Lagi, influencer tersandung hoaks. Lebih tepatnya, tersangkut masalah karena diduga menyebarkan berita yang belum jelas validitasnya.
Sebelumnya juga ramai diberitakan bahwa beberapa figur publik kelas internasional, bahkan kepala negara sekelas negara adidaya, diduga turut menyebarkan berita bohong ke publik. Hoaks dan disinformasi menjadi tornado ketika diembuskan oleh figur-figur terkenal dengan banyak pengikut.
Di masa pandemi ini, hoaks menjadi musuh bersama dalam upaya penanganan wabah Covid-19. Pasalnya, informasi yang diterima oleh publik memengaruhi sikap mereka dalam mengelola sense of crisis.
Informasi palsu yang menyatakan bahwa wabah Covid-19 adalah konspirasi atau mitos belaka, misalnya, berpotensi membentuk sikap abai dan memandang enteng segala hal yang berkaitan dengan usaha pencegahan penyebaran Covid-19.
Sebaliknya, informasi palsu yang dilebih-lebihkan tentang bahaya virus tersebut juga akan menciptakan kepanikan yang dapat memicu kekacauan di masyarakat. Di beberapa negara, hoaks tentang obat Covid-19 bahkan telah menelan korban jiwa. Tak salah jika di masa pandemi ini hoaks dianggap mempunyai derajat bahaya yang sama dengan virus Covid-19 sendiri.
Hoaks memang tak ubahnya seperti virus. Elisabeth Paté-Cornell, profesor bidang sains dan teknik manajemen pada Departemen Sains dan Teknik Manajemen Universitas Stanford bahkan mengibaratkan hoaks seperti virus Ebola. Tidak hanya mirip dalam cara penyebarannya, hoaks dan virus pun berbagi kesamaan dalam hal dampak yang ditimbulkannya.
Menurut para peneliti, hoaks, seperti halnya virus, bekerja dengan cara menyerang secara bertubi-tubi sampai akhirnya meruntuhkan ‘imun’ seseorang.
Sayangnya, seperti Covid-19 yang saat ini belum ditemukan vaksinnya, ‘obat’ mujarab untuk menangkal dan mendeteksi hoaks juga belum ditemukan. Yang bisa dilakukan saat ini hanyalah mendeteksi ciri-ciri hoaks dan membentengi diri agar tidak mudah mempercayai dan menyebarkannya.
Namun demikian, dalam konteks pandemi Covid-19, analogi pencegahan penyebaran Covid-19 lewat protokol kesehatan yang didengungkan WHO dan pemerintah dapat dihayati dan diadopsi dalam rangka menangkal virus hoaks.
Seperti yang telah diketahui, protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19 secara umum terdiri atas beberapa hal, di antaranya: selalu gunakan masker, selalu cuci tangan dan jaga kebersihan, selalu jaga jarak, dan tingkatkan imun tubuh. Analogi dari langkah-langkah tersebut kiranya dapat diterapkan dalam usaha pencegahan penularan atau penyebaran hoaks.
Pertama, selalu gunakan masker. Masker, dalam pencegahan penyebaran Covid-19 memiliki fungsi ganda, yaitu mencegah seseorang tertular dan menularkan virus. Dalam pencegahan hoaks, masker dapat dianalogikan sebagai filter yang menyaring segala informasi yang meragukan.
Setiap informasi yang diterima seharusnya disaring terlebih dahulu dan dipastikan kesahihannya. Dengan menerapkan filter yang ketat, seseorang tidak akan mudah mempercayai informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya.
Dalam pencegahan Covid-19, masker juga berfungsi sebagai alat pencegah agar kita tidak menularkan virus kepada orang lain melalui percikan (droplet). Hal ini juga berlaku dalam usaha pencegahan penyebaran hoaks.
Sebelum menyebarkan informasi kepada orang lain, seseorang seharusnya menyaring informasi tersebut terlebih dahulu karena sekali informasi sesat diembuskan ke dunia maya, penyebarannya akan sulit dihentikan. Ia tak ubahnya Covid-19 yang dapat menghinggapi dan menginfeksi siapapun.
