Catatan ini berangkat dari pengalaman menonton film Posesif. Film yang saat ini masih tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia, satu minggu yang lalu, baru saja mendapatkan beberapa penghargaan Piala Citra, antara lain untuk kategori Sutradara dan Pemeran Wanita Terbaik.

Ada tiga alasan bagi saya mengapa harus menonton film ini. Pertama, karena film ini disutradarai oleh Edwin, seorang sutradara yang terkenal dengan film-film eksperimentalnya. Ini kali pertama baginya merambah film komersial. Saya penasaran, film bioskop macam apa yang akan dia hasilkan.

Kedua, salah satu soundtrack utama film ini adalah “Dan"-nya Sheila on 7, salah satu lagu terenak sepanjang masa bagi saya. Dan ketiga, persoalan yang ingin diangkat oleh film ini, yaitu perilaku posesif pada remaja.

Hal ketiga ini yang paling menarik. Sejak Ada Apa Dengan Cinta (AADC), saya merasa belum ada lagi film yang benar-benar monumental dan memiliki pengaruh besar pada kehidupan remaja.

AADC waktu itu menjadi monumental karena ia menjadi penanda kebangkitan film nasional, sekaligus bisa mendefinisikan ulang kehidupan remaja. Karena ADDC, waktu itu para remaja (terutama anak SMA) menjadi punya rujukan primer bagaimana cara berpakaian, cara berteman, cara mengaktualisasi diri, hingga cara berkomunikasi.

Kekurangan AADC adalah ia tidak meng­-capture satu persoalan krusial para remaja. Ia hanya mengambarkan secara umum bagaimana kehidupan remaja beserta lika-likunya.

Pasca AADC (terutama 2010 ke atas), film remaja terlalu banyak didominasi oleh kisah-kisah percintaan dangkal yang tidak memperlihatkan keinginan film maker­-nya untuk mengelaborasi cerita lebih jauh. Selain AADC, saya hanya mengingat Catatan Akhir Sekolah sebagai film remaja yang lumayan baik. Karena kerinduan akan film remaja yang bergizi inilah, Posesif menjadi penting.

Posesif sendiri sebenarnya bukan wacana baru bagi masyarakat kita. Di dalam ranah budaya pop, setidaknya terminologi ini pernah tenar karena lagu hitsnya Naif yang berjudul sama: “Posesif”. Tapi, hits Naif ini kemudian tidak pernah diperbincangkan mendalam. Yang terkenal waktu itu malah model video klipnya, yang menampilkan seorang pria transgender. Oleh karena itulah, besar harapan saya agar film Posesif mampu memicu perbincangan banyak kalangan.

Ke-Posesif-an di Sekitar Kita

Bagi saya pribadi, isu posesif ini sangat krusial. Dalam kamus bahasa Inggris, posesif ini artinya having or showing a desire to control or dominate, yang kalau kita artikan ke bahasa Indonesia, artinya adalah kecenderungan untuk mengontrol atau mendominasi.

Jika kita beri konteks hubungan emosional remaja (pacaran), maka artinya adalah kecenderungan untuk membatasi dan mengatur ruang gerak pasangan dengan cara yang sangat berlebihan. Naif mengilustrasikannya dengan cerdas melalui kalimat “Bila ku mati, kau juga mati”. Dan jika kita jeli, sikap posesif ini sebenarnya banyak tergambar di sekitar kita.

Di generasi saya, sudah banyak remaja yang menjalani masa pacaran sedari SMP. Hubungannya memang tidak intens, hanya sebatas bertemu di sekolah, telepon, sms, dan sesekali berkunjung ke rumah (jika punya nyali).

Hal ini semakin menjadi-jadi pada masa SMA dan awal kuliah ketika kebanyakan kami sudah diberi kendaraan sendiri. Karena kepemilikan kendaraan ini, akal-akalan remaja untuk mendapatkan jalan agar bisa pergi dengan pacar pun semakin kreatif dan variatif.

Di dua masa ini, saya sudah sering melihat banyak sekali tindakan posesif yang dilakukan oleh remaja. Seperti, saya kehilangan beberapa teman perempuan yang asik. Karena pacarnya tidak mengizinkan dia untuk pergi bersama orang lain jika ada laki-lakinya (walaupun beramai-ramai).

Beberapa teman perempuan saya tidak lagi merasakan nikmatnya nongkrong di kantin beramai-ramai karena dia harus ke kantin dengan pacarnya dan ngobrol berdua saja setiap hari. Beberapa teman perempuan mulai terkena teror telepon dan sms setiap saat. Harus mengabarkan sedang apa, di mana, dan sama siapa.

Pernah ada teman perempuan saya yang harus pulang lebih dulu saat sedang liburan bersama keluarganya karena pacarnya mengultimatum: pilih keluargamu atau aku. Teman perempuan saya ini harus berbohong pada orangtuanya karena alasan keperluan sekolah. Bayangkan? Bagaimana kondisi psikis remaja usia 13-18 tahun yang sudah harus berurusan dengan perkara seperti itu?

