Secara bahasa kata sirri bermakna sesuatu yang sifatnya rahasia dan tertutup. Dengan demikian, jika kata sirri dinisbatkan kepada kata nikah, dapat dipahami bahwa maknanya adalah nikah yang dirahasiakan.
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari nikah sirri dalam istilah fiqih:
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah, mendefinisikan nikah sirri sebagai nikah yang tidak dihadiri oleh dua saksi.
Sedangkan kalangan Malikiyyah mendefinisikan nikah sirri sebagai nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat nikah, hanya saja para saksi diminta untuk tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai.
Dalam pengertian yang berlaku hari ini, nikah sirri lebih dimaksudkan sebagai pernikahan yang telah terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya, namun tidak tercatat secara resmi dalam catatan negara.
Dalam KBBI, nikah sirri didefinisikan sebagai pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang penghulu dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nikah sirri dapat dibedakan menjadi tiga pengertian. Di mana masing-masing pengertian, memiliki hukum secara mandiri.
a. Nikah Tanpa Adanya 2 Saksi, Jika nikah sirri dimaksudkan sebagai akad nikah yang dilangsungkan tanpa memenuhi unsur dua saksi, maka hukum pernikahan ini tergantung kepada perbedaan para ulama terkait status 2 saksi dalam pernikahan sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan rukun nikah.
Di mana para ulama terpecah menjadi dua mazhab:
Jumhur ulama (Hanafi, Syafi'i, dan Hambali) berpendapat bahwa persaksian nikah merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun akad nikah.
Maka tanpa adanya persaksian ini saat pengucapan akad, sebuah akad pernikahan menjadi tidak sah.
Sedangkan kalangan al-Malikiyyah berpendapat bahwa persaksian nikah bukanlah rukun dalam akad pernikahan.
Namun bukan berarti keberadaan saksi nikah ini diabaikan begitu saja dalam mazhab Maliki.
Meski persaksian nikah bukanlah rukun, namun mereka menghukuminya sebagai wajib nikah yang dapat menyebabkan dibatalkannya pernikahan jika tidak ada persaksian yang dapat berakibat terjadinya tuduhan zina.
Maka keberadaannya tetap mesti ada, meskipun tidak mesti ada saat akad diberlangsungkan.
b. Nikah Dengan Adanya 2 Saksi Yang Diperintah Untuk Merahasiakannya.
Adapun jika nikah sirri didefinisikan sebagai nikah yang terpenuhi unsur 2 orang saksi, namun sang suami memerintahkan mereka untuk merahasiakannya, maka menurut mayoritas ulama, nikah seperti ini tetaplah dinilai sah. Sebab semua rukunnya telah terpenuhi.
Namun, menurut mazhab Maliki, nikah seperti ini tidaklah sah. Dan perkawinannya dapat dibatalkan. Bahkan jika sampai terjadi hubungan seksual, pelakunya dapat divonis hukuman had (dera atau rajam).
Maka dari dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa nikah sirri jenis ini, bagi mazhab Maliki, hakikatnya sama saja dengan nikah sirri jenis pertama.
Sedangkan menurut jumhur ulama, nikah sirri jenis ini tidaklah disebut dengan nikah sirri secara hakiki. Sebab rukun kesaksian telah terpenuhi saat prosesi akad nikah dilangsungkan.
Sebab tentunya, dalam pernikahan ini tidak diberlangsungkan acara walimah ursy. Atas dasar inilah, sebagian di antara mereka menilai bahwa hukumnya adalah sah, namun makruh.
c. Akad Nikah Tanpa Adanya Catatan di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil Sedangkan jika maksud nikah sirri adalah diberlangsungkannya suatu pernikahan dengan memenuhi seluruh ketentuan rukun dan syarat.
Namun tidak tercatat dalam catatan negara, maka jelaslah bahwa nikah sirri jenis ini tetap dinilai sah secara syariat.
Tentunya dengan catatan, bahwa pemerintah boleh saja memberlakukan aturan tambahan yang tidak melanggar hak asasi beragama seorang muslim.
Namun bisa saja penetapan aturan tersebut dapat berakibat pada pengurangan hak seseorang sebagai warga negara.
Di samping itu, penetapan pencatatan ini, pada dasarnya juga dimaksudkan untuk menjaga hak-hak konstitusi seorang warga negara, jika dalam perjalanan rumah tangga pernikahan sirri ini mengalami suatu kondisi yang membutuhkan campur tangan negara.
Dalam hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketentuan pencatatan pernikahan ini tertuang pada UU No. 1, Tahun 1974 tentang perkawinan.
Tertulis pada Bab I: Dasar Perkawinan, pasal 2 ayat 2:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa nikah sirri yang terjadi di Indonesia ini tetap dipandang sah dalam perspektif agama dan hukum positif apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Hal ini didasarkan pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang bahwa menyatakan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Secara umum, dalam perspektif hukum islam sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya nikah siri cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun pernikahan.
Sebaliknya dalam hukum positif Indonesia, nikah siri telah ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal.
Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang pernikahan, baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), tidak ada satu katapun yang menyebut aturan praktik nikah siri.
Yang dibahas adalah pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa nikah siri tidak dianggap dalam hukum pernikahan nasional.
a. Undang-Undang Tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dalam UU RI No.1 tahun 1974 yang diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 Undang-undang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.
Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut
Pasal 7 ayat 1 KHI "Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah".
Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.