Panggung Politik Kepala Daerah di Ibukota

Hampir diseluruh negeri ini sedang dihebohkan dengan kontestasi politik ibukota. Pencalonan calon petahana, Basuki Tjahja Purnama, yang akrab disapa Ahok, melalui jalur partai politik memikat berbagai partai besar peserta pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Golongan Karya (Golkar) sedari awal telah menyatakan dukungan kepada Ahok. Kemudian dukungan Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan menjelang penutupan deadline pendaftaran calon kepada daerah melengkapi dukungan prima bagi Ahok dalam pesta demokrasi di Ibukota.

Euforia pemilihan kepala daerah di Ibukota menyisakan pertanyaan besar kehadiran poros intelektual dalam kontestasi pesta demokrasi tersebut. Optimisme Professor Yusril Ihza Mahendra selaku seorang pakar hukum tata negara untuk maju sebagai calon kepalda daerah di Ibukota merupakan angin segar bagi poros intelektual di negeri ini.

Hanya saja optimisme itu nampaknya telah sirna pasca seluruh kontestan peserta Pilkada DKI Jakarta telah mengambil sikap dan arah dukungan. Pertemuan beberapa partai politik yang bersedia mengusung sang Professor sekejap saja menjadi harapan kosong. Dengan segala kerendahan hati sang Professor yang ”rela” turun gunung untuk turut serta melakukan pembenahan Ibukota tidak disambut baik oleh petinggi partai politik di negeri ini.

Hal yang sungguh menarik adalah : Sang Professor bukanlah wajah baru dalam praktek ketatanegaraan di negeri ini. Posisi-posisi stategis dalam pemerintahan, yakni Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, merupakan latar belakang taji sang Professor. Sekurang-kurangnya sang Professor telah membuktikan kepada kita bahwa beliau tidak hanya berhasil di bidang akademis, namun juga praktisi.

Dari pengalaman pahit sang Professor, semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa : politik tidak mementingkan kualitas intelektual. Atas nama demokrasi, basis kaum intelektual sangat mudah disingkirkan. Bahwa demokrasi tidak berpatokkan pada seberapa intelek kah (?) seorang calon pemimpin dalam suatu pemilihan.

Dengan segala hormat saya kepada seluruh Kepala Daerah di Republik ini, hingga seluruh wakil rakyat kita di Senayan, menurut saya belum tentu dapat menandingi tingkat intelektual sang Professor!! (Harap digarisbawahi, belum tentu, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa ada diantara Kepala Daerah dan wakil rakyat di Senayan dapat menandingi tingkat intelektual sang Professor)

Kontestan Calon Kepala Daerah di Ibukota Bukan Kader Partai

Calon kepala daerah di Ibukota yang dipilih oleh partai peserta pilkada di Ibukota jelas tidak memperhatikan tingkat intelektual masing-masing calon kepala daerah. Penulis berpandangan demikian dikarenakan ketidakjelasan proses verifiaksi masing-masing partai politik. Hal yang lebih mengherankan adalah calon kepala daerah yang dipilih oleh partai politik bukan-lah kader partai politik masing-masing.

Keputusan mengusung anak mantan presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono, yang notabene tidak aktif dalam dunia politik merupakan keputusan yang cukup fenomenal. Latar belakang dan pengalaman karir yang bersangkutan dalam dunia politik sama sekali belum tersentuh. Karier yang bersangkutan dalam dunia militer tentu tidak berkaitan dengan dunia ketatanegaraan.

Meskipun yang bersangkutan dapat berkaca mantan petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berhasil menduduki jabatan DKI 1, seperti Sutiyoso. Namun basis pada masa kepemimpinan pada masa itu, tentu tidak dapat dijadikan suatu perbandingan untuk mengusungnya sebagai calon kepala daerah di Ibukota. Kepangkatan yang bersangkutan juga belum mmencapai jenjang kepangkatan mantan kepala daerah terdahulu yang berhasil memimpin Ibukota, yakni jenjang kepangkatan Jendral.

