"Asuuu". Teriakan keras dan panjang terlontar dari mulutnya. Sambil berlari hingga membuat perut besarnya terguncang ke mana-mana. Sesosok tambun kelelahan mendekatiku yang sedang asyik dengan lamunanku sendiri.

“Asu. A... su. Asu tenan”. Baser terbata-bata melawan nafas memburunya.

“Asui” Kataku tak kala lantang. “Teko-teko ngasu-ngasuno wong” dengan wajah tersinggung.

“Ora ngunu. Onok asu nak omah iku. Aku liwat lha kok njegok-njegok dekne. Keweden aku” masih dengan nafasnya yang memburu.

“Owalah, mbi asu wae wedi. Ora sumbut karo wetengmu”, amarah tadi sudah berubah menjadi semringah di wajahku.

Anjing itu memang sering menggonggong saat ada orang melintasi depannya. Anjing itu ada di rumah bertingkat empat dengan pagar besi setinggi dua kali tinggi orang dewasa.

Anjing itu juga sering melolong di tengah malam. Membuat para orang tua yang memiliki bayi harus bangun untuk menidurkan tangis mereka.

Juga membuat orang-orang tak berani keluar desa di atas jam sepuluh malam. Sebab jalan satu-satunya untuk keluar desa hanya melewati rumah itu. Rumah dengan pagar besi setinggi dua kali tinggi orang dewasa.

Lampu jalan desa, hanya sampai depan rumah itu. Rumah yang menyimpan lolong anjing di setiap malamnya. Sepanjang jalan setelah rumah itu, tiada lampu yang menerangi. Hanya persawahan dan pohon asam di kiri-kanan jalan yang jaraknya agak berjauhan. Diselingi dengan pohon pisang yang daun keringnya sering terserak di jalan.

Itu adalah jalan utama desa tapi malah lebih mirip dengan jalanan sawah. Hanya batu-batu kapur pengganti aspal. Ditambah banyaknya air menggenang keruh di sela-sela batu kapur yang tak rata.

Kegelapan menyelimuti jalanan itu bila malam tiba. Tambah lagi lolong anjing bila telah tengah malam dari rumah berpagar besi setinggi dua kali tinggi orang dewasa.

Setelah perdebatan kecil tadi, aku dan Baser pun duduk berhadapan. Yang memisahkan kita hanya segelas kopi yang telah dingin dan bayangan di benakku yang sudah kacau oleh kehadiran Baser.

Setelah nafasnya reda, ia mencecap kopi itu. Kopiku.

“Enak kopimu” katanya setelah sesapan pertama. Lalu melanjutkan sesapannya,  “tapi kelegen. Lanang opo, ngopi kok legi”. Aku hanya ternganga melihatnya.

Asu, karek ngombe wae protes : batinku.

"Gosong iku kopine".

"Iyo ta? Sek tak jajale meneh" meminumnya lagi dengan tidak percaya. Hingga sisa letek. "Ora ngene kok".

Asu tenan : batinku sekali lagi.

"Jan jane nyapo to, nak deso ngene enek seng ngingu asu barang" tanyanya dengan wajah serius.

"Beliau, wong pindahan teko luar kota" kataku mengawali. Dengan sorot mata yang tak kalah serius.

"Beliau?" Ia terbelalak mendengar perkataanku.

Baser memang bukan orang desa ini. Kebetulan ada perlu dengan pekerjaannya di desa yang tidak jauh dari desaku. Dan memanfaatkan pertemanan kami sebagai alasan untuk dapat tempat menginap.

Cerita berlanjut tentang "Beliau". Beliau : Seorang lelaki pemelihara anjing di rumah tingkat empat berpagar besi setinggi dua kali tinggi orang dewasa. Selalu mengenakan peci putih bundar dengan motif keemasan melingkar.

