Pemberantasan pungli (pungutan liar) memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena terkadang pungli itu mampu berubah-ubah bentuk dan sangat pandai berkamuflase. Namun, harus kita gelorakan untuk mewujudkan good governance dan merevolusi mental Bangsa.

Pungli sudah bertahun-tahun lamanya menjadi adat istiadat yang salah dan bahkan dilumrahkan. Untuk itu, bagi kebanyakan aparatur negara, pungli sudah jauh masuk ke dalam neraca keuangan keluarga mereka. Mereka dengan sangat berani merelakan gaji mereka, bahkan ada yang sampai 100% dan minus untuk dapat memperoleh pinjaman dari Bank. Yang kemudian rata-rata mereka gunakan untuk kebutuhan konsumtif.

Beli mobil baru, bangun rumah,dan lain-lain. Bahkan, rela melepaskan sertifikasi atau tunjangan kinerja untuk mendapatkan uang instan dari Bank.

Walhasil apa? Jika aparatur negara sudah tidak mendapatkan gaji bulanannya karena sudah tersita untuk mengangsur pinjaman di Bank, dengan uang apa mereka dapat melangsungkan kehidupan sehari-hari, buat biaya anak sekolah dan kuliah, beli bensin pulsa dan lain-lain? Kemudahan dan kepastian uang pungli tentu sangat berarti dan akan jadi masalah tersendiri jika harus diamputasi secara permanen.

Tentu tidak semua aparatur negara menggantungkan hidupnya dari gaji dan pungli. Banyak juga para aparatur negara yang mempunyai penghasilan lain di luar pekerjaanya. Namun, jika kita lihat secara kasat mata. Berapakah prosentase aparatur negara yang tidak gatal melihat SK-nya bengong di rumah?

Untuk itu perlu kiranya pihak yang berwenang dan pemimpin daerah atau Muspida tahu berapa sih gaji yang diterimakan para aparatur negara atau anggotanya itu setelah dikurangi potongan dan lain-lain? Kira-kira cukup nggak buat hidup sebulan? Apakah ada penghasilan lain? Kalau Gaji yang diterimanya hanya sisa 1 juta 500 ribu, bahkan ada yang 70 ribu dan minus. Lalu pakai uang apa mereka dapat memenuhi kebutuhanya sehari-hari?

Pungli di mana pun berada di istansi pemerintah, biasanya banyak yang berdalih karena kurangnya anggaran operasional. Belum lagi ditambah beban pegawai honorer. Maka pungli seakan menemukan kebenarannya. Pegawai honorer itu sendiri juga membingungkan bagi saya. Jika instansi terkait memang membutuhkan man power atau tenaga kerja, mengapa tidak langsung open recruitment? Apakah memang ada lowongan kerja honorer?

Para pegawai honorer sering menyebut dirinya dengan istilah Ngabdi. Ngabdi dengan harapan kelak diangkat menjadi PNS. Lah, itu mereka mengabdi, siapa yang suruh? Apa memang ada yang menawarkan lowongan? Jika pungli benar-benar dihapuskan, para aparatur negara yang gaji dan sertifikasinya sudah habis idak punya investasi maupun penghasilan lain.

Itu sungguh bencana dan mengacaukan neraca keuangan mereka. Mereka akan kebingungan bagaimana caranya mengganti uang pungli yang selama ini menopang kebutuhanya sehari-hari. Cara yang paling mudah dan gelap tentu korupsi. Semoga itu tidak terjadi. Mari hidup sederhana. Pengin sugih, ojo ngoyo. Laku lampah sak dermo, sak madyo.