Rakyat nonton jadi supporter, kasih semangat jagoannya
Walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapur ga ngebul
Dunia politik dunia bintang, dunia hura-hura para binatang
Berjoget dengan asyik

Demikian potongan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Asyik ga asyik”, diambil dari album Manusia Setengah Dewa, dirilis tahun 2004. Lagu itu adalah bentuk satire dalam dunia politik sebuah bangsa yang kerap memanipulasi masyarakat demi tercapainya ambisi meraih, merebut, atau mempertahankan hegemoni kekuasaan sekelompok elite politik.

Sebagian warga Indonesia merasakan bahwa kontestasi politik sejak 2014 sampai dengan 2019 merupakan momen politik terpanas sejak era Reformasi. Sebelumnya belum pernah terjadi polarisasi sedemikian mengkhawatirkan pada masyarakat. Dua kekuatan yang saling berkompetisi disimbolkan oleh Jokowi versus Prabowo.

Jokowi yang memenangkan pemilihan Gubernur DKI di tahun 2012 berpasangan dengan Ahok, di tahun 2014 kembali memenangkan pemilihan umum hanya saja levelnya naik menjadi “RI 1”. Tak pelak suhu politik makin memanas. Indikasi makin panasnya suhu politik mulai terasa pada perhelatan pemilihan Gubernur DKI tahun 2016 yang diperebutkan oleh Ahok, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono.

Anies Baswedan yang di tahun 2014 pada saat perhelatan Jokowi vs Prabowo “jilid I” berada di kubu Jokowi sebagai Tim Sukses, saat pemilihan Gubernur DKI tahun 2016 berpindah kubu merapat kepada Prabowo. Sedangkan Ahok dianggap merupakan satu paket dengan Jokowi. Mereka yang berada pada posisi berseberangan dengan Ahok saat itu hampir dapat dipastikan adalah pembenci Jokowi. 

Tahun 2019 adalah pertarungan Jokowi vs Prabowo “jilid 2”, kembali kedua belah kubu mendukung capresnya masingmasing secara militan. Gerakan hashtag #2019GantiPresiden makin kuat dan gencar di ranah pendukung Prabowo. Kubu pendukung Jokowi seperti tidak mau kalah solid dan spartan, mereka menyerang kubu lawan dengan jargon “Orang Baik Pilih Jokowi” seakan secara tidak langsung mengatakan yang tidak pilih Jokowi bukan orang baik.

Belum lagi di media sosial, para pendukung ini mempunyai sebutan masing-masing, “cebong” sebutan untuk pendukung Jokowi dan “kampret” sebutan untuk pendukung Prabowo. Tentunya penyebutan itu berkonotasi melecehkan. 

Perdebatan di media sosial para pendukung ini kian tidak bermutu, hanya mempertahankan ego dan semata mencari pembenaran masing-masing saja. Diperparah dengan fitnah, berita bohong (hoax), dan kebencian makin menyeruak, menyesaki udara NKRI, mengotori hati warga negaranya.

Terbayang pada masing-masing kubu, jika Jokowi yang kalah pada pilpres 2019, maka penguasa akan berganti, wajah para elite yang memegang kuasa akan berganti dengan barisan elite pendukung Prabowo, program dan janji politik Prabowo kepada pendukungnya dapat dijalankan. Tentunya Jokowi akan “dipulangkan” ke kampung halamannya di Solo sana.

Sebaliknya, jika Prabowo kalah lagi, maka rezim Jokowi akan melanjutkan program-program yang belum tuntas di periode pertamanya. Prabowo yang dianggap merepresentasikan kembalinya kekuatan Orde Baru yang militeristik tentunya dengan dikalahkan, maka kebangkitan kembali Orde Baru akan dicegah.

Prabowo akan mengonsolidasikan kekuatan partainya untuk kemudian menjadi oposisi yang kuat mengimbangi rezim Jokowi, atau kemudian dia akan kembali pulang ke rumah yang sekaligus lahan peternakan luasnya di Hambalang sana, sambil fokus mengurus kuda-kuda berharga miliarannya itu.

Tidak lupa pula pada benak para pendukung kedua belah pihak, pihak yang merasa menang akan gembira mengobral euforia sambil mungkin merasa puas dapat mempecundangi rivalnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pemilihan Presiden periode 2019-2024 dimenangkan kembali oleh Jokowi yang kali ini didampingi oleh KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Namun yang mengejutkan adalah saat Jokowi membentuk kabinet barunya ini dengan sebutan Kabinet Indonesia Maju, alih-alih melibas Prabowo beserta seluruh barisan elite pendukungnya, dia malah memilih dan mengangkat Prabowo masuk dalam kabinetnya sebagai Menteri Pertahanan.

Para pendukung kedua kubu seperti terhenyak tidak percaya. Ada yang dapat menerima, namun lebih banyak yang kecewa. 

Bagi mereka yang merasa kecewa timbul pertanyaan; mengapa mau bergabung dengan “musuh”? Lalu buat apa segala dukungan nan militan di hari-hari sebelum hingga pasca pengumuman pemenang pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum?Semua seperti sia-sia.

Apakah dengan Jokowi mengangkat Prabowo sebagai menteri dalam kabinetnya, dan Prabowo bergabung dengan rezim Jokowi dapat dikatakan sebagai antiklimaks? Atau sebagai bentuk rekonsiliasi atas kondisi yang belakangan berlangsung di NKRI?

Terlepas dari kebingungan-kebingungan itu semua, seharusnya momen ini membuat kita makin belajar dan memahami rumus baku dunia politik, bahwa dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Kemudian sebagai warga negara, kita seharusnya belajar bahwa antagonisme dan rivalitas yang demikian kerasnya antarwarga negara dikarenakan membela elite politik pilihan/jagoan masing-masing ternyata bisa menjadi sia-sia dan membuang energi tak berarti manakala pada akhirnya di ranah elite politik berujung pada “bagi-bagi” kekuasaan. 

Sedangkan sebagai rakyat jelata atau warga negara biasa, pasca Pemilu, akan kembali menjadi penonton. Akhirnya siapa pun yang menang, rakyat juga yang kalah.