Belakangan ini, sejumlah lembaga survei meliris hasil survei untuk mendongkrak popularitas calon. Melalui angka-angka statistika, hasil survei seringkali digunakan lembaga survei untuk memanipulasi data demi kepentingan politik sesaat. Karenanya, survei sudah menjadi alat politik, bukan ilmu pengetahuan sosial yang mencerdaskan rakyat.

Memang, bagaimana caranya akan dilakukan para calon untuk bisa memenangkan Pilkada, termasuk melalui survei. Namun, sangat disayangkan jika survei yang awalnya digunakan untuk menjembatani suara rakyat, kini menjadi senjata ampuh untuk mendongkrak popularitas calon kepala daerah yang belum popular.

Cukup hanya dengan memainkan instrumen angka-angka statistika hasil survei tersebut dan mengumumkannya ke publik, nantinya masyarakat diharapkan tergiring oleh opini populis yang belum tentu kebenarannya. Atau, kalau pun benar angka-angka tersebut, pastinya sudah dimainkan dan difilter sedemikian rupa hanya untuk menaikkan popularitas pasangan yang menggunakan jasanya.

Fakta bahwasannya masyarakat itu cenderung percaya terhadap populisme dan kearifan yang dimilki warga negara biasa sangat berbanding terbalik dengan prinsip dari survei itu sendiri. Keterwakilan (representativeness) dan keilmiahan (scientificness) yang menjadi dua prinsip utama survei menurut Herbst menjadi ambigu jika kita hayati bersama.

Bagaimana masyarakat modern sekarang begitu percaya akan keilmiahan ilmu pengetahuan yang biasa dimiliki para ilmuan yang jumlahnya sedikit. Di sisi lain, masyarakat juga percaya pada populisme dan kearifan yang dimiliki warga negara biasa.

Tentu, ini menjadi bahan perenungan kita semua dalam menaggapi survei yang beredar selama ini. Bagaimana mungkin, antara survei satu dengan yang lainnya begitu kontras hasilnya. Atau benar adanya, jika pengumuman hasil survei elektabilitas oleh beberapa lembaga survei hanya pesanan semata dari para calon yang akan bertarung.

Lembaga Survei Nakal

Pada acara yang diselenggarakan oleh Indotrijaya Network sabtu kemarin, Hanta Yudha sebagai pengamat politik menemukan kejanggalan pada survei calon kepala daerah DKI Jakarta. Bahwasanya, Hanta menilai beberapa survei dijadikan alat propaganda demi kepentingan politik alias dipolitisasi.

Telah diketahui, beberapa waktu lalu tepatnya 4 hari setelah AHY-Sylvi mendaftarkan diri ke KPU 22 September, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengadakan survei elektabilitas para calon Pilkada DKI Jakarta 2017.

Hasil yang begitu mencengangkan dikeluarkan oleh LSI Denny JA dengan menyatakan Elektabilitas Ahok-Djarot menurun drastis menjadi 31.4% dan sebaliknya AHY-Sylvi memperoleh 19.3% dan Anies-Sandi sebanyak 21.1% yang berarti mengalami peningkatan.

Hasil yang dikeluarkan Denny JA tentu menimbulkan pertanyaan besar. Sebab, ketika itu AHY-Sylvi belum melakukan blusukan/kunjungan apapun ke kampung-kampung, namun hasil survei yang dikeluarkan begitu berbeda. Belum lagi, AHY-Sylvi juga belum memberikan program kerja kepada KPUD sebagai langkah-langkahnya ketika menjadi gubernur nanti.

Jika kita bandingkan, antara hasil survei LSI Denny JA dan Populi Center begitu bertolak belakang. Survei yang dilakukan Populi center dilakukan pada tanggal 6 Oktober melalui pertanyaan terbuka mengenai siapa tokoh yang paling layak dipilih untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta (elektabilitas top of mind).

Responden menjawab Ahok sebesar 40,8 persen, Anies Baswedan berada di posisi kedua dengan perolehan 17,3 persen, diikuti Agus Yudhoyono 12,5 persen, Sandiaga Uno dan Tri Rismaharini menyusul di posisi keempat dan kelima, masing-masing berada pada angka 1,5 persen dan 0,8 persen.

