Apa yang diinginkan pemerintah dari adanya pemberlakuan Pendidikan Profesi Guru (PPG)? Apakah semua pengetahuan dan keterampilan yang ditempa selama empat tahun kuliah sarjana masih belum cukup untuk memenuhi standar profesionalisme guru sehingga diperlukan adanya treatment tambahan?

Seberapa bedakah antara mereka yang sudah menempuh PPG dengan yang belum? Silakan teman-teman guru lain bisa menilainya sendiri. Tapi saya pribadi menilai bahwa tidak ada perbedaan signifikan di antara keduanya.

Namun bukan ini yang akan saya bahas secara panjang karena anggaplah kita setuju dan memang harus melalui proses ini. Sebagai catatan, ini merupakan refleksi dan kritik terhadap kegiatan PPG PAI yang saya alami di satu LPTK (kampus). Bisa jadi ada perbedaan proses kegiatan PPG antara satu LPTK dengan LPTK lainnya.

Dalam PPG yang sedang dan akan saya lalui, ada sejumlah rangkaian aktivitas yang perlu ditempuh sebelum menghadapi ujian terakhir sebagai penentu kelulusan. Tahap pertamanya adalah melakukan pendalaman materi.

Di sini kami diminta untuk memahami materi (konten PAI dan pedagogik) yang telah disusun dalam bentuk modul. Satu modul terdiri atas empat materi yang terklasifikasi ke dalam satu tema besar. 

Misalnya Modul Fikih, terdiri atas empat materi yakni Fikih Shalat, Fikih Jual-Beli, Fikih Munakahat, dan Fikih Siyasah. Satu modul ini berkisar antara 80-100 halaman lebih, dan kami wajib menyelesaikannya dalam waktu tiga hari saja dengan deretan penugasan yang tidak manusiawi. Di hari keempat kami beralih ke modul selanjutnya yang juga perlu dituntaskan dalam waktu tiga hari.

Seperti yang sudah dikatakan, satu modul perlu diselesaikan dalam waktu tiga hari. Pada hari pertama, kami diminta untuk menyelesaikan empat buah tugas (betul empat tugas! dan ini tugas dengan deadline harian), yakni merangkum (ditambah beberapa instruksi lainnya, seperti memaparkan materi yang sulit, dan yang sering disalahpahami) empat macam materi yang tertuang dalam sebuah modul.

Tugasnya memang tidak sulit, tapi tentu saja sangat menguras waktu. Apalagi dengan idealismenya, dosen meminta rangkuman tersebut dalam bentuk yang sudah diparafrasekan. Tidak cukup dengan itu, mereka juga meminta rangkuman berupa mind-map.

Bayangkan berapa waktu yang harus perlu dialokasikan untuk melakukan pekerjaan ini. Misalnya, merangkum satu materi saja butuh waktu satu sampai dua jam, ditambah waktu untuk membuat mind-map sekitar 30-60 menit.

 Anggaplah bagi mereka yang cerdas dan memiliki kecepatan tinggi bisa menyelesaikannya dalam waktu 1.5 jam. Namun pasti manusia bukanlah robot, ketika selesai membuat satu rangkuman materi, hampir tidak mungkin dia bisa langsung melanjutkan merangkum ketiga sisa tugasnya. 

Dia butuh istirahat sejenak. Kemudian, anggaplah si orang paling cepat ini bisa melakukannya dengan gercep 1.5 jam * 4 materi rangkuman = 6 jam. Namun saya sangat yakin kalau rata-rata guru PAI sedikit yang dapat menuntaskannya dalam 6 jam, pasti lebih. 

Apalagi peserta di dalam PPG ini juga banyak yang sudah berumur. Saya yang masih umur berkepala dua saja sudah mengeluh sangat kelelahan. Lalu bagaimana dengan mereka, ada juga yang sedang hamil, serta kondisi-kondisi lainnya.

Dan satu lagi, kami bukan pengangguran yang bisa anteng dan fokus mengerjakan tugas killing time ini. Kami adalah guru yang tetap wajib mengajar di sekolah dengan segala kepadatannya. 

