Kurang lebih 90 menit jelang berakhirnya batas waktu pengajuan keberatan atau sengketa hasil Pilpres, Jumat, 24 Mei 2019, Tim kuasa hukum BPN Prabowo-Sandi yang diketuai oleh Bambang Widjojanto dengan didampingi oleh Denny Indrayana dan Hasyim Joyokusumo mendaftarkan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan diterimanya gugatan tersebut oleh panitera MK, maka secara tidak langsung menjadi justifikasi pengakuan kekalahan dari pasangan capres 02, Prabowo-Sandi atas rivalnya pasangan Capres 01, Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pilpres 2019.

Sementara itu, dalam menanggapi rencana persidangan di MK, Ketua Tim hukum TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra dalam wawancaranya dengan Tribun, Rabu (22/5), menyebutkan bahwa dirinya ingin melihat dan mendengar seperti apa gugatan dan pembuktian dari BPN Prabowo-Sandi atas perkara yang menjadi gugatannya.

Seolah memberikan Psywar dan menebar rasa pesimistis bagi tim BPN Prabowo-Sandi, Yusril menegaskan bahwa berdasar pengalamannya dalam kasus serupa pada sidang di MK tahun 2014, dirinya pada waktu itu bertindak sebagai ahli sehingga melihat perkara secara teoritis, dan menurut Yusril sangat berat membuktikan tuduhan kecurangan. Namun demikian, dirinya tidak apriori menanggapi hal tersebut.

Di sisi lain, Ketua Tim hukum BPN Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW), dalam konferensi persnya seusai mendaftarkan gugatan di MK, menyampaikan beberapa pernyataan kontroversial yang mengundang reaksi dan tanggapan dari berbagai kalangan.

BW menyebutkan banyak pihak yang menilai bahwa pemilu 2019 adalah yang terburuk sepanjang masa. Dalam hal ini, seolah-olah BW lupa bahwa selama rezim Orde Baru telah dilaksanakan pemilu sebanyak 6 kali. 

Pemilu tersebut sangat jauh dari prinsip 'luber' dan 'jurdil', karena pemilu di era Orde Baru merupakan pemilu prosedural dan hanya sekadar seremonial belaka. Yang mana pada saat itu kita sudah mengetahui hasil pemilu jauh sebelum pemilu itu sendiri dilaksanakan, karena memang sudah dipersiapkan.

Selain itu, BW juga menegaskan bahwa pihaknya berharap agar Mahkamah Konstitusi bisa menempatkan dirinya menjadi bagian penting, di mana kejujuran dan keadilan harus menjadi watak dari kekuasaan, dan bukan justru menjadi bagian dari satu sikap rezim yang korup. Dengan kata lain, BW menuding bahwa pemerintahan Jokowi-JK sebagai rezim yang korup dan berharap MK tidak menjadi bagian rezim tersebut.

Pernyataan BW tersebut bisa saja dikategorikan ke dalam contempt of court, yang mengandung makna setiap perbuatan, tingkah laku, sikap, dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, dalam hal ini Mahkamah konstitusi.

Setidaknya pernyataan BW tersebut berimplikasi hukum jika mengacu pada pasal Pasal 207 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Entah apa motif dari pernyataan BW tersebut, mungkinkah didorong oleh rasa jumawa seorang BW, dikarenakan sampai sejauh ini hanya BW pihak yang berhasil memenangkan sengketa pilkada di MK. Yakni saat BW menjadi tim kuasa hukum Ujang Iskandar - Bambang Purwanto pasangan cabup-cawabup Kotawaringin Barat yang menggugat kemenangan lawannya dan berujung dengan didiskualifikasinya pasangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno, dan menetapkan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai bupati dan wakil bupati Kotawaringin Barat periode 2011-2015.

Rivalitas antara Sugianto Sabran dengan Ujang Iskandar berlanjut pada pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah yang mengantarkan Sugianto Sabran menjadi Gubernur Kalimantan Tengah periode 2016-2021, dan Sugianto Sabran-lah pihak pelapor kasus penggunaan saksi palsu oleh BW pada sidang sengketa pilkada di MK tahun 2010 yang berujung pada pencopotan BW sebagai wakil ketua KPK.

Bukan sekadar itu, BW juga menyebutkan bahwa pihaknya berharap MK bukan sebagai Mahkamah Kalkulator yang fokus pada angka-angka, melainkan pada subtansi pilpres yang luber dan jurdil, berpijak pada hukum dan kedaulatan rakyat sehingga "penolakan" oleh Bawaslu yang hanya melihat alat bukti dari sisi prosedural tidak terulang di MK. Atau dengan kata lain, BW ingin menyembunyikan kelemahan alat bukti yang dimiliki BPN Prabowo-Sandi dengan mendiskreditkan profesionalisme Bawaslu.

Sementara itu, Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, Rizal Mallarangeng, menilai bahwa gugatan BPN Prabowo-Sandi lebih merupakan sebuah fiksi, atau lebih tepat: sebuah delusi yang berbahaya. Karena, menurut Rizal, tim kuasa hukum BPN tidak mengajukan sengketa lewat revisi penghitungan angka menang-kalah. Sebab mereka tidak memiliki bukti suara yang memadai untuk membalik hasil resmi KPU.

Pada esensinya, tim kuasa hukum BPN Prabowo-Sandi ingin melakukan delegitimasi pemilu, dengan harapan pemilu secara keseluruhan dianggap tidak sah, maka pemenangnya pun (Jokowi dan Ma’ruf Amin) harus dinyatakan tidak sah. 

Dengan begitu, tanpa meminta pemilu ulang, Prabowo berharap bahwa dia dan Sandi Uno yang akan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. (Qureta 26/4)

Melihat kecilnya peluang atau bisa dikatakan mustahil bagi Prabowo Subianto untuk bisa memenangkan sengketa di MK, mestinya kita setuju dengan pendapat Rizal bahwa kita harus menunda apresiasi terhadap Prabowo. Setidaknya sampai dengan waktu pembacaan putusan MK pada tanggal 26 Juni 2019.

Akankah Prabowo Subianto memberikan ucapan selamat dan bertemu dengan Jokowi, sekaligus memberikan pernyataan bersama bahwa pemilu telah usai dan sudah saatnya mendukung pemerintahan yang baru serta mengakhiri polarisasi politik selama ini, untuk menuju masa depan Indonesia yang lebih baik? Semoga harapan ini bukan sebuah delusi.