Meskipun akan selalu ada dasar argumentasi politis yang mem-bias-kan pandangan obyektif diatas, serta kehadiran calon wakil kepada daerah yang dapat melengkapi kepemimpinan sang Mayor. Menurut pendapat saya, kapabilitas seorang pemimpin, terutama di Ibukota, harus benar-benar kompeten. Hal ini melihat keadaan Ibukota yang memiliki permasalahan yang kompleks, mulai dari masalah kemacetan hingga banjir yang tidak kunjung selesai sejak kepemimpinan Ibukota sejak dahulu.

Selain sang Mayor, Agus Harimurti Yudhoyono, dalam kontestasi pemilihan kepala daerah di Ibukota diwarnai kehadiran mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, mungkin bisa menjadi salah satu calon yang cukup berpengalaman. Namun menurut penulis, tingkat ke-pakar-an beliau juga belum se-fantastis dibanding Professor Yusril Ihza Mahendra.

Dalam tulisan ini, Penulis tidak akan menyoroti kehadiran mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Namun hal yang lebih menarik untuk dibahas adalah pendamping-nya yakni seorang pengusaha, Sandiaga Uno, yang tergolong politikus "karbitan". Pengalaman politik beliau tentu belum teruji sama sekali.

Modal Popularitas dalam Kontestasi Pemilihan Umum

Untuk menelisik modal popularitas dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, selain Sandiaga Uno, memang ada beberapa orang-orang dengan tingkat popularitas tinggi yang berhasil menduduki jabatan kepala daerah, seperti Sigit Purnomo Syamsudin Said (atau akrab disapa Pasha-Ungu) sebagai Wakil Walikota Palu dan Rano Karno sebagai Gubernur Banten.

Beberapa contoh calon kepala daerah maupun kepala daerah tersebut diatas memberikan bukti konkret bahwa kontestan pemilihan umum (kepala daerah) di Indonesia masih mempertimbangkan tingkat popularitas seseorang lebih menjadi prioritas dalam pertimbangan pemilihan calon kepala daerah oleh pimpinan partai politik. Meskipun hal ini bukan merupakan suatu keharusan, namun hal ini turut mewarnai dunia politik dalam pemilihan umum.

Kenapa penulis mengambil kesimpulan bahwa tingkat popularitas tidak menjadi keharusan dalam kontestasi pemilihan umum? Hal ini tentu berkaca pada pengambilan keputusan mengusung calon kepala daerah di Ibukota. Proses verifikasi seolah menjadi cerita fiksi dalam pertemuan para penguasa partai politik. Lembaga survey yang “rajin” menguji tingkat elektabilitas masing-masing calon sama sekali tidak dipertimbangkan. Bukan-kah tingkat elektabilitas Professor Yusril Ihza Mahendra cukup meningkat menjelang pesta demokrasi di Ibukota? Adakah survey elektabilitas dilakukan untuk memutus pencalonan kepala daerah di Ibukota?

Hasrat Politik Menyingkirkan Poros Intelektual

Demi hasrah politik para pucuk pimpinan partai politik, dan atas nama "suara rakyat", kaum intelektual, seperti Professor Yusril Ihza Mahendra, harus menyingkir dan menjadi penonton kontestasi pesta demokrasi di Republik ini. Belum lagi hasrat politik segelintir "orang-orang ber-duit" yang siap menggelontorkan dana dalam jumlah fantastis demi menjadi seorang kepala daerah. Terkait fenomena ini, saya teringat dengan ucapan Bapak Anies Baswedan, yakni "undang dengan Rupiah, cara mudah mobilisasi massa".

Sebagai kesimpulan dari pendapat saya yang panjang ini adalah : Politik tidak memandang tingkat intelektualitas, namun hanya menimbang pamor dan hasrat pucuk pimpinan partai politik!!

#LombaEsaiPolitik