Pemberitaan beberapa media nasional dalam pekan ini mempublikasi salah satu permasalahan yang sangat mengejutkan (shocking issue), yaitu mengenai Putusan Hakim Nomor 225/Pid.Sus/2021 Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang dituding melakukan plagiat terhadap karya ilmiah (skripsi) mahasiswa.
Tudingan tersebut datang dari Abdul Chair Ramadhan, Direktur HRS Center. Ia menyampaikan bahwa hakim PN Jaktim pada pertimbangan hakim terdapat unsur plagiat dalam perkara in casu (tersebut) yaitu, uraian penjelasan tentang “ajaran atau doktrin kesengajaan dengan kemungkinan” dan juga pada pemenuhan unsur “mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, dan turut serta”.
Hiruk Pikuk Plagiaresme
Terminologi atau istilah “plagiat” berasal dari bahas latin “plagiarus” yang secara harafiah artinya “khindapper” atau pencuri, istilah tersebut digunakan oleh penyair Romawi bernama Marcus Valerius Martialis sebagai metafor untuk menyindir Fedentius yang telah menyitir (menjiplak) syair milik Martilas dan mengakui sebagai miliknya (Rizal, 2010: 345).
Pada tataran dunia perguruan tinggi, salah seorang guru besar di salah satu universitas tulisannya ditarik karena dianggap melakukan plagiat pada artikelnya “RI as New Middle Power?” yang menjiplak tulisan Karl Ungerer, yang berjudul “The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy.”
Plagiarisme (penjiplakan) yang tidak disertakan kutipan atau sumber yang memadai dalam “kultur akademik” merupakan penyangkalan terhadap nilai kebenaran dan kejujuran (vertas et probitas), yang oleh segenap insan akademik (manusia kampus) tidak mentolerir perbuatan tersebut (plagiat).
Ketegasan sikap dunia pendidikan tercermin pada ketentuan normatif yang tegas menyatakan, “tindakan plagiat yang dilakukan oleh mahasiswa apabila terbukti, maka sanksi yang diterima ialah pembatalan ijazah dan gelar kesarjanaan akan dicabut” [Lihat Pasal 25 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 dan Pasal 12 ayat (1) Permendiknas No. 17 Tahun 2010].
Plagiariseme dalam Sistem Peradilan
Tindakan plagiat telah lama menjadi disturbing issue, permasalahan menggelisahkan yang sejak lama melanda sistem pendidikan dan diduga telah menjadi “air bah” yang merambah ke sistem peradilan. Plagiarisme dalam dunia peradilan sesungguhnya bukan masalah baru (new problems).
Mykola Kolotylo pada kolom “Dejure Fondation” tentang “Plagiarism and Punishment of Judges for stealing work of others” mengungkapan bahwa, Hakim pengadilan Federal Australia, Jennifer Rimmer, ditemukan menjiplak 2.000 (dua ribu) kata dari keputusan hakim pada kasus yang berbeda, dan hakim pengadilan Kanada, Joel Groves menyalin sebagian besar (321 dari 368 paragraf) dari pernyataan penutup penggugat.
Proses penyalinan yang dipahami sebagai tindakan plagiat oleh Kolotylo tersebut tidak harus dianggap benar sepenuhnya. Penyalinan pendapat penggugat/tergugat [perkara perdata] atau jaksa penuntut umum/penasihat hukum [perkara pidana] oleh hakim dalam sistem peradilan sebenarnya merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari oleh hakim.
Hal tersebut dilakukan agar penalaran hakim benar-benar tertuju pada fakta persidangan yang selanjutnya dijadikan sebagai pijakan oleh hakim dalam menyusun motivering vonis (pertimbangan hakim) baik berupa ratio decindendi (pertimbangan hukum) maupun obiter dicta (pertimbangan fakta).
Kendati berbeda halnya dengan pertimbangan hakim yang didasarkan pada suatu pendapat atau argumen tertentu yang diperoleh dari pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam perkara yang disidangkan, misalnya mengambil suatu pendapat dari buku atau referensi tertentu dengan tidak mencantumkan sitasi, yang umumnya disebut sebagai plagiat.
