Indonesia di tahun 2024 akan melaksanakan satu agenda besar sekaligus bersejarah dalam perjalanan demokrasinya, yakni pemilihan umum (pemilu) yang secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia. Ada pemilihan Presiden, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan atau Walikota). Pemilu adalah bagian dari amanat konstitusi negara yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum juga undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai dasar hukum dari pemilu serentak itu.
Pemilu pada prinsipnya merupakan suatu peristiwa politik yang di dalamnya terselip berbagai macam kepentingan dan juga dari situ nasib negara-bangsa akan ditentukan. Rakyat sebagai pengambil keputusan tertinggi dengan memberikan hak suaranya-dimana hak suara itu merupakan hak berpolitiknya selaku warga negara tidak diberikan secara cuma-cuma, tetapi ada keinginan atau harapan yang dititipkan.
Harapannya adalah melihat negara dan bangsa ini baik-baik saja, masa depan rakyat terjamin, dan Indonesia dapat menemukan kembali jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Tulisan ini pada prinsipnya merupakan upaya serius dalam rangka merespon kontestasi pemilu serentak yang jelas akan sangat membuang energi seluruh anak bangsa untuk menghadapinya. Saya secara pribadi akan menitik beratkan pada tiga hal yakni: Pertama, bagaimana kondisi perpolitikan kita yang terkesan terlalu pragmatis. Kedua, melihat seperti apa bentuk wajah partai politik di Indonesia terutama perannya. Ketiga, dinamika pemilu kita hingga dampaknya terhadap kehidupan demokratisasi di Indonesia.
Politik Pragmatis
Politik dengan segala urusannya selalu menjadi sesuatu yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Pada urusan politik inilah semua kebijakan dan keputusan yang menyangkut kepentingan negara beserta warga negaranya ditentukan. Pada konteks itu, politik menjadi barang mewah dalam negara demokrasi. Semua orang ingin terlibat di dalamnya – apalagi yang memiliki kepentingan. Berpolitik di Indonesia paling indentik dengan jabatan, kedudukan, dan uang. Kita lihat saja betapa begitu pragmatisnya politik di Indonesia.
Tan Malaka (1897-1949) dimasa-masa pasca kemerdekaan juga pernah mengkritik terlalu pragmatisnya situasi politik di lingkungan pemerintahan kita saat itu dalam buku Materialisme, Dialektika, dan Logika atau Madilog dengan mengatakan tidak pernah setuju kalau negara Indonesia ini mempunyai sistem politik pemerintahan “triaspolitika”. Karena pemerintahan hanya akan didominasi oleh eksekutif, sehingga akan lemah fungsi kontrolnya. Kemudian orang-orang yang punya jabatan dalam struktur pemerintahan itu hanyalah mereka yang kaya (kaum elit).
Hal yang sama diperkuat Amelia Haryanti & Yulita Pujilestari (2019) dalam “Sistem Politik di Indonesia”, bahwa di Indonesia, sebagian besar dari masyarakatnya masih menggunakan tingkatan-tingkatan untuk menunjukan kedudukan status sosial, begitupun dengan yang berlaku di sebagian masyarakat di Jawa. Mereka yang termasuk ke dalam status sosial yang lebih tinggi, akan lebih mudah untuk mendekati sumber kekuasaan. Penguasa seolah-olah memegang kendali atas pembagian jabatan-jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan. Pemegang kendali kekuasaan didominasi golongan bangsawan atau dengan kata lain elit politik.
Politik yang pragmatis adalah berpolitik yang sering unggulkan sesuatu yang bersifat materi dan selalu mengabaikan nilai (values). Pragmatisme dalam politik dapat menimbulkan politik memberlakukan hukum pasar dalam politik. Pada kondisi pragmatisme politik ini suplay dan demand menjadi andalan dalam setiap helatan politik.
Politik pragmatis akan sangat berdampak buruk dan punya banyak konsekuensi yang akan negara dan warga negara dapatkan. Sehingga akan sukar terjawab pertanyaan apakah negara akan maju, masyarakat akan sejahtera, atau generasi penerus bangsa akan mempunyai prospek masa depan? Itu menjadi urusan yang kedua bahkan yang paling terbelakang bagi pejabat/pemimpin yang lahir dari proses politik yang pragmatis itu. Harapan masyarakat untuk menghasilkan pejabat publik yang berjiwa negarawan, mungkin akan sulit tercapai dalam era pragmatisme dunia politik ini.
