Benar sekali adanya, profesi dosen membuat “kaya”. Kaya akan banyak hal. Penghasilan hanyalah sebagian kecil dari berkah mulia lainnya. Adanya status sosial sebagai dosen tanpa harus diminta. Punya banyak relasi dan koneksi dengan berbagai macam stakeholder.

Bisa kenal dan menjalin silahturahmi tanpa batas dengan ratusan bahkan sampai puluhan ribu mahasiswai yang pernah mendapat siraman Ilmu dari kita sebagai dosen. Mendapat kesempatan berkarya dalam pemenuhan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat secara berkala.

Ilmu dan pengetahuan yang dipelajari dan diajarkan terus berkembang dan membuat pikiran terbuka. Ilmu tidak akan pernah hilang dari diri kita. Ilmu yang dibagikan justru akan menjadi ilmu yang berkah, seperti pohon yang berbuah. Jika seseorang membagikan ilmu, maka ilmunya akan semakin bertambah. Dengan mengajarkan ilmu, ilmu yang dimiliki akan semakin menancap kuat dalam sanubarinya.

Setiap “track record” dosen ada nilai ekonomi dan reputasinya, sehingga perlu dijaga dan dijalani dengan komitmen yang tinggi. Nilai ekonomi dan reputasi dosen sangat ditentukan oleh kemampuan, produktivitas, dan determinasi masing-masing individu. Semakin rajin memproduksi karya ilmiah dan diterbitkan kedalam jurnal akreditasi, semakin pesat kemajuan karir seorang dosen.

Tapi tak pula dipungkiri jika banyak orang punya perspektif sempit mengenai profesi dosen, ada juga dosen yang menganggap profesi ini sebagai profesi numpang lewat, bahkan untuk “keren-kerenan” semata. Padahal melalui profesi ini bisa hadir segudang kesempatan dikehidupan kita.

Ada kesempatan untuk selalu mengupdate pengetahuan; menjadi pembicara, ikut workship/pelatihan gratis, bepergian/melancong ke berbagai daerah bahkan keluar negeri, jaringan pertemanan yang semakin luas, kesempatan untuk mengenal banyak karakter manusia sebagai ajang pembelajaran, bertindak sebagai edupreneur, dan masih banyak kesempatan baik lainnya.

Nah, saya memperhatikan perubahan tren millenial dalam pemilihan profesi yang akan diambil pasca kelulusan mereka. Profesi dosen mulai dilirik mereka sebagai ladang kontribusi dan pemenuhan aktualisasi diri ditahap awal pembentukan jati diri sebagai individu dalam menuju pendewasaan.

Sebagian dari mereka, yang juga merupakan generasi intelektual, merasa mereka akan semakin pintar ketika mendapat kesempatan untuk sering berbagi kepada sesama. Oleh karenanya profesi dosen dianggap sebagai alternatif pilihan pekerjaan yang menarik, dibandingkan pekerjaan yang lain.

Saat ini sudah banyak dijumpai dosen usia yang relatif muda. Bisa kita perhatikan bersama saat ini banyak dosen baru berusia muda di bawah 30 tahun yang mengisi ruang kuliah atau laboratorium di berbagai universitas negeri atau swasta.

Fenomena ini hadir karena berbanding lurus dengan adanya sistem pendidikan dan pesatnya kemajuan teknologi. Dua hal ini memungkinkan pemuda pemudi dari generasi millenial mampu menyelesaikan strata pendidikan tingginya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ditambah dengan hadirnya ribuan kesempatan untuk mendapatkan biaya kuliah gratis dari berbagai lembaga penyedia beasiswa dalam ataupun luar negeri.

Para dosen muda ini biasanya dikenal idealisme kuat dengan paket kompetensi yang lengkap, punya rasa ingin tahu yang besar dibidangnya dan bersemangat tinggi walaupun masih minim pengalaman. Tapi tidak bisa dipandang sebelah mata. Walau dosen yang tergolong generasi millenial (26-30 thn), umumnya mereka telah begelar Doktor.

