Prostitusi yang selalu disebut dengan “profesi tua” telah tumbuh dan berkembang pesat di berbagai wilayah. Prostitusi sendiri selalu memunculkan pro dan kontra. Hasil studi menunjukkan bahwa prostitusi mulai ada sejak 4.000 tahun dimulai pada peradaban Mesir.
Prostitusi dimulai dengan sejarah perbedaan status wanita di berbagai peradaban. Bangsa Sumeria, umumnya, hak-hak perempuan di Mesopotamia berbeda dari yang dinikmati oleh laki-laki. Di berbagai negara Mesopotamia, status perempuan bervariasi, dan berubah seiring perkembangan zaman.
Berbeda dengan Yunani, pertama, perempuan yang sudah menikah tidak diizinkan tampil di depan umum, kecuali untuk tujuan menawarkan layanan keagamaan. Kedua, selir yang status dan kedudukan belum ditentukan dalam masyarakat.
Ketiga, wanita yang berpendidikan lebih tinggi dari wanita yang sudah menikah. Mereka adalah pelayan laki-laki pada upacara dan pesta, asalkan mereka menerima upah tinggi dari laki-laki. Kemudian, di Iran prostisusi mengalami prevalensi bervariasi dari waktu ke waktu (sebelum Revolusi Islam).
Lokalisasi Prostitusi
Melihat dari sisi hukum, dalam hukum pidana umum, prostitusi diatur dalam Pasal 298 KUHP. Pasal ini melarang siapa saja yang menjadikan sebagai mata pencaharian dan mengambil keuntungan. Dalam UU ITE yakni UU No. 11 Tahun 2008 juga tidak memberikan ancaman pidana atas prostitusi online.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan mendistribusikan, mentransimikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Jika berhubungan dengan anak di bawah umur, diancam dengan UU Perlindungan Anak UU No. 23 Tahun 2002.
Kemudian, jika pembeli merupakan suami/istri maka dikenakan pasal 284 KUHP ancaman pidana 9 bulan dengan delik zina dengan adanya pengaduan dari pasangan sah. Melihat pasal di atas, ancaman pidana hanya diterapkan pada pihak germo, mucikari dan pengelola rumah bordil.
Pada UU ITE juga tidak memberikan ancaman pidana jika tidak disebarluaskan ke publik. Kegiatan prostitusi di Indonesia bukanlah sebuah perbuatan melawan hukum, kecuali jika berhubungan dengan anak di bawah umur. Tidak ada pasal yang menjerat pengguna jasa termasuk juga PSK sendiri.
Melihat dari struktur sosial di Indonesia, prostitusi sendiri melanggar norma susila yang berhubungan dengan seksualitas. Pelaku prostitusi di Indonesia digunakan untuk tujuan komersil, sementara golongan lain memandang pelaku prostitusi merupakan seseorang yang tidak bermoral.
Upaya pemerintah Indonesia dalam memberantas prostitusi dengan disahkannya UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan terhadap tindak pidana perdagangan orang (UU PTPPO), dikarenakan perdagangan wanita yang dijadikan budak seks yakni perdagangan orang (human trafficking).
Pemerintah juga melakukan lokalisasi di beberapa tempat di Indonesia. Kemensos pada tahun 2012 mencatat 161 lokalisasi di Indonesia. Jawa Timur 20 lokalisasi yang ditutup, Jawa Barat 2 yang ditutup, Sumatera Selatan sudah ditutup, Kalimantan Timur 32 lokalisasi dan Kalimantan Tengah 12 tempat.
Jumlah pekerja seks perempuan mencapai kisaran 230.000 orang belum termasuk pekerja seks pria dan transgender. Penutupan lokalisasi harus diimbangi dengan pembubaran kegiatan prostitusi. Pasalnya lokalisasi berbeda dengan prostitusi. Prostitusi akan tetap ada walau lokalisasi ditutup.
