Sumardin tidak berjualan gorengan lagi. Para peminat gorengan sudah berkurang. Orang-orang di kota tidak suka lagi makananan kampungan, sadar makanan kampung itu tidak sehat bagi mereka.
Penjual gorengan itu mencukupi kebutuhan anak-bininya dengan berjualan gorengan tahu, tempe, bakwan seharga Rp1.500 per biji.
"Kalau orang-orang tidak lagi membeli makanan berminyak itu, makan apa anakku besok Ngutang?," oceh Sumardin.
Sesaat dia membayangkan niatnya untuk mencelupkan kepalanya sampai matang agar bisa mengelak nasib buruknya. Wajahnya keringatan, berminyak, dan mendidih tersengat hawa kuali saat membayangakan keinginannya tersebut.
"Orang kecil memang makin terjepit tak banyak opsi mulutnya monyong ke depan seperti penyayi opera yang sedang latihan vocal mengucapkan huruf O," menatap hawa kuali yang mendidih.
Pagi ini Sumardin berencana berjalan-jalan santai menuju area pasar, barangkali untuk mengusir gusarnya sekaligus mencari solusi.
Sumardin terus berjalan hingga melewati area kumuh pasar. Kodisi jalannya becek,kumuh, dan tengik mendampingi perjalanan sumardin dengan cuaca yang sedikit gerimis itu.
Layaknya anak kampus, Sumardin mulai berimprovisasi memikirkan alternatif dagangannya. Seperti anak kuliahan kepepet mau skripsi.
Sebelah rumahnya tinggal Hendrik, anak kuliahan sekaligus tukang mabok, yang kemudian menjadi mendadak rajin bangun pagi setelah 7 tahun indekos.
“Sumardin kau ingin membeli ban motor, " teriak pria gempal berleher pendek bermata sipit itu.
“Aku tidak punya motor, tapi gerombak,” sialan…!
“Gerobak bisa dikasih ban motor.”
“Gerobak pikul..!” teriak sambil menoleh balik.
Mereka berpandangan sebentar. Sumardin yang terlanjur emosi mempercepat jalanannya.
“Sumardin kau lapar tidak…?” menatap Sumardin yang lewat di kios satenya.
Dia terlihat sedang melipat kertas dan daun pisang secara bersamaan seperti ahli origami. Pria necis itu mengenakan kalung kuning. Rambutnya diatur klimis dengan kumis ala-ala freddy mercury, kenudian bergerak tangkas memasukan beberapa tusuk sate asap dengan tangannya.
“Aku tidak lapar”
“Kalau tidak lapar kenapa kau kepasar?” terkekeh menghina.
“Pemulung saja kepasar kalau lapar,” tiba-tiba seorang pembeli ikut-ikutan mengolok-olok Sumardin.
Kepala Sumardin mendidih tersengat matahari setelah mendengar hal tersebut, dia mendadak berpikir jahat. Geramnya bersambut dengan emosi yang membuncah, comberan sebesar kepalan terbang mendarat ke arah gerobak sate.
Brukkk.. comberan itu buyar bercampur dengan kuah sate kental “menjijikan,” ungkap pembeli. Sumardin melihat hal itu langsung bergegas ambil posisi ancang-ancang untuk melarikan diri.
“Kejarrrr,” teriak tukang sate itu mengamuk dengan mengacungkan pisau pemotong ketupatnya. Dia menyulut orang-orang untuk semangat makin emosi.
“Kejar Sumardin.”
“Kejar.”
“Kejar tukang gorengan itu.”
Tukang Sate, Sayur-mayur, Bengkel, Perkakas, Ember. dan orang-orang semarak mengejar Sumardin. Mereka riuh seperti peserta Festival Syukur Larung yang memperebutkan Jolen setelah dihayutkan di laut, orang-orang berjubel-jubel ramai.
Terlihat seorang pria lusuh dengan rambut acak-acakan mengusapkan perutnya yang kronta dan kelaparan.
Pria yang mengenakan baju compang itu mengendap-endap ke kios sate, “Sate ini benar-benar enak." lahapnya sambil menyantap sate yang ditinggalkan pemiliknya.
Pengemis itu makan mewah sambil melambai ke arah Sumardin.“
Hahahaha...” tertawa sejenak saat melihat gelandangan itu, kemudian menambah kecepatan berlarinya.