Beberapa dari dosen muda pun punya jargon, “kalau bisa jadi dosen diusia muda kenapa harus nunggu tua?”, “kalau bisa mengajar sambil belajar, kenapa nunggu belajar sampai pintar baru mengajar?”

Prof. Rhenald Kasali dalam artikel Kompas yang terbit 15 September 2014 bertajuk “Naiknya Harga” Dosen”, membahas bahwa dimasa yang akan datang tidak semua orang dapat menjadi dosen tetap disuatu perguruan tinggi. “Peta pasar” tenaga akademik memasuki babak awal perubahan.

Menurut Prof. Rhenald Kasali akan terjadi kemungkinan adanya market shrinking, “Populasi pasar tenaga akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Dosen tetap akan menjadi rebutan, “harganya” akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan.

Peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan Tinggi, dan konsep penataan Perguruan Tinggi yang memberi value yang lebih baik bagi para dosen. Misal, untuk mengurus NIDN, selain perlu mempunyai kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan Inggris (TOEFL minimal 510, PBT), seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun (kecuali mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus).

Oleh karena itu karir dan profesi dosen perlu diambil sedari muda karena berjenjang, jangan tunggu bergelar Doktor atau menjelang pensiun dulu baru melamar menjadi dosen. Menjadi lebih muda, berpendidikan, tertata, kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih dihargai. Dan tentu harganya akan lebih mahal.”

Setiap dosen punya starting point yang berbeda dalam memulai karir dosennya. Ditingkat awal ketika seseorang baru mulai mengajar dia akan mendapat label (Tenaga Pengajar), setelah melewati 1 tahun ketika dinilai memiliki performa yang prima maka dia akan memiliki label (Asisten Ahli).

Setelah itu ketika dia mampu untuk produktif dalam menjalani kewajiban tri dharma perguruan tinggi (rutin penelitian dan pengabdian minimal 1 tahun sekali) dengan baik dan penuh komitmen, selanjutnya bisa mendapat label (Lektor), lalu (Lektor Kepala), hingga akhirnya mencapai jenjang kepangkatan tertinggi dalam dunia akademik yaitu menjadi (Guru Besar) setelah pointnya memenuhi kriteria kepangkatan yang telah ditentukan.

Sama seperti profesi lainnya, menjadi dosen dihadapkan pada dua pilihan. Menjadi dosen tetap (full time lecturer) atau dosen paruh waktu (part time). Keduanya punya konsekuensi dan manfaat yang berbeda. Dengan menjadi dosen part time, kita bisa mengerjakan hal lain selain mengajar, misalnya berbisnis atau mengajar dibeberapa institusi yang berbeda. Menjadi dosen full time ada jenjang karir multi tugas yang perlu dilewati.

Satu hal yang perlu kita ingat kembali bahwa menjadi dosen tetap atau paruh waktu di Indonesia tidak diperlukan tahapan yang ketat, sistemik dan ribet. Beda hal seperti diberbagai negara di Eropa atau Jepang misalnya. Untuk menjadi dosen perlu menuntaskan beberapa persyaratan prosedural seperti perlu ada tulisan dan disertasi yang dibukukan baru seseorang dapat diangkat sebagai dosen tetap.

Belum lagi iklim persaingan (kompetisi) yang ketat karena “track record” berupa portfolio seperti publikasi ilmiah dan beberapa persyaratan akademik lain sangat menentukan seseorang dapat menjadi dosen atau tidak.

Sementara untuk menjadi dosen di Indonesia, persyaratannya tidak seketat itu dan cenderung lebih mudah. Dengan mengantungi ijazah Master (S2), dibidang tertentu disertai pengalaman kerja 1-2 tahun, seseorang dengan kompetensi tersebut dapat melamar sebagai dosen diberbagai instansi perguruan tinggi negeri atau swasta.

Menjadi dosen tidak hanya bicara kuantitas (jabatan, background lulusan dan penguasaan ilmu) semata tapi lebih mengedepankan faktor kualitas. Dosen yang amanah akan mengajar dengan persiapan yang baik, tentunya materi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Mempersiapkan diri secara optimal berarti menghargai profesi yang dijalani dan menghargai para mahasiswa yang akan menjadi individu sukses kelak.

