Dengan demikian, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan lagi partai nol koma, melainkan partai dua koma (2.0). Karena itu, apa yang telah dipercayakan rakyat tidak boleh ditinggalkan begitu saja.
Pemilu 2019 telah usai. Hasilnya, partai anak muda itu tak lolos ke senayan. Penyebabnya adalah ketidakmampuan PSI menembus Parliamentary Threshold (ambang batas parlemen) 4% yang menjadi syarat minimal partai politik ada di DPR.
Selepas hasil quick count (hitung cepat) dirilis, pada Rabu malam, di hari pemilihan 17 April 2019, Ketua Umum PSI, Grace Natalie, didampingi fungsionaris partai dan calegnya, lekas-lekas menuju ruangan konferensi pers.
Grace mengambil microphone dan mengumumkan sikap partai yang dipimpinnya, soal PSI yang hanya mampu meraih suara 2%. Hari itu, jika saya harus mengutipnya secara verbatim, setidaknya ada 6 (enam) narasi penting yang diucapkan Grace Natalie.
Pertama, pasangan calon presiden PSI, yaitu Jokowi-Maruf Amin, telah memenangkan Pilpres 2019. Kedua, Mereka (PSI) kalah. Ketiga, PSI menerima kekalahan dan tidak menyesal sama sekali atas setiap perjuangan partai. Keempat, PSI mengucapkan terima kasih pada 3 (tiga) juta pemilihnya. Kelima, PSI mengucapkan selamat kepada partai lain yang lolos ke DPR. Keenam, PSI akan kembali, bukan lima tahun lagi, tapi besok.
***
Setiap perjuangan, tentu saja, bisa menang atau kalah. Setiap pertarungan bahkan bisa dituai dengan hasil kekalahan demi kekalahan tanpa ada sekalipun kemenangan. Kekalahan adalah guru dan pelajaran yang sangat mahal harganya sebelum atau sesudah pertandingan dimenangkan.
Pada bagian ini, malam itu, saya melihat dari kejauhan, diraut wajah setiap kader PSI yang terekam foto dan video, terlihat sangat iklas dengan hasil perjuangan mereka. Bahwa proposal mereka (PSI) tentang partai anti-korupsi dan partai anti-intoleransi memang belum sepenuhnya diterima oleh rakyat Indonesia. Tetapi, sebaliknya individu-individu dari PSI, satu demi satu, telah diterima oleh rakyat sebagai tunas baru perpolitikan Indonesia.
Apalagi di tengah sulitnya proses Electoral Threshold (syarat partai politik untuk ikut pemilu) di Indonesia yang mengharuskan setiap partai politik harus lolos verifikasi administrasi maupun faktual oleh Kemenkumham dan KPU. Itu membuktikan PSI adalah narasi yang baik dalam politik kita hari-hari ini.
Sebab, jika kita buka kembali dokumen partai politik peserta pemilu 2019, praktis hanya PSI yang merupakan partai politik yang benar-benar baru dan bukan partai politik daur ulang.
Jauh daripada itu, memang ada nama Partai Perindo, Partai Berkarya, dan Partai Garuda di daftar partai politik di kotak suara pemilu kemarin. Namun, ketiga partai tersebut bukan partai yang benar-benar baru sebab, pada dokumen Kemenkumham-nya, menggunakan badan hukum partai politik lain untuk lolos verifikasi.
Artinya, sejak awal didirikan, PSI memang mendesain diri membaca ayat publik untuk bisa menakar autentitisitas kegalauan publik soal intoleransi dan korupsi. Pun secara implisit, kita saksikan bersama, Grace kerap berucap jabatan bukan segala-galanya, jika rakyat pada akhirnya masih belum memercayakan suara mereka diwakili oleh PSI. Tunaikan tanggung jawab jika diberikan amanah, sebaliknya lepaskan jika belum dipercayakan kekuasaan.
