Di Indonesia kacamata politik di kalangan masyarakat cenderung negatif dan buruk, anak-anak muda pun apatis terlibat dalam panggung politik secara sehat, hal ini disebabkan kedangkalan karakter para politisi yang lemah ideologi politik dan kerakusan nafsu membawa politik ke jalan kerikil dan berduri. Politik agung dan beradab berubah menjadi politik yang tak beradab.

Padahal politik merupakan suatu keniscayaan, demikian diungkapkan filsuf Andre Comte. Kita membutuhkan politik supaya konflik kepentingan dapat diselesaikan tanpa kekerasan, perlu membentuk negara bukan karena semua orang baik dan adil, justru karena mereka tidak seperti yang diharapkan. Mau tak mau, suka tak suka politik merupakan tatanan kehidupan.

Menyambut tahun politik 2024 dengan damai, menggunakan akal sehat, dan demokrasi gagasan kita harus melihatnya bahwa politik merupakan jalan agung dalam tatanan kehidupan manusia, membawa nilai-nilai luhur yang beradab. Buku genre sosial-politik dengan judul Politik Muka Ganda: Peran Parpol Menegakkan Peradaban Politik hadir di tengah-tengah situasi politik yang membutuhkan asupan gizi bagi pelaku politik, partai politik dan politisi.

Buku karya Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dua periode di era Presiden Joko Widodo ini menerangkan bahwa politisi sekarang bergerak dengan kendali keuntungan pribadi, siapa yang kuat didekati, yang sedang berkuasa seakan menjadi saudara. Setelah kekuasaan luntur ramai-ramai ditinggalkan, persaudaraan pun usang. Inilah yang menjadi sebab runtuhnya peradaban politik.

Berpolitik tanpa fatsun, tanpa dasar ideologi yang kuat. Orang-orang inilah yang mencoret noda dalam politik. Padahal kata Yasonna politik masa dulu di Indonesia merupakan sebuah keajaiban karena politik era dulu berpolitik dengan dasar ideologi yang kuat. Dari itu, Indonesia ini bisa bersatu dan berdiri dengan latar belakang perbedaan suku dan bahasa karena ideologi yang kuat.

Bung Karno misalnya seorang pemikir yang melahirkan ide-ide cemerlang, konsep pemikirannya digaungkan hingga dewasa ini terutama bagi intelektual progressif-inklusif. Begitu juga dengan Buya Hamka, ulama dan pujangga ini menampilkan corak pemikiran yang menyentuh dan kuat dengan aroma sastra.

Berbeda pandangan secara politik, dua tokoh ini saling menghormati. Terutama Bung Karno menghormati keulamaan Buya Hamka. Dua pahlawan nasional yang namanya tetap hidup berada dalam keyakinan ideologinya masing-masing, tak runtuh dan tak goyah oleh keadaan.

Perbedaan hari ini jauh dengan yang ditampilkan oleh para pendahulu bangsa Indonesia, hari ini yang ditampilkan adalah politik kepentingan, kedangkalan alam pikiran ideologi, politik bandit, kehidupan hedonis-pragmatis menjadikan etika tak lagi bernilai, ide-ide cemerlang kalah dengan retorika indah yang pandai menjilat atasan untuk mengamankan jabatan dan kedudukan.

Selain itu juga perbedaan politik membuat hubungan anak bangsa menjadi dua arus yang saling membenci dan bermusuhan satu sama lain, merasa paling benar dan hebat menyebabkan praktik-praktik politik menjadi arogan. Politik tak lagi menjadi jalan agung dalam memperbaiki tatanan kehidupan umat manusia, sebaliknya menjadi noda hitam yang menyakitkan bagi anak bangsa.

Pemilu 2014 dan 2019 terjadi polarisasi politik yang sangat nyata, masyarakat menjadi korban atas keganasan partai dan politisi. Politik pun tak lagi berwajah satu, tapi politik berwajah ganda yang menampilkan politik kebengisan. Politik tak lagi menyenangkan bagi masyarakat, yang ada kesenangan bagi politisi. Pesta politik tak ubahnya seperti pesta smackdown genre melodrama.

Buku Politik Muka Ganda (2022:18) mencantumkan pendapat beberapa pemikir tentang politik, di antaranya ada Max Webber yang menyampaikan bahwa politik merupakan tugas jabatan dan panggilan hidup. Jika politik digunakan dengan baik, memakmurkan negara dan kesejahteraan orang banyak, keagungan politik tercapai dan menghilangkan adagium politik itu busuk, ruang yang berlumur kebengisan.

Berpolitik dengan cara yang tidak baik, politisi hanya akan menjadi apa yang dikatakan Aldous Huxly sebagai pedagang politik, di mana yang dipentingkan adalah keuntungan pribadi.

Dari itu, harus disadari dan direnungkan bersama-sama bahwa dalam politik hal paling urgen yang dibutuhkan adalah kedewasaan dan kematangan diri agar politik berjalan dan digunakan dengan cara-cara yang baik, terutama ketika pesta politik berlangsung (pemilihan legislatif dan eksekutif) dengan hasil siap kalah dan siap menang.

Berpolitik tanpa kematangan diri terjadi ‘perang semua melawan semua’ demikian ungkapan Thomas Hobbes (2022:10). Dalam politik perlu kematangan diri, siap menang dan siap kalah harus terpatri dalam jiwa dan perilaku para politisi tanpa itu yang ada kesewenang-wenangan. Sebaliknya politik dengan kematangan, maka politik seperti yang dikatakan Plato sejatinya politik itu agung dan mulia yang dapat dijadikan sebagai wahana membangun masyarakat utama.

Seperti yang penulis sampaikan di atas bahwa politik suatu keniscayaan. Sekotor apapun politik, ia tetap berjalan dan dipraktikkan dalam mengatur tatanan masyarakat. Politik harus ditampilkan dengan cara yang baik dan beradab kepada masyarakat, terutama partai politik dan politisi dalam menegakkan peradaban politik sebagai aktor utama dalam permainan politik.

Pesta politik 2024 pemilihan legislatif dan eksekutif segera tiba, tentunya dalam agenda tersebut diperlukan kematangan berpolitik dan literasi politik yang luas. Partai politik dan politisi pun merupakan garda terdepan mengembalikan peradaban politik yang beradab sehingga tak lagi menampilkan politik-politik muka ganda sehingga pesta politik bisa dinikmati dengan seni indah.

Sebagai asupan gizi dalam membangun peradaban politik yang beradab, buku karya Yasonna H. Laoly ini layak dibaca bagi kita semua, terutama dan paling utama untuk aktor politik.

.

Info Buku :

Judul Buku: Politik Muka Ganda: Peran Parpol Menegakkan Peradaban Politik

Penulis: Yasonna H. Laoly

Editor: A. Fathoni

Genre: Politik/Sosial

Penerbit: Alvabet

Cetakan:  I, Maret 2022

Tebal: 368 halaman