Kedua, selalu cuci tangan dan jaga kebersihan. ‘Menjaga kebersihan’ dapat dianalogikan dengan hanya menerima informasi yang berasal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, misalnya kanal-kanal informasi resmi pemerintah atau media-media yang sudah teruji dan terbukti menegakkan prinsip-prinsip jurnalistik secara ketat.
Namun demikian perlu diingat bahwa sikap kritis tetap harus dikedepankan, sekalipun informasi-informasi yang dicerna berasal dari sumber-sumber yang mapan.
Sementara itu, mencuci tangan adalah tindakan yang harus dilakukan seseorang ketika telanjur menerima informasi yang meragukan. Cuci tangan di sini tentu bukan bermakna lepas tanggung jawab. Sebaliknya, cuci tangan di sini justru berarti melakukan sebuah tindakan sebagai wujud dari tanggung jawab.
Ketika menerima informasi yang meragukan, seseorang sebaiknya berusaha melakukan pengecekan kembali pada sumber-sumber yang tepercaya. Pemeriksaan validitas sebuah informasi dapat dilakukan secara sederhana melalui alat pencarian seperti Google. Dengan demikian, ‘tangan’ yang sudah telanjur ‘kotor’ dapat dibersihkan kembali.
Ketiga, selalu jaga jarak. Dalam protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19, menjaga jarak atau mengambil posisi tidak kurang dari dua meter dengan orang lain harus diterapkan agar virus tidak masuk ke tubuh melalui cipratan yang jangkauannya diperkirakan sejauh satu setengah meter.
Sementara itu, menjaga jarak, dalam kaitannya dengan usaha pencegahan penyebaran hoaks dapat dianalogikan dengan menunda sebuah simpulan. Dengan ‘menjaga jarak’ terhadap simpulan, seseorang tidak tergesa-gesa mempercayai sebuah kabar.
Sebaliknya, ia akan berusaha memeriksa berbagai sumber hingga sampai kepada simpulan yang benar-benar kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun era informasi kerap menuntut kecepatan dan ketergesa-gesaan, memberi jeda pada simpulan adalah tindakan bijaksana yang dapat dilakukan agar seseorang tidak terjerumus ke dalam informasi palsu.
Keempat, tingkatkan daya tahan tubuh. Meningkatkan ‘daya tahan tubuh’ untuk menangkal virus hoaks dilakukan melalui peningkatan kompetensi berpikir kritis. Seperti halnya imun tubuh yang dapat diperoleh melalui konsumsi makanan bergizi dan olahraga, kemampuan mencerna informasi secara kritis dapat diperoleh melalui latihan-latihan dan pembiasaan untuk mengasah kemampuan kognitif dan sikap kritis.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri untuk fokus pada sisi faktual -bukan emosional- dari sebuah informasi (Robson, 2020).
Dengan fokus pada sisi faktual, seseorang akan selalu mempertanyakan informasi yang diterimanya: apakah informasi tersebut hanya berdasarkan gosip atau berdasarkan bukti ilmiah yang kuat? Apakah sumber asli informasi tersebut dapat dilacak? Bagaimana informasi tersebut jika dibandingkan dengan data-data yang ada? Apakah terdapat kesalahan logika dalam informasi tersebut? (Robson, 2020).
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlu diajukan secara terus-menerus kepada diri sendiri ketika menerima informasi. Jika hal tersebut dilakukan secara disiplin, karakter yang kuat sebagai benteng terhadap serangan virus hoaks dapat terbentuk dengan sendirinya.
Langkah-langkah protokol pencegahan hoaks yang diadaptasi dari protokol kesehatan di atas memegang peran penting dalam pencegahan penyebaran Covid-19 saat ini, karena seperti yang telah disampaikan di atas, informasi yang diterima masyarakat pada akhirnya ikut menentukan kapan pandemi ini akan berakhir.
Seraya terus berdoa dan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin, protokol pencegahan penyebaran hoaks kiranya perlu diterapkan untuk menggenapi ikhtiar kita melepaskan diri dari krisis ini.