Suatu kali, Bung Karno, Bapak Pendiri Bangsa ini, sang proklamator ulung, berdialog dengan Amir Machmud, salah seorang arsitek Orde Baru  dari kalangan militer tentang orang besar dan politik, dialog tersebut bisa kita baca dalam otobiografi Amir Machmud. 

”Mir, apakah kamu mau menjadi orang besar, “ tanya Bung Karno.

“Tentu Pakk, “jawab Pak Amir. Akan tetapi saya tidak tahu bagaimana menjadi orang besar, “ Tambahnya.

“Kamu harus berpolitik, “jawab Bung Karno.”Politik itu apa pak, “ Tanya Pak Amir.

“Politik itu adalah kamu harus berani menaruh buah fikiranmu di atas meja. Itu adalah Tesis. Lalu, orang akan mengkritik buah fikiranmu itu. dan itu adalah Antitesis. Kemudian, dari pembenturan antara pendapatmu dengan pendapat orang lain itu (tesis dan antitesis), maka akan muncul suatu pemikiran yang lebih baik. Itulah yang dinamakan sintesis.  

Sintesis itulah yang kemudian harus kamu laksanakan. Jadi, bagaimana kamu harus berani dan bersedia untuk lebih dulu mengemukakan fikiranmu dan bersedia pula untuk dikritik oleh siapapun. Akan tetapi, untuk melakukan itu kamu harus kuat Mir. “tegas Bung Karno. Kuat dalam iman, fikiran dan siap dicai-maki oleh orang lain. “tambahnya.

Dari dialog itu, apakah kemudian bapak Amir Machmud menjadi orang besar? Menurut R.Z. Leirissa, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), dalam tulisannya, Buldoser Di Panggung Orde Baru: Biografi Politik Amir Machmud, ternyata, didapatkan bahwa jawabannya adalah tidak. Karena Amir Macmud menjadi orang besar bukan karena berpolitik, walaupun tidak bisa dikatakan buta akan politik.

Karena militer pada waktu itu tidak bisa dipisahkan dari politik. Beliau adalah seorang prajurit pejuang. Adapun jabatan Mentri Dalam Negeri sebagai jabatan politik yang dipegangnya, tidak bisa dikatakan karena telah mengikuti saran Bung Karno dalam mengartikan politik, yaitu berusaha untuk menciptakan dialektika yang berupa ide-ide untuk sampai pada gagasan yang terbaik dan dapat dilaksanakan. 

Dapat kita katakan bahwa Bung Karno adalah seorang idealis, seorang intelektual, dan seorang yang merumuskan ideologi Marhaenisme. Sementara itu, Amir Machmud adalah seorang realis dan berpolitik  hanya karena rumusan  Dwifungsi ABRI yang dirumuskan oleh petingginya, Soeharto.

Namun demikian, bukan berarti jabatan Menteri Dalam Negeri yang pernah dipegangnya dulu, tidak memberikan manfaat atau pengaruh apa apa terhadap sistem kenegaraan kita. Beliau telah melakukan manuver manuver politik atau terobosan-terobosan politik yang cukup penting. 

Pada zamannya, beliau telah cukup berjasa dalam membangun suatu birokrasi yang cukup tangguh, sehingga beliau sangat pantas untuk dijuluki Buldoser. Namun tentunya, untuk menuju suatu tatanan yang lebih demokratis dan transparan, koreksian-koreksian terhadap sistembirokrasi kenegaraan yang telah beliau bangun, harus dikritik secarah menyeluruh dan mendalam. (Baca: Seri Penerbitan Politik UI, Menimbang Masa Depan Orde Baru, (Bandung:Mizan, 1998, hal. 149-169)

Jadi, tidak mesti orang besar itu lahir karena dia berpolitik. Tidak berpolitik pun (dalam artian berpolitik praktis), seseorang itu bisa juga menjadi orang besar. Toh, orang yang mengerti politik itu tidak harus berpolitik praktis. Malah, tidak sedikit orang yang berpolitik praktis, tetapi tidak terlalu mengerti tentang politik jika tidak mengatakan hanya sok ngerti politik. Apakah orang seperti ini yang akan menjadi besar? Tentu Tidak.

Pandangan Bung Karno yang menyatakan bahwa dengan berpolitiklah seseorang itu akan menjadi besar adalah barangkali karena kondisi zaman pada masa itu. bahwa politik pada waktu itu adalah panglima. Politik diartikan orang adalah segala galanya. Tidak ada yang dapat dilakukan tanpa politik, semua selalu dikaitkan dengan politik atau dipolitisasi habis-habisan tanpa secuil pun rasa malu.

Namun sekarang, pandangan seperti itu tentu tidak bisa dibenarkan. Dalam sebuah negara yang demokratis, seluruh sistem menjadi sangat penting. Apakah itu sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, Pendidikan, olahraga, agama, dan sebagainya, sama pentingnya. Tidak ada yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

Dengan demikian, siapa saja bisa menjadi orang besar kalu dia mau sungguh sungguh dan memiliki konsistensi yang berkelanjutan.  Seseorang itu bisa saja menjadi orang besar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, Pendidikan, olahraga, agama dan sebagainya. 

Dan yang Namanya orang besar itu tidak melulu hanya di bidang politik saja, tetapi juga di bidang -bidang lainnya. Bahkan, di negara negara maju tokoh politik telah kalah pamor dan kalah uang daripada tokoh olahraga dan para bintang film (selebritis).

Sejarawan Kuntowijoyo mengatakan bahwa politik itu hanya jangka pendek saja, yang jangka panjang adalah justru kebudayaan.  Politik hanya bermain di permukaan dan tidak pernah menggerakan arus utama dalam sejarah. 

Masih menurut Bung Karno, bahwa orang besar itu lahir karena dia berani dan bersedia mengemukakan ide fikiran-fikirannya terlebih dulu dan kemudian bersedia pula untuk dikoreksi dan dikritik, kendatipun harus menerima berbagai macam bentuk hujatan dan caci maki. Akan tetapi, dia akan kuat dalam iman dan pikiran.

Seseorang itu tidak akan menjadi besar kalau dia tidak berani dan bersedia mengemukakan fikiran-fikirannya. Karena pada tahap itu, dia tidak akan bisa dikenal oleh orang lain dan sekaligus tidak akan mendapat masukan masukan dari orang lain.

Kalaupun dia berani mengemukakan fikiran-fikirannya, namun tidak mau dikritik dan dikoreksi, apalagi dihujat dan dicaci-maki, maka dia pun tidak akan bisa menjadi orang besar. Sebab, pada tahap itu, dia bukanlah orang yang kuat dalam iman dan fikirannya. Dan orang besar itu harus kuat dalam situasi apapun. Dan Bung Karno telah membuktikan hal itu dalam perjalanan hidupnya terlepas dari kelebihan dan kekurangannya.

Pada era keterbukaan saat ini, biarlah orang orang besar di negeri ini lahir karena pemikiran pemikirannya yang telah tahan uji dan diuji terus menerus, keimanannya yang telah berbuah dan berminyak, dan kerja kerasnya yang konsisten dan terbukti dalam sejarah.