nak Arsan.”

 

Wakktu berjalan bak air sungai yang terus mengalir. Terlihat sosok wanita yang anggun dengan gaun cantik berwarna putih berjalan yang diapit oleh kedua orang tuannya. Semua mata tertuju kepada sang pemeran utama, tak kuasa menahan haru melihat sosok  yang sangat dicintai kini sepenuhnya kembali dalam pelukannya. Menjadi rumahh yang tak sekedar untuk disinggahi, kini Asnamira telah menjadi rumah untuk pulang.

 

 

 

TAMAT