Dan mengajar itu bukan suatu hal yang remeh-temeh, sepele dan mudah. Banyak energi dan pikiran yang terkuras. Selain itu kegiatan sekolah di luar mengajar malah terkadang jauh lebih banyak. Kalian para guru pasti sudah sangat akrab dengan itu.

Selanjutnya di hari kedua, kami diminta untuk menganalisis bahan ajar berupa video dan artikel jurnal yang sudah diinput oleh dosen di LMS. Lagi-lagi ada empat materi berbeda (meski masih satu tema yang sama) yang perlu kami analisis.

Perintahnya pun ada empat (1) memaparkan 5 konsep yang ada di video/artikel (padahal tidak semua artikel atau jurnal itu memberikan informasi hingga lima konsep (2) berikan evaluasi dan refleksinya (3) cari kekurangan dan kelebihannya, dan (4) hubungkan dengan konsep moderasi.

Ini tugas yang biasa saja, sama sekali tidak susah. Tapi berhasil membuat kami untuk menghabiskan waktu 6-8 jam dalam sehari. Ingat, deadline adalah sehari. Sungguh tidak manusiawi.

Lucunya, tidak segan dosen bisa memberi video (yang perlu dianalisis) dengan durasi berjam-jam atau artikel yang sangat-sangat panjang, sehingga perlu waktu yang sangat panjang untuk dapat menonton atau membacanya. Sungguh tidak manusiawi. Level tugasnya tidak sulit, tapi berhasil membuat kesehatan kami rontok.

Di hari ketiga (hari terakhir menuntaskan satu modul) kami diberikan sebuah tugas berbasis masalah (problem based learning). Hanya tugas inilah yang menurut saya agak berkualitas. Jadi saya tak mempermasalahkannya.

Namun di hari ini pulalah kami wajib mengerjakan dua buah tes: tes formatif dan tes akhir modul. Semuanya berbentuk pilihan ganda. Problemnya adalah kualitas soalnya sangat―secara umum―buruk: sulit dijawab tapi tidak berkualitas, ada juga yang seolah-olah berlevel higher order thinking skill (HOTS) padahal hanya berlevel cognitive 1 (C1).

Selain itu umumnya soal-soal berupa jebakan (dengan mempermainkan kata-kata), yang kalau mau didebatkan bisa saja jawaban yang benar lebih dari satu. Soal-soalnnya pun terlalu text book (berbasis konten pada modul), dan sering kali memiliki jawaban ganda.

Sebenarnya kualitas soal yang rendah ini sudah saya rasakan jauh-jauh hari semenjak mengikuti pre test PPG. Saat itu saya mengeluhkan sulitanya soal tersebut, dan mencoba untuk bertanya ke teman-teman yang lain tapi menurut mereka soalnya mudah. Aku malah merasa sebaliknya. 

Kualitas soal yang aneh ini, dengan demikian, terdapat pada (1) pre test untuk bisa mengikuti PPG, (2) pre test ketika memasuki suatu modul pada pendalaman materi (3) tes formatif (4) tes akhir modul.

Lucunya dan sekaligus membuat saya takut, ialah soal jenis ini jugalah yang akan muncul ketika kami akan mengikuti ujian terakhir (semacam UN). Sedih banget kalau kualitas soal yang demikian ini yang membuat kami terhambat lulus. 

Bukan karena kami bodoh, tapi karena kualitasnya yang rendah. Sayang sekali contoh soal-soalnya tidak bisa saya paparkan di sini karena terhapus ketika saya membersihkan memori di handphone, padahal waktu itu saya rajin meng-capture-nya, supaya bisa dijadikan bukti.

Saya sudah protes ke dosen pengajar, dan dia pun secara garis besar memahami dan mengakui kelemahan tersebut, tapi apa daya dia bukan termasuk dari tim pengembang asesmen tersebut. Belakangan teman-teman kelas saya pun merasakan hal yang sama, mereka mengeluhkan kualitas soal yang buruk itu.

Sebenarnya, apa yang mau dicari dari PPG PAI ini? Semoga ke depannya bisa ada perbaikan, baik dalam hal kebijakan PPG maupun dalam praktik di lapangannya.