Bahkan, LSI Denny JA pada tanggal 31 Oktober sampai 5 November melakukan survei yang melibatkan 440 responden dengan hasil yang sangat aneh. Survei yang dilakukan sebelum penetapan Ahok sebagai tersangka membawa pasangan Ahok-Djarot hanya memperoleh 10.6% saja.

Yang lebih aneh dari survei ini adalah pertanyaan yang diberikan kepada responden perihal dukungan mereka apabila Ahok menjadi tersangka, yang jelas mempertanyakan sebelum sesuatu itu terjadi.

Tentu menjadi sesuatu yang mengherankan, sekelas lembaga survei LSI Denny JA yang menyatakan dirinya netral, namun dalam praktiknya lebih memihak kepada salah satu calon dengan memanfaatkan moment penting dalam melakukan survei.

Sehingga, hasil yang dikeluarkan akan menjadi timpang dari kenyataan pada umumnya. Hal ini juga memberikan penggiringan opini positif terhadap lawan politik Ahok, yang nantinya akan mendongkrak elektabilitas dan akan mempengaruhi sikap politiknya.

Survei yang dilakukan Denny JA selama ini lebih mengarah kepada konsultan salah satu calon saja bukan sebagai lembaga survei yang netral. Pasalnya, hasil survei yang dikeluarkan sering kali bertolak belakang dengan lembaga survei lainnya yang secara waktunya berdekatan atas dilakukannya survei tersebut.

Bisa kita lihat, hasil survei terbaru Polmark yang mengungguli Anies-Sandi ketimbang AHY-Sylvi yang dinilai LSI Denny JA mempunyai elektabilitas tertinggi. Lembaga Survei PT. GRP juga menempatkan AHY-Sylvi dengan angka elektabilitas sebesar 45%, berbeda dengan LSI Denny JA dan Poltracking Indonesia yang menempatkan AHY-Sylvi dikisaran 30% saja.

Seperti halnya LSI Denny JA, lembaga survei PT. GRP juga banyak dipertanyakan sejumlah pihak. Salah satunya menurut Deni adalah menstratifikasi 267 kelurahan menjadi 27. Ada tiga stages yang dilakukan GRP. Pertama yakni memilih kelurahan dari masing-masing kelompok, kemudian di setiap kelurahan dipilih kartu keluarga (KK), dan di setiap KK dipilih responden secara acak.

Dengan model seperti ini, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa kelurahan yang memiliki karakteristik mirip akan memiliki pola elektabilitas yang sama. Itulah alasan AHY-Sylvi unggul di banyak kelurahan. Jadi, wajar saja jika PT. GRP menempatkan AHY-Sylvi di angka yang begitu mencolok, yakni 45%.

Lembaga survei seharusnya lebih terbuka, transparan, dan berintegritas, baik selama prosesnya melakukan survei maupun pengumuman hasil survei tersebut. Karena, hasil survei ini nantinya akan menjadi konsumsi publik dan sebagai bahan pertimbangan oleh beberapa orang untuk dijadikan evaluasi.

Jadi, sangat tidak beradab jika beberapa lembega survei  hanya mementingkan kelompok tertentu saja demi mendongkrak popularitas pesanan semata. Para lembaga survei rela mengerdilan martabatnya sebagai lembaga survei independen sebagai lembaga yang beraliansi ke salah satu calon saja tanpa memperhitungkan nilai-nilai lembaga survei itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang sedang dihadapkan oleh beberapa lembaga survei nakal alias tidak independen dan lebih memihak ke salah satu pasangan saja, maka sikap kita harus berhati-hati dalam mengkonsumsi setiap hasil survei yang dikeluarkan. Karena, survei yang dikeluarkan selama ini hanya bertujuan penggiringan opini saja, bukan kepada hasil yang sebenarnya.

Ironisnya, banyak lembaga survei juga menjadi konsultan politik. Di sini, politisasi survei benar-benar terjadi, karena suvei dijadikan alat untuk memengaruhi publik.