Satu hal yang menarik, hampir semua korban adalah perempuan. Saya rasa alasannya karena sistem sosial kita yang cenderung patriarkis, yang membuat banyak perempuan menganggap posisinya memang ditakdirkan (given) berada di bawah lelaki (subordinat). Sehingga, adalah wajar apabila laki-laki mengatur kehidupannya sedemikian rupa. Saya juga pernah menemukan korban dari pihak lelaki. Tapi ini sangat minor. Bisa dihitung dengan jari.

Efek dari perilaku posesif ini banyak. Beberapa teman ada yang harus mengalami kekerasan verbal: dimarahi dan dimaki. Beberapa teman yang cemerlang secara akademis akhirnya harus mengalami penurunan prestasi. Mereka kehilangan waktu untuk bersosialisasi dan mengaktualisasi diri.

Mereka juga terpaksa melakukan kebohongan pada banyak orang, termasuk ke orangtua. Mereka akhirnya harus layu sebelum berkembang.

Efek yang paling ekstrem barangkali adalah kekerasan fisik. Saya juga pernah melihat hal ini. Tapi hanya berupa bekas di tubuh, bukan menyaksikan kejadiannya langsung.

Semua cerita pengalaman saya di atas terekam dengan sangat jelas oleh film Posesif. Ini menandakan pengalaman saya sebenarnya juga dialami oleh banyak orang. Malahan, film ini memperluas cakrawala, dengan memasukkan isu posesif yang terjadi pada hubungan orangtua dan anak. Ini juga sering terjadi.

Bagaimana terkadang orang tua mendeterminasi kehidupan anaknya sedemikian rupa. Anak tidak punya ruang untuk merintis jalan hidupnya. Hal ini tentu dapat memicu efek yang sama berupa kekerasan verbal dan fisik antara anak dan orangtua.

Yang menurut saya tidak hadir dalam film ini adalah mengenai jawaban dari mana asal-usul sikap posesif dan mengapa banyak sekali korban ke-posesif-an telat untuk menyadarinya, atau bahkan bisa maklum pada perilaku tersebut. Barangkali penjelasan hal ini sangat panjang, dan film bukan medium yang tepat. Jurnal atau buku akademis barangkali lebih tepat.

Semua efek perilaku posesif ini akan berkelanjutan, turun temurun. Hanya yang saya sayangkan, perilaku ini belum banyak dibahas intens. Saya merasa, kita sebagai masyarakat acuh pada perilaku ini. Seperti persoalan ini bukan sesuatu yang berimbas besar. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, efek dari perilaku ini sangat berbahaya.

Seperti Ada Apa Dengan Cinta, saya berharap film Posesif dapat menjadi rujukan baru bagi para remaja untuk merefleksikan bagaimana kehidupannya. Mereka (terutama perempuan) harus sadar bahwa ada ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di dalam struktur sosial kehidupan, dan diam-diam diamini oleh pikiran.

Mereka sedari hari ini harus bisa memperbincangkan bahwa sebuah hubungan emosional harus didasari oleh rasa saling ingin menghargai satu sama lain, rasa saling support  atas ketertarikan masing-masing, dan bukan atas dasar rasa ingin memiliki ataupun mengendalikan.

Orangtua pun juga harus menonton film ini. Selain sadar untuk menghargai pikiran-pikiran anaknya (untuk kemudian tidak bersifat determinan), juga harus sadar bahwa si anak perlu untuk diberi pemahaman mengenai bagaimana hubungan emosional yang sehat. Anak bukanlah manifestasi dari kegagalan masa lalu orangtua, sehingga di pundaknya dititipkan beban berat untuk menjadi sempurna seperti yang orangtua inginkan.

Epilog

Ketika menonton Posesif, saya seperti diperlihatkan kenangan-kenangan masa lalu. Benar-benar seperti realitas.

Ada satu hal yang menarik dari Edwin. Setiap filmnya selalu berhasil menghadirkan kengerian dan rasa mual yang tidak bisa saya jelaskan. Hal yang sama persis ini saya rasakan sejak menonton film pendeknya "Dajang Soembi: Perempoean Jang Dikawini Andjing"hingga film panjangnya “Babi Buta Yang Ingin Terbang”, dan “Postcards From The Zoo”.

Entah apa sebenarnya yang saya rasakan. Saya coba mengonfirmasi ini pada rekan-rekan saya yang menonton Posesif. Saya tanya, “Bagus ya filmnya? ngegemesin..” Hampir semua rekan saya ini menjawab: “ngegemesin apaan. serem tau.. aku sampe merinding..”

Berarti saya tidak sendirian. Hipotesis saya, hal itu disebabkan oleh keberhasilan Edwin dalam menangkap dan menghadirkan realitas penting dalam hidup kita yang sering kita (paksa) lupakan, dan tidak kita bicarakan. Kita seperti dipaksa memuntahkan lagi kenyataan yang kita telan dalam-dalam, dan kemudian kita harus menelannya lagi pelan-pelan. Ini bagi saya sekaligus menjadi alasan mengapa Edwin pantas mendapatkan Piala Citra.