Penutupan lokalisasi akan kontra produktif dengan penanggulangan HIV/AIDS. Ditambah dengan potensi kriminalisasi akibat timbulnya lokalisasi-lokalisasi kecil yang justru sulit dijangkau. Data terbaru menunjukkan 168 lokalisasi, 72 lokalisasi dan 81 lokalisasi ditutup oleh pemda dan 5 lokalisasi tahap proses pembubaran.
Legalisasi Prostitusi
Prostitusi dengan segala stigma negatif yang ditentang oleh masyarakat ternyata di lapangan berkata lain, prostitusi tetap hadir di tempat terselubung. Semakin dilarang semakin kreatif bisnis prostitusi seperti, prostitusi online. Melegalkan prostitusi bisa saja terjadi, akan tetapi akan ada banyak tantangan yang timbul.
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan dan bertentangan dengan HAM. Praktek prostitusi patut dihentikan karena sangat bertentangan dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Intinya, prostitusi dinilai tindakan amoral, akan tetapi, bisnis prostitusi masih banyak peminatnya.
Legalisasi prostitusi sendiri membawa pro dan kontra. Pada golongan pro, kalangan feminis liberal menganggap bahwa perempuan pada prostitusi harus diberikan hak yaitu bekerja. Hak mereka untuk bekerja dengan apapun yang melekat pada tubuhnya dalam artian perempuan merdeka.
Organisasi HAM Amnesty International juga mendukung dekriminalisasi prostitusi. Mereka menganggap pekerja seks termasuk kelompok yang selalu terancam diskriminasi, kekerasan dan penganiayaan. Bila perspektif melindungi pelaku dan masyarakat demi pencegahan penyakit, maka dapat dianggap solusi.
Legalisasi di Indonesia akan bertentangan dengan pandangan masyarakat dan agama. Legalisasi prostitusi sendiri mengharuskan para pelanggan laki-laki yang membayar jasa seks dapat dijatuhi hukuman. Tujuannya untuk mengurangi kekerasan terhadap para pekerja seks perempuan.
Pencegahan penyebaran penyakit dengan legalisasi prostitusi bertujuan agar prostitusi memiliki wilayah. Legalisasi prostitusi mencegah menyebarnya pekerja seks dan prostitusi-prostitusi kecil timbul. Pemerintah dapat melakukan kontrol terhadap pekerja seks secara teratur serta dapat menekan angka HIV/AIDS.
Selain itu, perasaan nyaman juga timbul pada masyarakat. Prostitusi dapat memiliki wilayah sendiri dengan pertimbangan pemerintah. Tempat yang jauh dari sekolah dan lingkungan publik dapat mendatangkan manfaat. Jadi, adanya bentuk pengawasan dengan pembatasan usia saat masuk wilayah prostitusi.
Sisi perekonomian juga dapat terbantu, dikarenakan jika prostitusi dibubarkan pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan baru atau pemberdayaan untuk mantan pekerja seks. Hal tersebut juga harus dilihat dari lingkungan tempat prostitusi tersebut. Banyak toko atau warung di tempat prostitusi.
Pemerintah juga terbantu atau mungkin pekerja seks memiliki serikat pekerja atau pemerintah dapat menerapkan pajak kepada tempat prostitusi dan pekerja seks. Pekerja seks sendiri jika langsung terjun ke masyarakat sangat susah. Hal ini dikarenakan pekerja seks memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat.
Legalisasi prostitusi disebut "ekonomi bawah tanah" yakni kegiatan ekonomi yang mengandung kegiatan ekonomi formal namun melanggar UU yang berlaku dan kegiatan ekonomi formal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional.
Kesimpulan
Lokalisasi di Indonesia merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam memberantas prostitusi. Lokalisasi di Indonesia belum sepenuhnya efektif. Begitu juga dengan legalisasi. Sebuah pilihan yang sulit bagi pemerintah perlu disikapi dengan pendekatan yang tepat.