Sumardin masuk ke gang sempit, melipir kekiri, masuk pintu belakang pasar menuju ramai pedagang textile. Sumardin bergegas masuk ke area konstruksi dengan memanjat pagar.
Kemudian, dia berlari lagi mengendap-endap sempit masuk ke lorong-lorong. Area yang dilalui Sumardin semakin saat mata memandang sekitar.
Sumardin menghela nafas panjangnya dan terduduk lesu di bawah genangan becek, dia yakin sudah lolos dari amukan para pedangang pasar “huhh hampir mati aku”.
***
Daster, levis, baju bayi, sarung, celana dalam, dan kutang yang masih basah dijepit berderat di sebuah tali kambing di atas lantai dua, tali itu terhubung di antara dua buah bangunan yang memayungi Sumardin. Menyusuri jalan setapak menuju sebuah gang, dia melihat orang-orang ramai lalu-lalang.
Sumardin kaget bukan main, matanya melotot memandangi sekitar, pikirannya peka apa yang terjadi, terbelalak menyaksikan penyebab gorenganya menjadi sepi.
Seorang penjual gorengan yang hanya tamatan Sekolah Dasar mulai berspekulasi terhadap penyebabnya gorengannya tidak laku lagi. Dia mencoba mencari solusi secara cepat, secara bersamaan otaknya mulai ngepul lagi bagai motor tua yang siap di geberr hebat.
Orang-orang berkumpul mengintari penjual nasi goreng. Memperhatikan bumbu-bumbu dengan seksama, Sumardin yakin itu mirip racikan gorengannya. Para pembeli rapat menjamur dari hulu ke hilir lorong “Produk Baru sialan,” umpat Sumardin yang bergegas kembali ke rumahnya.
“Buk…” teriaknya.
“Ada apa pak?” tanya istrinya.
“Goreng Buk, Iya kan, Pak?”
“Kenapa kita akan jual gorengan lagi. Iya kan, Pak?”
“Bukan Buk, tapi nasi?” jawab Sumardin.
“Bapak lapar, lauknya cuman ada gorengan..." ucap istrinya.
“Nasi di goreng.”
“Nasi goreng?” tanya Istrinya kaget produk macam apa itu. kenapa ada orang yang mau membeli nasi digoreng, apakah nasi biasa kurang enak dimakan.
Nasi ketan putih dan merah, nasi tiwul dari kitela, sorgum,dan gandum nama produk nasi yang biasa dimakan orang-orang kebayakan. Istrinya kolot mencoba mencerna asal produk baru itu, dan sekarang muncul lagi produk baru yang diberi nama Nasi Goreng.
Nasi yang biasanya dimakan orang-orang sederhana, kuli bangunan, atau gembel naik kasta karena di goreng memakai bumbu.
Aneh bin asing ini pak! meninggikan suara dihadapan suaminnya.
“Bapak mau jual nasi goreng buk, orang-orang berkumpul sampai mengantri berjam-jam lamanya, bumbunya juga mirip bumbu gorengan bapak, ” tegas Sumardin.
Sumardin mulai semangat menyiapkan perkakas masaknya seperti kuali, spatula, tabung gas, kompor gas.
Istrinya menumbuk bawang merah dan putih,cabe merah, lengkuas bersama garam. 1 kilogram bumbu telah siap tertutup rapi dalam wadah bekal nasi anaknnya.
Anaknya berlari tampa menghiraukan ledir hijau keluar dari hidungnya. Bocah itu berlari menuju toko Wak Ujang untuk membeli kecap,saus tomat dan telur.
Sumardin tahu rahasia nasi goreng adalah kecap, saus tomat dan telur sehingga membuat nasi goreng itu naik kasta.
"Orang-orang kaya terbiasa mengkonsumsinya, orang miskin mana akrab dengan bumbu seperti ini," tegas Sumardin.
Sumardin mengambil whudu. kemudian, sholat dzuhur tergesa-gesa sambil komat-kamit dengan cepat tampa sadar sudah lima rakaat berlebih. Istri dan anaknya hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah bapaknya.
