Sebagai tuan rumah KTT G20 pada September 2022, hingga saat ini Indonesia telah menentukan sikap tidak mengecam apalagi memberikan sanksi kepada Rusia atas invasinya di Ukraina. Perang kedua negara yang telah berlangsung beberapa bulan telah mengakibatkan kehancuran banyak kota serta di atas sepuluh juta warga Ukraina keluar negaranya mencari penyelamatan. Banyak negara-negara di dunia terutama pendukung Ukraina menyayangkan Indonesia karena kepragmatisan kita dan lebih memilih jalan tengah.    

Seluruh linimasa berbagai media sosial mengungkapkan adanya kecenderungan dukungan terhadap invasi Rusia terhadap Ukraina. Meskipun demikian, masyarakat luas memandang media cetak dan media online hanya sebagai komplemen dari informasi Pemerintah maupun pendapat para pakar. 

Sehingga, hal ini dapat diasumsikan bahwa pendapat para praktisi dan ahli memegang peranan penting yang dapat mempengaruhi keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada Rusia dibandingkan Ukraina.                

Pendapat para ahli termasuk para mantan pejabat diplomatik cenderung menyebutkan bahwa kontestasi perang Rusia dan Ukraina adalah imbas dari perseteruan Rusia dengan Amerika Serikat dan para sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). 

Kepentingan dua blok lawan sekutu tersebut yang akhirnya mengesampingkan kepentingan Ukraina. Rusia menganggap Amerika Serikat melanggar ketertiban dunia dengan membangun pertahanan militer di Ukraina dan kawasan Eropa Timur lainnya.

Indonesia, selain sebagai tuan rumah KTT G20, Indonesia juga memiliki mayoritas penduduk penganut agama Islam. Keberpihakan Pemerintah Rusia terhadap umat muslim di negaranya maupun dunia dipandang menjadi daya tarik penduduk muslim di Indonesia. 

Meskipun adanya tuduhan Rusia dan Amerika telah melakukan kebohongan, namun sikap humanis yang ditunjukkan Rusia kepada umat muslim di dunia memicu arah keberpihakan Pemerintah Indonesia untuk tetap mengundang dalam perhelatan KTT G20 meskipun ditentang oleh Amerika Serikat dan sekutunya.


Keuntungan Indonesia

Periode 1945 sd 1950 merupakan masa-masa suram bagi Bangsa Indonesia, dimana saat kemerdekaan diproklamirkan tidak serta merta negara-negara di dunia mengakuinya, dan salah satu negara yang menyambut baik kemerdekaan tersebut adalah Rusia yang ketika itu bernama Uni Soviet. 

Uni Soviet secara gencar menyerukan kepada dunia internasional bahwa telah lahir negara merdeka bahkan ia mengecam seluruh agresi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu. Sejarah pengakuan ini tentu menancap selama hayat dikandung badan bangsa Indonesia, sehingga menumbuhkan kepercayaan bangsa kita untuk segera mengisi kemerdekaan yang telah diikrarkan.    

Permasalahan Irian Barat merupakan salah satu dasar kedekatan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet. Presiden Soekarno berupaya untuk mengakhiri secara tuntas sisa-sisa kolonialisme Belanda di Bumi Pertiwi, terutama di Irian Barat. 

Pada tahun 1952 Belanda secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaannya, sedangkan Indonesia menganggap bahwa Irian Barat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pertemuan Jenderal TNI A.H. Nasution di Moscow, Perdana Menteri Nikita Khruschev menyampaikan bahwa Indonesia dapat memperoleh semua peralatan militer di Uni Soviet.

Pada awal orde baru hubungan Pemerintah Indonesia dengan Uni Soviet sedikit merenggang, hal ini tidak dapat dilepaskan oleh sentiment negatif pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965 dimana Uni Soviet dikaitkan dengan isu komunis yang sedang kita perangi saat itu. 

Terobosan untuk memajukan kembali hubungan kedua negara dimulai dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet pada tahun 1989, di mana ditandatangani Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Republik-republik Soviet Sosialis pada tahun yang sama. 

Dokumen tersebut memiliki arti penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerjasama guna mengembangkan kerjasama di berbagai bidang.

Memasuki abad Milenium hubungan dan kerjasama Indonesia dengan Rusia memasuki babak baru dan mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan saling kunjung Kepala Negara dan para pejabat pemerintahan kedua negara, serta saling dukung di forum internasional. 

Hubungan dan kerjasama bilateral tidak hanya tercipta pada tingkat government to government (G to G Contact), namun pada tingkat-tingkat lainnya, yaitu pada tingkat antar pelaku usaha (B to B Contact), antar masyarakat (P to P Contact), antar media massa, antar tokoh agama, organisasi kemasyarakatan dan lainnya.


Sikap Indonesia

Sebagai tuan rumah sekaligus ketua giliran G20, Indonesia dapat mengambil momentum baik ini untuk mendamaikan perseteruan antara Rusia dan Ukraina agar tidak jatuh korban yang lebih banyak lagi. 

Peluang ini diharapkan dapat membalikkan sejarah bahwa Indonesia yang selama ini hanya mampu berperan sebagai mediator di cakupan Asia Tenggara, mulai diperhitungkan di tingkat yang lebih global serta komplek. Indonesia dapat meminta Ukraina untuk bersikap realistis bahwa tanpa bantuan NATO kemampuan militer Ukraina masih jauh di bawah Rusia.

Dengan politik bebas aktif sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, meskipun netral dan objektif, tapi sekaligus memiliki tanggung jawab moral terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Ukraina. Berbekal kedekatan hubungan baik dengan Rusia, Pemerintah Indonesia dapat menyampaikan ke Pemerintah Rusia bahwa invasi merupakan bentuk kekejaman. Dampak perang akan sangat dirasakan oleh warga sipil akibat selalu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Sering kali, mengedepankan objektivitas dalam menganalisis penyebab perang tidak akan membantu menghentikan bencana kemanusiaan yang terjadi. Akan ada waktu untuk itu nanti. Di saat seperti ini, memaksakan diri untuk tetap netral dan diam berarti secara tidak langsung mendukung agresi militer dan memperburuk krisis kemanusiaan yang terjadi.


Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo