Masalah korupsi di Indonesia menjadi momok dan ancaman bagi kesejahteraan di negeri yang kaya raya ini. Kasus korupsi terbaru yang santer dibicarakan perihal diciduknya Ketua Umum Partai Berlambang kakbah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jawa Timur, Jumat (15/3) pagi, mencoreng partai politik yang berlabel Islam. 

Tidak hanya partai yang terlibat, tetapi Kementerian Agama (Kemenag) juga kena getahnya, karena ini berkaitan dengan kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di kementerian tersebut.

Rupanya, perilaku korupsi di Indonesia ibarat penyakit yang mewabah dan menjalar hampir di setiap sektor kehidupan. Hal ini merupakan persoalan bangsa yang menuntut kajian dan penanggulangan segera dan perlu melibatkan berbagai kalangan. 

Kita tahu bahwa salah satu faktor penyebab terhambatnya perkembangan atau kemajuan bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan teknologi di Indonesia, karena pembiayaan bidang tersebut dikorupsi oleh penguasa itu sendiri.  

Dapat dibilang, korupsi di negeri ini sudah sangat pervasive dan massive. Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia menilai korupsi sebagai extraordinary crime. Seolah masalah korupsi sudah menjadi tradisi bangsa ini, yang dapat diibaratkan “warisan haram” tanpa surat wasiat. Simbol kata korupsi tetap lestari sepanjang masa, meskipun terus diberantas dan diharamkan oleh hukum, baik hukum ketatanegaraan maupun hukum agama.

Dinamika Psikologi Koruptor

Tindakan korupsi ini semakin berkembang dari hanya merupakan tindakan individu menjadi tindakan berkelompok. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah jika ada kelompok individu yang melakukan korupsi, maka individu atau kelompok lain di sekitarnya cenderung melakukan meniru tindakan tersebut.

Tindakan tiru-meniru dalam hal korupsi ini memang sangat menarik untuk dibahas, karena pada suatu titik tindakan korupsi yang dilakukan ini berubah menjadi pembenaran karena orang orang di sekitarnya melakukan hal yang sama.

Hasil studi yang terkait dengan psikologi korupsi ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki perasaan dan solidaritas menjadi bagian dari suatu kelompok akan menunjukkan rasa kesetiakawanannya paling tidak dengan menutup mulut walaupun dia menyaksikan tindakan korupsi tersebut berlangsung.

Salah satu hasil studi yang memfokuskan pada dikotomi antara keserakahan dan kebutuhan individu, menunjukkan bahwa pejabat publik di berbagai negara memiliki kecenderungan menerima gratifikasi sebagai suatu kebiasaan kecuali jika dilakukan pengawasan yang sangat ketat.  Oleh sebab itu, kombinasi antara kurangnya monitoring dan akuntabilitas dalam pemerintahan akan memperbesar potensi terjadinya korupsi.

Ditinjau dari segi psikologi korupsi, paling tidak ada dua faktor utama yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan korupsi, yaitu (1) sifat serakah yang dimiliki seseorang; (2) rasa percaya diri yang berlebihan yang menganggap bahwa dirinya dilahirkan sebagai orang besar sehingga dirinya memerlukan kekayaan materi yang didapat dengan jalan apa pun.  

Orang yang memiliki karakter seperti ini biasanya beranggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan, kalaupun nantinya terdeteksi dan tertangkap, maka tindakan hukum yang diterimanya akan ringan.

Jadi sebenarnya tindakan pencegahan korupsi merupakan sesuatu yang komplek dan penyelesainya tidak sesederhana hanya dengan menyiapkan lembaga pengawasan semata mata. Dalam mengantisipasi fenomena gunung es korupsi yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya pihak berwenang mengategorikan tindakan korupsi merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa terutama untuk tindakan korupsi yang masif dan sistimatis.

Pencegahan koruspi tidak dapat lagi hanya dilakukan dengan cara mengimbau saja melainkan harus berupa tindakan nyata yang memberikan efek jera, yaitu tindakan pemiskinan bagi para pelaku korupsi yang diiringi dengan tindakan hukum yang sangat berat dan disertai dengan tindakan pengucilan dari masyarakat.

Paradigma Generasi Milenial

Bagi kalangan generasi milennial bercita-cita menjadi pejabat publik seperti anggota dewan, birokrat, maupun pegawai negeri nampaknya tak lagi menjadi profesi prestisius. Peran mereka tergeser oleh para influencer baru. Kita bisa menengok seminar-seminar, ramai mana forum yang dihadiri anggota dewan atau youtuber top Indonesia semisal Atta Halilintar atau Ria Ricis, atau mungkin CEO situs e-commerce Gojek Yusuf Makarim?

Pergeseran paradigma itu didasarkan makin membanjirnya opsi pekerjaan yang dipandang lebih menjanjikan di era digital. Profesi sebagai digital enterpreneur dan social media influencer semisal youtuber atau selegram, hingga membangun startup sendiri lebih memiliki daya tarik.

Selain soal memilih pekerjaan, generasi milenial lebih memilih hidup independen, ketimbang, misalnya, menjadi karyawan di sebuah perusahaan atau institusi pemerintahan yang mengharuskan berhadapan dengan segala formalitas dan tekanan beban kerja.

Orientasi bekerja generasi milenial juga berubah. Bagi mereka, bekerja haruslah menghasilkan karya. Tak sekadar mencari keuntungan sebesar-besarnya. Apa pun genrenya,  profesi para milenial didasari atas kecintaannya terhadap pekerjaan. Adagium Ridwan Kamil, “Pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar” yang pas menggambarkan itu.

Anti Golput

Dalam suasana tahun politik, yang akan digelar serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, (pilpres) pemilihan legislatif (pilleg) dan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendorong kaum milenial pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 17 April 2019, merupakan langkah penting untuk mewujudkan efikasi (kemanjuran) pemilihan umum (pemilu).

Pemilu pada hakikatnya sebagai tangga untuk mempromosikan orang-orang berkualitas, sekaligus mekanisme pemberian sanksi atas tindakan salah. Menggelar pemilu di saat pemerintah mendengungkan Revolusi Industri 4.0 merupakan teka-teki, mengingat mayoritas tenaga kerja Indonesia hari ini masih didominasi lulusan sekolah dasar.

Inilah saatnya untuk mengajak kaum milenial mengeksekusi gagasan mereka tentang masyarakat dan Bangsa Indonesia yang dicita-citakan melalui pemilu. Pemilu 2019 adalah momentum untuk menghentikan kecenderungan bertumpuknya kekuasaan pada satu keluarga (politik dinasti), sekaligus mendorong kemunculan pemimpin yang dapat berpikir 25 tahun ke depan, yang dapat membumikan gagasannya lewat program-program yang membuat kaum milenial lebih siap menghadapi tantangan.

Penambahan jumlah penduduk usia produktif itu pasti, namun apakah pertumbuhan ini akan menjadi bonus atau petaka demografi bergantung kepada keberanian kita memilih jalan perubahan, untuk tidak melakukan korupsi. Karena pada dasarnya orang-orang yang melakukan korupsi adalah orang-orang pemalas dan orang-orang yang tidak mempunyai etos kerja tinggi yang dapat menghasilkan dari keringatnya sendiri.