Pragmatisme dunia politik ini akan menggeser nilai-nilai yang berbasis rasional-ideal dari politik sebagai ilmu itu sendiri. Dunia politik pada akhirnya dipandang kotor, penuh intrik, tipu muslihat, dan hal negatif lainnya. Akibat dari semua realitas yang terjadi dengan terlalu pragmatis dunia politik di negara kita, maka akan ada cara pemaknaan yang berubah soal politik itu sendiri. Fenomena ini tidak mesti terjadi secara terus menerus, karena sekali lagi politik merupakan ilmu pengetahuan.
Sebagai ilmu pengetahuan, politik merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala politik dalam kehidupan masyarakat, dan tergolong dalam ilmu sosial. Menurut Franz Magnis Suseno, seorang cendekiawan dan guru besar filsafat berpendapat bahwa politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.
Wajah Parpol
Dalam ruang demokrasi terkhususnya berhubungan dengan aspek politik, maka partai politik (parpol) mempunyai peranan yang cukup penting. Parpol merupakan pilar bagi kokohnya kehidupan demokrasi sebuah negara. Parpol memiliki pengaruh dalam mengawal segala kebijakan negara – bahkan bisa turut serta untuk mengatur berbagai kebijakan itu. Hal ini di akibatkan karena pemerintahan kita (eksekutif dan legislatif) adalah semua lahir dari rekomendasi partai, bahkan anggota sekaligus kader parpol.
Pasca reformasi, politik menemukan dunianya kembali setelah terlepas dari sistem bernegara yang sangat otoritarian. Dimana semua orang sulit untuk menyalurkan hak dan aspirasi politiknya. Perkembangan hak dan aspirasi politik itu berpengaruh terhadap kemunculan partai-partai politik baru untuk mengeksistensikan diri dalam dinamika politik di Indonesia.
Semua sistem kehidupan kenegaraan ditata kembali setelah orde baru runtuh termasuk sistem kepartaian yang awalnya hanya tiga partai lewat fusi partai yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP menjadi banyak partai (multi partai). Terlihat dari jumlah parpol peserta pemilu pada tahun 1999 sebanyak 48 partai.
Karena sistem politik di Indonesia salah satunya adalah sistem politik kepartaian (multi partai). Bahwa siapapun yang akan terlibat dan ingin melibatkan diri sebagai penyelenggara negara (pemerintah) baik eksekutif maupun legislatif haruslah dengan menggunakan parpol.
Maka parpol menjadi salah satu syarat untuk siapapun terlibat langsung ke dunia politik secara praktis. Dalam sistem perpolitikan kita di Indonesia, parpol menjadi bagian dari harapan publik sebagai perahu yang akan digunakan untuk mewakili suara dan aspirasi kepentingan rakyat setiap kontestasi politik diselenggarakan.
Oleh sebab itu, parpol harus hadir sebagai parpol yang punya konsistensi, kapasitas, dan fungsi kontrol yang baik dan benar bagi keberlangsungan proses demokratisasi kita serta punya peranan penting untuk mengamankan kepentingan rakyat. Di era perpolitikan sekarang ini, kita sulit menemukan peranan parpol semacam itu. Hal demikian yang membuat tingkat kepercayaan publik terhadap keberadaan parpol berkurang.
Kehidupan kepartaian di Indonesia sejak awal reformasi sampai saat ini belum mencerminkan sebagai sebuah wadah aspirasi bagi kelompok masyarakat yang lebih besar. sehingga perilaku para tokoh-tokoh politik lebih kepada pragmatisme politik belaka. Kondisi ini sangat jauh berbeda kalau kita mereview ulang perjalanan parpol-parpol dalam dinamika perpolitikan di zaman pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia.
Dimana parpol-parpol pada saat itu hadir dengan berbagai bentuk perjuangan masing-masing, paham dan ideologi kuat, sangat terorganisir, dengan tujuan yang sama yakni untuk kepentingan negara dan membela hak-hak rakyat, serta para kader partai maupun pimpinannya punya komitmen kebangsaan yang kuat. Karena hampir seluruh kader partai paham betul kondisi negara, suka membaca, dan sering berdiskusi persoalan kebangsaan.
Mereka adalah penggerak bagi kehidupan, rakyat, bangsa dan negara. Tidak sama dengan parpol dan para politisi hari-hari ini yang hanya sibuk mementingkan kekayaan, kedudukan, dan kepentingan pribadi.
Terkait dengan kemunduran parpol di Indonesia, Asra Oktaviandi (2016) dengan penjelasan yang sangat detail melihat gejala ini terjadi karena. Pertama, ideologi partai politik yang kabur, sehingga tujuan dari partai tersebut menjadi kabur. Kedua, ideologi partai tidak mampu menghayati kehidupan para kader partai. Ketiga, politik dinasti oleh partai politik, sehingga partai politik identik dengan keluarga tertentu. Sehingga pendidikan politik oleh partai politik tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Keempat, pola pengambilan keputusan partai politik sentralistik, semua keputusan-keputusan penting ditentukan oleh ketua umum. Kondisi ini menyebabkan partai cenderung lambat dalam mengambil keputusan dan tentunya kontraproduktif.