Sebab, apa yang ingin dikerjakan PSI lewat perjuangan politik mereka adalah merawat keragaman. Menebar kebajikan dengan meretas intoleransi yang saat ini menjadi ancaman serius bagi bangsa dalam menata peradaban yang lebih manusiawi di masa depan. Kuncinya, barangkali hanya bisa diimplementasikan dengan memutus sekat istilah banyak atau sedikit, mayoritas atau minoritas.
***
Proposal perjuangan ini pula yang membuat persentasi suara PSI di luar negeri sangat besar. Pada banyak sumber, disebutkan bahwa hasil real count PSI di Jerman, Australia, Panama City, Arab Saudi, Denmark, Italia, dan lain sebagainya menjadikan mereka satu dari tiga partai politik urutan teratas.
Itu artinya, ada yang spesial, unggul, dan baik soal platform perjuangan politik yang digagas oleh PSI, terlepas dari akumulasi suara yang terfragmentasi pascapemungutan suara di Indonesia. Pun perasaan para diaspora menjadi minoritas di luar negeri menjadi kepekaan tersendiri, yang mampu ditangkap oleh partai baru bernama Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
***
Pada bagian ini, menurut pendapat saya, hal yang diperjuangkan PSI selama ini sangat dekat dengan nilai-nilai libertarianisme.
Penganut libertarian percaya bahwa pengakuan manusia atas manusia secara individu merupakan hal paling dasar dalam mencapai keadilan. Pun bagi orang-orang libertarian, nilai toleransi, kebebasan, sukarela, dan keselarasan menjadi poin penting untuk dirawat dan diberdayakan dalam proses bernegara.
Tidak seorang pun yang berhak atas kehidupan orang lain. Apalagi sampai memaksakan kehendak mereka, sekalipun hal tersebut berkaitan dengan logika mayoritas. Itu sebabnya, pada satu keputusan politiknya di masa kampanye kemarin, PSI tegas menolak Perda berbasis agama dan poligami.
Lebih lanjut, bagi PSI, terlihat bahwa kebebasan individu hanya bisa dibatasi apabila melanggar hak individu lainnya. Artinya, dalam proses kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi, seseorang tidak boleh dijustifikasi oleh individu lainnya, utamanya berkaitan dengan toleransi dan keragaman yang tidak memandang tua atau muda, laki-laki atau perempuan, serta minoritas atau mayoritas.
***
Memang, secara elektoral, output perjuangan PSI belum sampai membawa mereka hadir di parlemen pusat. Namun, di tingkatan lokal, anak-anak PSI bisa terlibat langsung, utamanya di Jakarta, Aceh, dan Semarang yang pada ragam pemberitaan disebutkan PSI sudah pasti memperoleh kursi untuk DPRD.
Kemudian, hal paling penting, individu-individu PSI sudah mulai diperhitungkan dalam perpolitikan di Indonesia. Grace Natalie, Raja Juli Antoni, Suci Mayang Sari, Isyana Bagoes Oka, Rian Ernest, Dara Nasution, Tsamara Amany, Guntur Romli, Surya Tjandra, hingga Dini Purnomo adalah nama-nama politisi PSI yang mulai menaiki anak tangga perpolitikan nasional.
Mereka tumbuh secara organik. Mereka digembleng oleh keadaan bukan kekuasaan. Pun proses perjuangan mereka (PSI) menjadi sejarah baru dalam perpolitikan tanah air. Bahwa ada partai politik, isinya semua anak muda, diurus dan dijalankan anak muda; bukan secara mekanik, tapi penuh dialektik dan dinamis.
Narasi ini pula yang menjadi modal politik penting anak muda PSI untuk berlipat ganda. Mungkin belum bisa hari ini, tapi 5 (lima) tahun lagi.
Menutip ucapan penyair asal Chili, Pablo Neruda: You can cut all the flowers but you cannot keep Spring from coming. ― Anda bisa saja memotong bunga-bunga, tapi Anda tak akan pernah bisa menghalangi musim semi itu datang.