Dosen sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan mahasiswa yang dididiknya. Dosen dilihat sebagai teladan (role model) bahkan mendapat predikat “dosen panutan” kalau berhasil dalam memberikan inspirasi dan transformasi diri anak didiknya.

Oleh karena itu dosen mendidik yang dibarengi dengan hati nurani, tidak hanya mendewakan kompetensi duniawi. Tanggung jawab moral seorang dosen sebagai pendidik ada diranah Ilahi bukan hanya memberi pencerahan teknis semata. Ilmu yang disampaikan dengan hati nurani dan disertai cara penyampaian yang baik akan menjadi kebaikan mulia yang berlipat dampaknya bagi diri seorang dosen.

Sementara Ilmu dengan penyampaian seadanya hanya akan menghasilkan mahasiswa dengan karakteristik “referal thinker“, pola pikir dan intelegensia yang berbasis pada teks referensi yang sudah ada. Ruang berpikir, daya kreativitas dan imajinasi otak kanan mahasiswa menjadi kerdil karena stimulus yang diberikan dosen tidak maksimal.

Jean Piaget mengungkapkan, “Tujuan utama pendidikan adalah menciptakan manusia yang bisa melakukan hal baru, tidak sekedar mengulang apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya. Manusia yang kreatif, memiliki daya cipta, memiliki hasrat keingintahuan.” Pendidikan yang sempurna lahir dari proses perubahan yang diselami dengan pendekatan “Intellectual Humility“.

Mahasiswa sudah sepantasnya diperlakukan sebagai “subjek” perubahan, bukan “objek perubahan”. Dengan memahami sudut pandang ini maka proses transfer ilmu perlu dilakukan dengan cara, gaya dan daya yang memanusiakan mahasiswa. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah dengan penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dalam penyampaian bahan ajar.

Banyak dosen yang lupa bahwa mahasiswa hadir ke dalam kelas dengan tingkat kematangan (ilmu, emosi, pengetahuan dan kemampuan) yang berbeda. Pendekatan “grassroot” perlu dikedepankan agar bahan ajar yang diberikan mudah dipahami dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Pemberian contoh bahan ajar yang dekat dengan dunia mereka dan serta situasi masa kini.

Salah satu ujian terberat sebagai dosen ialah “Classroom Management“, ini erat sekali dengan kecerdasan emosi (EQ) seorang dosen. Pintar, cerdas, dan punya latar belakang edukasi yang mumpuni tidak cukup membantu kita menjadi “dosen sukses” didalam kelas. Perlu adanya kemampuan khusus dalam hal penguasaan serta pengelolaan emosi dalam menguasai mahasiswa sebagai penghuni kelas.

Dosen perlu mahir untuk menciptakan suasana yang terbuka, santai tetapi tetap tegas dan serius. Seperti layaknya seorang “Conductor” yang memimpin suatu pertunjukan. Olehnya itu, dosen yang baik, harus sehat jasmani (fisik) dan rohani (mental) agar mampu berdamai dengan hati dan dirinya sehingga tidak sirna termakan sifat egoisme diri.

Singkat kata, Mereka yang sadar tentang manfaat mengajarkan ilmu kepada orang lain, Ia tidak akan kikir terhadap ilmu yang dimilikinya. Ia akan senang ketika melihat anak didiknya bisa mengerjakan suatu hal yang sebelumnya tidak dapat dikerjakannya.

Ia akan bergembira ketika melihat anak didiknya, lebih mengerti dan memahami sebuah persoalan dari yang sebelumnya dalam kebodohan. Ia akan bahagia ketika melihat anak didiknya tercerahkan hati dan pikirannya dalam belajar.

Ini yang perlu disadari oleh para dosen dan khususnya dosen kaum muda (millenial generation) yang berkeinginan dan mulai tertarik menjadi seorang dosen atau pendidik diusia muda.

Semoga artikel ini dapat memberikan pencerahan dan semangat kepada seluruh rekan rekan dosen untuk tetap bekerja professional dan berusaha memberikan yang terbaik demi kemajuan pendidikan tinggi kita di masa mendatang.

#SemogaBermanfaat