Sumardin mulai khusyuk saat berdoa meminta agar dagangannya laris. Doanya terlihat dalam seperti kyai kampung Mbah Sabar, kyai kampung yang sangat bersahaja, bacaan sholatnya selalu dinanti seluruh warga yang datang ke masjid.
“Bapak seperti Mbah Sabar Buk heheh,” berseloroh melihat Bapaknya.
“Huss diam,” tersenyum sipit.
Melepaskan sarungnya lalu pamitan dengan menyodorkan telapak tangannya ke istrinya. Istrinya menyambut dengan mencium tangan suaminya berharap dagangannya ludes.
Sumardin menutup pintu rumah, kemudian bergegas menuju tempat dimana orang-orang berkumpul membeli nasi goreng. Gerobaknya yang dipikul Sumardin lebih mirip pedagang kerak telor ketimbang nasi goreng.
Sumardin pede walau nantinya akan mencolok dari penjual nasi goreng lainnya. dia tidak ambil pusing dengan masalah tersebut.
Sumardin berjalan tegap seperti serdadu yang siap berperang sambil membawa ransel besar di pundaknya. Dia bersiul-siul riang membuka matanya perlahan untuk mengamati lapak jualan.
Akan tetapi, Surmardin malah membisu, sedangkan mulutnya kaku. Tubuhnya mematung, Korneanya melebar. Pori-porinya melebar, dan tiba-tiba mengeluarkan garam yang bercucuran dari keningnya dengan ukuran sebesar biji jagung
“Mereka berjualan gorengan sialan!” Umpatnya.
Tampa pikir panjang, Sumardin yang kesal langsung menjatuhkan pikulannya. seketika telur-telur, bumbu, kecap, saus tomatnya pecah dan tumpah buyar berserakan basah bercampur tanah yang becek.
Bumbunya terlihat seperti kuah sate Pak Edy yang tempo hari dia lempar pakai comberan.
"Sialan…”
“Mereka berjualan gorengan, padahal aku berjualan Nasi goreng,” teriaknya.
Sumardin mulai menendang-nendang dagangan jualannya. Dia mengamuk di pasar.
“Produk sialan aku berhenti jualan gorengan mereka berjualan nasi goreng.”
“Aku berjulaan nasi goreng sekarang meraka malah berjualan gorengan.”
“Produk sialan...” lantang suarannya.
“kau ingin Bercanda kepada ku hah,” teriaknya.
Sumardin emosi sambil mengacak-ngacak bumbu yang terberai di tanah dengan kakinya.
Seorang pria necis itu mulai berceloteh saat melihat Sumardin, "Menurut teori supply kebutuhan tergantung konsumen, baik kaya, miskin, dan sederhana sama saja, kau cukup turutin apa saja yang mereka suka maka kamu bisa makan di negeri ini Haahahah."
“Tapi ini makanan orang kaya,” timpal Sumardin dengan amarah.
"Orang kaya juga bisa kere mereka juga bisa mencari alternatif jika buntu, akan tetapi orang miskin dan sederhana juga bisa makan seperti orang kaya," menceramahi Sumardin.
“Dasar produk bercanda,” menghujat dagangannya yang telah rusak oleh dirinya sendiri
***
Sebuah rumah beratapkan terpal tampak bergitu tenang dengan asap yang mengepul dari arah dapurnya. Sayup-sayup dari rumah sederhana itu terdengar percakapan yang seru siang itu.
“Enak Buk,” tutur anaknya sambil lahap menyantap nasi goreng.
“Kita makan seperti yang dimakan orang kaya nak.”
“Iya Buk,” ucap anaknya yang kenyang menyantap nasi goreng sore itu
“Habiskan semua ya nak,” tutur seorang ibu kepada anaknya.
“Sudah Pasti Buk," tegas anak tersebut.
Bau bumbu yang dimasak itu sangat lah harum semerbak mengacaukan bau comberan di kanal-kanal yang tersubat sampah. Baunya bumbunya seperti rempah-rempah di dapur Bintang Lima, tercium sedap di antara rumah-rumah kumuh yang rapat.
Istri dan anak Sumardin menyatap lahap nasi goreng dengan sisa bumbu jualan bapaknya. Matanya bercahaya penuh harapan saat menyantap nasi goreng, dan mereka berharap produk baru itu tidak bercanda karena memang enak untuk dicobaoleh siapapun.