Pengutipan tanpa mencantumkan sumber rujukan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sesungguhnya telah terjadi secara sporadis di berbagai sistem. Namun tergantung pada respon dari masing-masing sistem menanggapi dan membijaki tindakan palagiat.
Mengenai hal tersebut, Robert Biling menyatakan bahwa, pengacara dan hakim dianggap yang paling banyak melakukan tindakan plagiat, karena sering mengambil tulisan atau pikiran orang tanpa disertakan kutipan atau catatan kaki “...,lawyers and judges, are the biggest plagiarizers—, the are sometimes caught not footnoting when they should have” (Biling, 2004: 395-396).
Konsekuensi Plagiariseme dalam Putusan Hakim
Lantas bagaimana akibat putusan hakim yang terdapat unsur plagiat. Dimensi filosofi putusan hakim sesungguhnya merupakan sebuah teks otoritatif yang dilandasi dengan metode penalaran yuridis.
Proses penalaran pertimbangan hakim umumnya dalam ajaran mengadili melalui 3 (tiga) tahap, yaitu. Pertama, tahap kontatasi “menilai perbuatan pidana”; Kedua, tahap kualifikasi “menilai kesalahan/ pertanggungjawaban pidana terdakwa”; dan Ketiga, tahap konstitutif, pada tahapan terakhir ini hakim menentukan hukumnya (Gunarto & Sudrajat, 2018: 52-53). Yaitu jenis putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
Proses konstatasi dan kualifikasi inilah biasanya hakim mengkaitkan pertimbangannya dengan doktrin atau konsep tertentu, yang acap kali rentan terdapat plagiarisme sebagaimana yang ditudingkan dalam perkara in casu a quo.
Legalitas suatu putusan hakim berbeda dengan karya ilmiah yang secara limitatif mensyaratkan pengutipan sebagai indikator keabsahan dan orisinalitas. Sah atau tidaknya suatu putusan hakim dinilai secara yuridis dan tidak dikualifikasi dengan standar akademis. Putusan hakim dianggap baik dan dapat diterima dapat dilihat dari 2 (dua) pendekatan.
Pertama, Kebenaran (veritas) Putusan Hakim, artinya putusan hakim dianggap benar apabila didasarkan pada prinsip dan aturan hukum. Kedua, Keamanan (securitas) Putusan Hakim, artinya hakim dalam menjatuhkan putusan tidak didasari pada kesewenang-wenangan hakim (Rahantan, 2021: 97).
Baik nilai "veritas" dan "securitas" putusan hakim harus ditentukan secara otoritatif dengan prinsip-prinsip normatif. Putusan hakim dapat dinyatakan tidak sah dalam artian dibatalkan hanya dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
Dasar pikiran tersebut merujuk pada asas “Res Judicata Pro Veritate” (putusan hakim harus dianggap benar), artinya putusan hakim harus dijunjung benar dan memiliki legalitas sepanjang belum diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi [banding atau kasasi].
Khusunya putusan pemidanaan sebagaimana yang dijatuhkan (kepada Riziek Shihab) dalam perkara in casu hanya dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum apabila tidak dicantumkan salah satu ketentuan yang disyaratkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
isalnya: irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau “Identitas Terdakwa” (lihat Pasal 197 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP). Putusan hakim yang batal demi hukum dengan sendirinya dianggap “never exited” (tidak pernah ada) hanya apabila pertimbangan hakim tersebut didasari pada prinsip atau aturan hukum yang keliru (fallacy).
Maka dengan demikian, dilihat dari pendekatan hukum, plagiarisme yang ditemukan dalam sebuah putusan (vonis) atau pertimbangan hakim (motivering vonis) tidak dapat dijadikan sebagai variabel yang membaut putusan pengadilan dinyatakan tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan daya mengikat.
Artinya kualifikasi putusan hakim hanya dapat batal apabila didasarkan pada alasan-alasan yuridis/normatif, bukan pada standar etis/akademis. Hanya saja dari segi akadamis, plagiarisme tetap merupakan “academik dishonesty” (kecurangan akademik) yang hakikatnya bertentangan dengan prinsip moral.