Paradoks dalam kehidupan parpol semacam itu dapat diatasi apabila parpol mampu bisa berperan, berfungsi sebagamana mestinya. Thomas Meyer (2012) dalam bukunya Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, berpendapat tentang fungsi dasar dari sebuah partai politik (parpol) adalah untuk mengagregasikan kepentingan masyarakat, mengarahkannya pada kepentingan bersama, dan merancangnya dalam bentuk legislasi dan kebijakan, sehingga menjadi sebuah agenda yang bisa mendapatkan dukungan rakyat di saat pemilihan umum. Parpol merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi modern. Tantangannya adalah bagaimana cara mengatur parpol dan membuat mereka berfungsi secara demokratis.
Selain itu, bagi saya parpol itu harus memainkan perannya sebagai wadah/organisasi politik yang antara lain: Pertama, Pro Rakyat. Rakyat harus dijadikan sebagai tujuan awal dan akhir dari segala kepentingan politik yang dperjuangkan partai, paham betul kondisi dan kemauan rakyat.
Kedua, Mengedukasi. Parpol mesti berperan aktif untuk selalu memberikan edukasi ke masyarakat. Terutama edukasi politik.
Ketiga, Berideologi. Kerja-kerja partai bagi saya sebuah perjuangan untuk memperjuangkan kepentingan bersama, olehnya itu sebuah perjuangan landasannya adalah memiliki ideologi yang kuat, jelas, dan revolusioner.
Keempat, sebagai rahim untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berkarakter, berjiwa negarawan, dan punya kekuatan untuk melawan oligarki. Kelima, Kontroling. Bahwa semua perwakilan rakyat (legislatif) maupun pemerintahan (eksekutif) yang posisinya sebagai penyelenggara negara adalah delegasi parpol, jadi setiap tindakan/kinerja mereka harus dikontrol maupun diawasi oleh parpol.
Pemilu Kita
Pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Termasuk di Indonesia. Bahwa tiada demokrasi sejati tanpa adanya proses pemilu. Karena pada pemilu kita akan merasakan konsep dasar demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat itu diaktualisasikan.
Pemilihan umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan. Kekuasaan negara yang lahir dengan pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan umum bertujuan untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat (Waridah, dkk, 2003: 7).
Perjalanan panjang pemilu di Indonesia sudah beberapa kali dilakukan, dari masa pemerintahan Orde Lama, di masa Orde Baru, masa Reformasi hingga sekarang. Namun dalam proses pemilu itu hanya memilih parpol untuk mewakili rakyat di parlemen, sementara Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota MPR. Pasca reformasi baru proses pemilu dilakukan secara langsung yang melibatkan warga negara untuk memilih.
Pelaksanaan pemilu tepatnya di tahun 2004 muncul dengan sistemnya yang sangat berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya yakni secara langsung. Sistem baru ini berlangsung dengan dibentuknya penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai bagian dari agenda reformasi. Bentuk pemerintahan kitapun menjadi pemerintahan yang demokratik yang lahir atas kehendak rakyat.
Pemilu dan demokrasi menjadi dua hal yang saling berpengaruh, dimana proses pemilu kemudian menjadi ukuran terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Jika lihat situasi dan kondisi pemilu kita yang berlangsung selama ini di era reformasi (antitesis orde baru) bahwa pemilunya sangat diwarnai dengan pragmatisme-politik praktis yakni terlalu mahalnya omgkos pemilu yang harus dibayar. Ini menyebabkan politik berbasis nilai tergeser.
Adapula hal-hal lain yang bagi saya itu tidaklah etis ketika pemilu selalu ada kasus kuatnya arus politik uang (Money politic), politik identitas, sampai perpecahan (konflik) sesama anak bangsa. Ini juga sangat menggeser kontestasi pemilu dengan berdasar kekuatan ide dan wacana-wacana yang paradigmatik.
Dan, kita sebagai rakyat akan bingung bahwa sebenarnya pemilu ini untuk siapa? Hanya sebagai ajang menggantikan pemimpin dan wakil rakyat saja. Tidak lebih dari itu. Pasca pemilu tidak ada dampak signifikan yang rakyat rasa maupun lihat. Persoalan kesejahteraan, keadilan, penguatan sumber daya, pemulihan ekonomi bangsa, dan lain sebagainya jauh dari panggang. Dari fenomena yang buruk ini dalam pemilu kita yang membuat proses demokratisasi sangat tidak berkualitas.