Pak Sardi memelihara beberapa ekor sapi dibelakang rumahnya. Tidak cukup banyak karena yang lainnya laku terjual. Tak heran sudah ada yang laku terjual dikarenakan telah mendekati hari besar umat islam, yakni Idul Adha. Bisa dikatakan usaha sapi Pak Sardi cukup sukses karena nyatanya masih ada yang laku terjual.
Terlebih lagi Pak Sardi sudah lama menggeluti bisnis ini. Kebetulan hari ini aku dimintai tolong Pak Sardi untuk menggantikan beliau menemui calon pembelinya yang berasal dari mantan ibukota Indonesia, Jakarta. Jauh-jauh dari Jakarta datang ke desa terpencil dan terpelosok dengan jalan ekstrem? Ya, wajar karena harga sapi Pak Sardi tergolong murah dengan kualitas sapi yang aduhai.
Pak Sardi sedang sibuk untuk survey kebun kopinya selama lima atau enam hari, jadi aku yang menjadi tumbal kebaikannya. Kebaikan? Ya karena calon pembelinya diamanahkan kepadaku. Singkat cerita calon pembeli Pak Sardi sudah setuju dengan harga yang ditawarkan Pak Sardi, jadi lima ekor sapi sudah terjual.
Sisa lima ekor sapi yang beruntung selamat melalui Idul Adha tahun ini, mungkin. Sungguh naas memang, kebahagiaan manusia mengorbankan nyawa seekor ternak yang tak berdosa. Atau memang sebenarnya semua hewan bebas dari segala dosa? Aku tak mau tahu, yang jelas aku lanjut mengabari Pak Sardi tentang sapinya yang telah laku lima ekor, Pak Sardi tak sepenuhnya senang karena beliau harus memberi komisi kepadaku.
Tentunya aku tidak meminta dan mengharapkan komisi. Jujur aku tidak… ah tapi bolehlah, itung-itung penglaris pikirku. Aku diutus menginap. Karena aku dapat komisi, otomatis aku menjadi penurut dan langsung melantik Pak Sardi menjadi bosku saat itu juga.
Aku juga disuruh mengawasi sapi-sapinya takutnya ada yang kabur, karena kata Pak Sardi, sapinya tergolong aneh. Setiap ada yang laku, sapi-sapi yang tak laku biasanya berusaha kabur. Mana mungkin kan. Ya omongan beliau masuk telinga kanan keluar telinga kanan, masuk pun tak sempat.
Malam pertama aman tak ada apa-apa. Tetapi pada malam kedua dan malam ketiga, mulai terjadi keanehan-keanehan dengan sapi pak sardi. Setiap jam 10.00 malam sapi pak sardi bersuara membelasut bersahut-sahutan seperti berbicara dengan satu sama lain. Nadanya pun naik turun. Aneh kan.
Pada malam keempat aku menengoknya sebentar sembari berbicara “Sudah malam jangan keras-keras kalo bicara. Bisik-bisik saja! “, godaku pada sapi-sapi Pak Sardi. Beginilah nasibku yang seorang bujang, sapi pun kugoda. “Mau bisik-bisik mau nggak ya manusia mana ngerti! Moooooo! “ “Ya, tapi tetap saja berisik, sudah waktunya tidur juga… Eh.. “, seketika aku sadar, aku berbicara dengan sapi?Waduh pikirku.
Sapi-sapi pun tiba-tiba juga terdiam tak bersuara lagi. Langsung saja aku menundukkan kepala dan perlahan membalikkan badan. Pura-pura tak terjadi apa-apa, aku beranjak kembali ke rumah Pak Sardi. Tiba-tiba terasa pundakku seperti ditepuk, aku berontak ingin kabur, tetapi ditahan oleh tangannya yang semakin kuat mencekram pundakku.
“Woi mas, kok malah lari ini saya Pak Darmiyin tetangga Pak Sardi, itu lupa perkakasnya jangan lupa di beresin sekalian digembok kandangnya. Jangan takut saya tadi yang ngomong. Walah, sudah gede kok ya takutan! “
“Oalah, Pak Darmiyin toh Pak Pak, saya pikir sapi jadi-jadian sampeyan. Kaget saya. Ya takut toh pak, masih bujang juga. Hwehehehe.“ “Ya sudah saya balik rumah dulu, ati-ati ya. Saya kesini mau cek sapi Pak Sardi saja, soalnya kalo ada yang laku sapi Pak Sardi suka ada yang kabur. Gembok ya. Di rangkap gemboknya kalo cuma satu kurang aman.
Dan aku tersadar, aku hanya membawa satu gembok. Gembok yang lain tertinggal di rumah Pak Sardi. Disitulah terjadi pergolakan antara diriku yang rajin dan diriku yang malas. Aku meratapi gembok yang kubawa, gemboknya cukup besar.
Dan kemalasanku berhasil menghasut diriku. Mana mungkin pula sapi-sapi Pak Sardi bisa kabur dengan gembok yang cukup besar dan kuat terpasang dikandang, ya meski hanya satu yang kupasang karena yang satu ketinggalan. Aku kembali ke rumah Pak Sardi. Sebelum tidur aku menunggu beberapa menit dengan kupingku yang siaga apabila ada suara-suara sapi Pak Sardi. Rupanya hening dan aku tertidur.
Geger. Aku yang setengah sadar dibangunkan oleh Pak Darmiyin yang paniknya setengah mati seperti dikejar anjing. “Gawat mas gawat. Sapi-sapi Pak Sardi mati mas!“. “Mati? “Aku langsung tersadar sepenuhnya. Aku mengambil kunci kandang lalu memegang tangan Pak Darmiyin bergegas lari menuju kandang hanya dengan mengenakan sekain kolor.
Dan benar saja. Sapi-sapi Pak Sardi dalam posisi tergeletak. “Waduhh“.. Aku mengajak Pak Darmiyin masuk kedalam kandang. Saat aku hendak menghitung jumlah sapi Pak Sardi, Tiga anak sapi dengan cepat lari keluar kandang dan berhasil kabur. Saat Pak Darmiyin hendak mengejar tiga anak sapi itu, sapi-sapi yang berada di kandang tiba-tiba bangun dan berdiri tegak menghalangi Pak Darmiyin.
Aku baru tahu ada tiga anak sapi, jadi semalam para sapi Pak Sardi melakukan rapat pembebasan sapi muda. Ya, aku menghela nafas sejenak. Dan sambil garuk-garuk kepala aku tercengang, rupanya sapi Pak Sardi bisa merencanakan politik seperti ini. Tinggal siap-siap sajalah aku mendapatkan omelan Pak Sardi