Baru-baru ini, terjadi demo besar-besaran oleh dokter dan tenaga kesehatan yang menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law. Mereka memiliki alasan tertentu untuk menolak RUU tersebut, karena RUU ini mencabut sejumlah undang-undang di bidang kesehatan. Ini merupakan kali kedua pemerintah dan DPR membuat regulasi Omnibus Law yang mencabut beberapa UU dan menggabungkannya menjadi satu, setelah sebelumnya ada UU Cipta Kerja Omnibus Law.
Meskipun RUU Kesehatan Omnibus Law dapat menjadi solusi untuk menghindari tumpang tindih undang-undang di bidang kesehatan, perumusannya harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa isinya mencakup semua aspek yang terkait dengan kesehatan. Dalam hal ini, penting bagi pemerintah dan DPR untuk memperhatikan masukan dan pendapat dari dokter dan tenaga kesehatan serta pihak-pihak terkait lainnya, sehingga RUU yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengakomodasi seluruh aspek kesehatan yang dibutuhkan.
Dalam proses perumusan RUU Kesehatan Omnibus Law, pemerintah dan DPR seharusnya juga memperhatikan dampak yang mungkin timbul akibat adanya penggabungan beberapa UU di bidang kesehatan. Perlu dilakukan analisis yang matang terkait dampak positif dan negatif dari RUU tersebut bagi masyarakat, termasuk para dokter dan tenaga kesehatan.
Selain itu, perumusan RUU Kesehatan Omnibus Law harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam hal ini, diperlukan proses konsultasi yang transparan dan partisipatif dengan masyarakat, terutama dengan para dokter dan tenaga kesehatan sebagai pemangku kepentingan utama dalam bidang kesehatan.
Sebagai upaya untuk menjaga kepentingan masyarakat, pemerintah dan DPR seharusnya juga membuka ruang untuk diskusi dan konsultasi publik mengenai RUU Kesehatan Omnibus Law sehingga masyarakat dapat memberikan masukan dan saran terkait dengan perumusan dan isi RUU tersebut.
Dengan demikian, diharapkan RUU Kesehatan Omnibus Law dapat dirumuskan dengan baik, mencakup seluruh aspek kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, dan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Sejumlah Pasal Bermasalah dalam RUU Kesehatan
Melalui draft terbaru RUU Kesehatan Omnibus Law, ada beberapa pasal yang kontroversial salah satunya yakni mensejajarkan tembakau dengan zat adiktif lainnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 ayat (3). Ini menjadi catatan serius, dimana saat ini belum diketahui secara pasti apakah penggabungan UU di bidang kesehatan dalam RUU Kesehatan Omnibus Law akan menyebabkan munculnya aturan yang mengekang tembakau.
Namun, jika RUU tersebut menyamakan posisi tembakau dengan narkoba, maka hal ini dapat memiliki dampak negatif pada industri tembakau dan juga dapat mempengaruhi hak-hak masyarakat yang ingin mengkonsumsi produk tembakau secara legal. Oleh karena itu, dalam proses perumusan RUU Kesehatan Omnibus Law, pemerintah dan DPR harus memperhatikan masukan dari berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan dari industri tembakau dan masyarakat umum, untuk memastikan bahwa isinya tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat.
Pasal lainnya yakni Pasal 206, dimana dalam RUU Kesehatan Omnibus Law memang menjadi kontroversial karena dianggap dapat mengurangi otonomi dan independensi profesi kesehatan dalam menentukan standar pendidikan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk praktik di bidang kesehatan.
Pasal tersebut memberikan kekuasaan kepada menteri untuk menetapkan standar nasional pendidikan tenaga medis atau tenaga kesehatan, yang dapat mengurangi peran dan pengaruh kolegium setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam pengembangan dan pengampuan disiplin ilmu kesehatan.
Dalam konteks ini, para organisasi profesi kesehatan mempertanyakan kebijakan yang memusatkan kekuasaan dalam satu institusi pemerintah, yaitu menteri, dan menyerahkan tanggung jawab pengembangan dan pengampuan disiplin ilmu kesehatan pada kolegium setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang harus berkoordinasi dengan menteri.
Minim Partisipasi Publik
Pola pengaturan dengan metode Omnibus yang telah dipergunakan dalam penyusunan RUU Kesehatan ini, seperti halnya dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, seakan-akan melupakan peran serta dari seluruh sektor yang terdampak pengaturan tersebut.
Oleh karena itu, penggunaan metode Omnibus dalam penyusunan regulasi seharusnya dilakukan dengan memperhatikan partisipasi aktif dari seluruh sektor terkait, agar regulasi yang dihasilkan lebih mampu memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang terkait.
Ditambah, hal ini menjadi perhatian karena perubahan filosofi ini dapat berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Jika orientasi bisnis dan keuntungan diutamakan, maka kemungkinan besar akan terjadi peningkatan biaya kesehatan yang akan membahayakan akses kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Selain itu, dapat juga terjadi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang diperlukan, karena pelayanan kesehatan diutamakan untuk mereka yang mampu membayar. Oleh karena itu, RUU Kesehatan harus memperhatikan dampak filosofi yang diusung pada pelayanan kesehatan dan akses kesehatan masyarakat.
Perubahan pada undang-undang lainnya juga menunjukkan campur tangan pemerintah dalam pengaturan sektor-sektor tersebut, yang seharusnya lebih dapat dikelola oleh pihak-pihak yang terkait dan terpercaya dalam bidang masing-masing.
Pemberian kewenangan terbatas pada kementerian di bidang pendidikan dan pengelolaan jaminan kesehatan juga dapat mengurangi keterlibatan pihak-pihak lain yang seharusnya memiliki peran penting dalam penyelenggaraan layanan tersebut, seperti tenaga pendidik, tenaga medis, serta pihak-pihak swasta yang turut berperan dalam industri pendidikan dan kesehatan.