Semenjak kepindahannya dua tahun lalu, tak pernah sekalipun terlihat bekerja. Tak jelas apa pekerjaannya. Ada yang bilang Beliau mempunyai kebun sawit di Sumatra. Orang lain mengatakan ia salah satu pemilik saham di beberapa perusahaan besar di Gresik.

Tetangga lain membantah kedua pendapat itu, dan menjelaskan bahwa semua kekayaannya berasal dari anaknya di Bandung. Dan masih banyak lagi anggapan yang sama-sama samar mengenai pekerjaannya. Semua hanya perkiraan. Tanpa bukti.

Termasuk juga istri dan anaknya. Menjadi pertanyaan yang tak kunjung menemu jawaban di benak warga desa.

"Sek sek, diluk" menyela ceritaku. Baser berdiri dan berucap ke penjaga warung. "Kopi siji, Lek, sodok paet". Kembali duduk sambil membawa kerupuk dan membukanya. Padaku Baser bertanya "Gak pesen maneh ta? Tak bayari, santai wae". Tanpa menunggu jawabanku, Baser langsung menyahut "Gak pesen yo gak popo".

Asu.

"Lanjutne ceritane mau" Berucap tanpa melihatku dan masih konsen pada kerupuknya.

Asuu. Asu kowe.

Bulan semakin memuncak. Kami pun larut dengan cerita. Cerita yang kulontarkan dan di dengar saksama oleh Baser. Cerita tentang Beliau.

“Ndak enek seng tau melbu omah kui, Ser” kataku sembari membuka tutup cangkir yang tinggal ampas.

“Mosok?” Baser sedari tadi sibuk dengan kerupuknya, kini mata semi sipitnya menghadapku lebar. Tak percaya. “Mestine enek” lanjutnya.

“Iyo ancen enek. Pembantune. Wong lanang tuo bisu. Cumak iku”.

Di rumah itu, memang tak ada warga desa yang pernah masuk. Hanya lewat depan rumahnya. Atau sesekali melihat dari luar pagar, sebelum tersentak dan lari sebab gonggong anjing peliharaan Beliau.

Satu-satunya yang pernah masuk rumah itu adalah pembantunya. Lelaki tua, lebih tua dari Beliau. Berperawakan kurus. Dan bisu.

Pembantunya itulah yang mengurus segala kebutuhan rumah itu. Sebab hanya dia yang kelihatan keluar masuk rumah itu. Tiada lain.

Meski warga desa sini banyak berprofesi sebagai tukang bangunan. Tapi waktu pembangunan rumahnya dulu, Beliau memperkerjakan orang dari luar kota.

“Ora. Ora mergo Beliau gak percoyo karo wong kene.”

“Terus?” Kejar Baser.

“Ojo nduwe anggepan ngunu nak Beliau. Ko tak ceritakne. Sabar sek.” Dengan ekspresi kubuat sekeren mungkin.

Sudah sejak dua tahun kedatangannya, sudah tiga kali beliau mengganti pembantunya. Kendati demikian, semuanya adalah lelaki tua yang bisu. Perawakannya hampir sama, kurus dengan banyak uban. Bedanya, yang ketiga ini rambutnya agak panjang, sepundak.

“Kok iso oleh wong seng podo ngunu yoh? Yo opo carane? Golek nandi? Mosok enek seleksine? Mosok kudu lanang tuo? Karo bisu sisan? Piye nggolek e?” Ia nyerocos.

Aku hanya melengos. Meninggalkannya. “Kopi siji maneh mas. Sodok legi. Ojo paet. Wajahe Baser wes paet.”

“Asu tenan. Tekon akeh-akeh malah ditinggal.” Wajahnya makin pahit.

Aku cengar-cengir sembari kembali duduk di hadapannya.

“Ndang lanjutne ceritane.” Todongnya.

“Sek, ngenteni kopine dadi. Harumangsamu, ngomong wae ra enek kopine cangkem ra asem po piye. Opo mane karo nyawang wajahmu seng paet kui.”

“Asui.” Katanya lemah.

Aku cengar-cengir lagi.

***

(bersambung...)