Dalam membangun hubungan rumah tangga, seorang pasangan suami istri perlu memahami apa saja yang diperlukan dalam membangun rumah tangga yang baik. Mulai dari kesiapan mental, kesiapan fisik, kesiapan psikologis hingga kesiapan ekonomi. Namun bagi sebagian pasangan baru menjelaskan bahwa menikah dan menemukan pasangan yang telah mapan dari segala sisi merupakan bonus, sehingga menikah dengan seseorang yang belum siap dalam salah satu sisi  dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk mempersiapkan kehidupan yang layak secara berdampingan.

Pemaknaan tentang menikah seperti di atas boleh diterima boleh ditolak dan menurut saya pandangan tersebut sah-sah saja. Sebab, menikah adalah sebuah jalan untuk menyempurnakan segala kekeurangan pasangan. Oleh sebab itu dalam rumah tangga perlu adanya pondasi yang kuat untuk melandasi kokohnya sebuah bangunan yang baik.  Di dalam Kitab Mamba’us Sa’addah karya Kiai Faqihuddin Abdul Khodir menjelaskan dalam membina rumah tangga seorang pasangan suami istri  harus memiliki pondasi-pondasi yang kuat, antara lain:

Pertama, menyiapkan generasi masa depan dengan ketakwaan kepada Allah Swt. Maksudnya ialah, apabila sebuah rumah tangga yang dibina dengan ketaqwaan kepada Allah yakni dengan mentaati segala perintahnya dan menjauhi larangannya maka kemungkinan besar bahwa keluarga tersebut akan mendapat keberkahan dan kemudahan dalam segala urusannya. Sebab keluarga yang seperti inilah keluarga yang diajarkan oleh Rasulullah. Hal ini juga digambarkan dalam surat An-Nisaa ayat 9 yang artinya ialah:

“ Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nissa: 9)

Dalam ayat ini, apabila dimaknai secara tekstual menjelaskan apabila seseorang takut meninggalkan keturunannya lemah dan terlantar maka dengan bertakwa kepada Allah dan berkata jujur menjadikan hidup lebih tenang. Sedangkan makna kontekstualnya ialah ayat ini diturunkan saat seseorang akan meninggal dan takut meninggalkan anaknya dalam keadaan yang lemah dan terlantar. Maka wajib baginya untuk meninggalkan dan memberikan wasiat kepada orang yang jelas perawatannya supaya menjaga anak dan hartanya dengan baik dan benar. Artinya ialah supaya seseorang dapat berhati-hati dalam menjaga anak yatim.

Hal ini apabila dihubungkan dengan point pertama tentang menyiapkan generasi yang takwa kepada Allah ialah dengan tidak menyianyiakan harta yang bukan miliknya. Artinya ialah memasrahkan segala urusan hanya kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya.

Kedua,dengan mu’asyarah bil ma’ruf dan nahyi ‘anil munkar salah satunya ialah dengan berkata  jujur dan eratnya komunikasi dengan anggota keluarga. Banyak pepatah mengatakan bahwa selain tindakan, perkataan yang jujur adalah sesuatu yang dapat dipegang dari diri seorang manusia. Oleh karena itu jika sebuah bangunan keluarga dipenuhi dengan kebohongan yang sifatnya negatif maka kokohnya bangunan keluarga tidak dapat dijamin akan bertahan lama. Maka dari itu dengan berkata jujur dapat meminimalisir adanya konflik rumah tangga.

Ketiga, membangun kebahagiaan dengan tidak intens pada keburukan seseorang. Kiai Faqih menjelaskan bahwasannya apabila seseorang yang banyak focus dan intens pada keburukan seseorang maka kemungkinan besar ia akan melupakan potensi kebaikan pada dirinya dan orang lain. Sebab hati yang sudah dipenuhi dengan perkara negatif maka perilaku seseorang akan terdampak dari hati yang sudah kotor. Oleh sebab membangun kebahagiaan, kenyaman keluarga harus dimulai dan membiasakan diri dengan berbuat baik serta meminimalisir prasangka buruk. Hal ini berhubungan dengan konsep mawaddah wa rohmah, seperti dalam tafsir QS. Ar-Ruum ayat 21 yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

Dalam menciptakan dan mengimplementasikan makna mawaddah wa rohmah pengertian yang diberikan oleh Kiai Faqih untuk meminimalisir prasangka buruk menjadi salah satu jalan guna terciptanya keluarga yang maslahah, sakinah, mawaddah wa rohmah. Seperti yang digambarkan pada bukunya Qiraah Mubaadalah  dengan sepasang sandal, yang artinya ialah seorang pasangan harus saling berdampingan, memberika masukan (komunikatif), intens untuk berjalan bersama dalam hal kebaikan.

Keempat, menghormati dan menyayangi pasangan. Hal ini berhubungan dengan konsep keadilan dan kesalingan dengan pasangan yakni dengan menghormati dan menyayangi pasangan serta berlaku adil terhadap keduanya. Kiai Husein Muhammad menjelaskan dalam pengantar Kitab Mambaus Saadah bahwa wujud menghormati ayat-ayat Allah salah satunya dengan mengormati dan menyayangi pasangan. Dengan menyayangi dan menghormati pasangan niscaya kehidupan rumah tangga akan dilimpahkan rasa nyaman dan tenteram di dalamnya.

Demikian adalah point-point penting yang harus dijadikan sebagai pondasi dalam membina rumah tangga menurut pandangan Kiai Faqihuddin Abdul Khodir. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Aaamiin