Tulisan ini sengaja saya buat setelah selesai menyaksikan acara debat kandidat pertama Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang diselenggarakan oleh KPU Jawa Barat dan disiarkan secara langsung oleh Kompas TV. Acara debat kandidat yang dimoderatori oleh Rosianna Silalahi di Gedung Sabuga Kota Bandung itu berlangsung cukup hangat sekaligus “meneduhkan”.

Selama ini, debat kandidat calon pemimpin selalu berlangsung secara menegangkan, lebih-lebih bagi pendukung masing-masing paslon. Selepas debat kandidat akan bermunculan pelbagai statement dari masing-masing pendukung, khususnya di dunia maya. Mereka saling sindir, saling menjelekkan, terkadang secara terang-terangan “menghina” paslon lain.

Akibatnya, perbedaan semakin menjadi jelas dan permusuhan pun sulit terelakkan. Inilah sebenarnya cikal-bakal konflik horizontal secara berkepanjangan dan tentunya sangat mengkhawatirkan. Bahkan menyebabkan banyak orang berusaha menghindar dari segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan politik.

Perlu kita sepakati bahwasanya demokratisasi yang baik itu tidak melulu menuntut pada hasil yang diinginkan, akan tetapi juga mengharapkan terjadinya proses yang berkualitas. Intinya, setiap tahapan dan proses pelaksanaan suksesi kepemimpinan harus menyertakan pendidikan politik bagi masyarakat.  

Tulisan ini akan membahas tentang konsep penyelenggaraan debat kandidat. Pelaksanaan debat kandidat merupakan tahapan penyelenggaraan pilkada yang wajib dilaksanakan oleh seluruh KPU dan diikuti oleh masing-masing Paslon di daerah yang melaksanakan pilkada serentak tahun 2018. 

KPU Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kompas TV menurut hemat saya telah berhasil berinovasi sekaligus menyuguhkan kepada publik bahwa politik itu tidak selalu “serius” dan pasti “menegangkan”.

Buktinya, dari beberapa sesi yang telah disiapkan untuk mengupas secara tuntas visi-misi masing-masing paslon, ada satu sesi yang cukup menghibur sekaligus cukup meneduhkan. Yaitu satu sesi sebelum acara debat kandidat ditutup yang menampilkan kreativitas dari masing-masing paslon.

Sesi ini ternyata sangat menghibur dan membuat suasana menjadi “adem”. Pada sesi sebelumnya, mereka memang saling adu argumen dan ngotot bahwa programnya yang terbaik. Akan tetapi suasana tersebut hanya berlangsung singkat.

Bayangkan saja, di atas panggung yang jelas-jelas adalah tempat untuk adu argumen sekaligus unjuk kebolehan dalam rangka merebut simpati masyarakat Jawa Barat itu, nyatanya mereka mampu terlihat sangat “cair” dan bersahabat satu sama lain. Ketika salah satu paslon tampil dengan kreativitas yang telah disiapkan, paslon yang lain cukup menikmati dan bahkan ikut bergabung dalam suasana tersebut.

Selain pemandangan yang cukup nyaman dilihat, tentunya kreativitas masing-masing paslon juga secara tidak langsung turut membantu mempromosikan kebudayaan nusantara, khususnya kebudayaan lokal daerah Jawa Barat.

Pada fase ini, menurut hemat saya, KPU Provinsi Jawa Barat cukup berhasil mematahkan stigma masyarakat, lebih-lebih para pengamat politik yang selalu menyampaikan pernyataan di pelbagai program televisi bahwa pilkada kerap menjadikan suhu politik memanas. Ternyata tidak sepenuhnya demikian.

Sekali lagi, ini jauh dari persepsi saya pribadi maupun (mungkin) pembaca yang menduga bahwa debat kandidat akan selalu mempertontonkan hal-hal yang membosankan sekaligus pasti akan memicu pendukung untuk semakin larut dalam fanatisme buta terhadap paslon yang mereka dukung. Aggapan itu salah besar.

Kita tahu bahwa penampilan yang bersahabat dari masing-masing paslon pada acara debat kandidat tersebut tentunya sangat berkaitan dengan konsep acara yang dirumuskan oleh panitia, dalam hal ini KPU Provinsi Jawa Barat.

Sebuah apreseasi memang patut kita sampaikan, karena acara debat kandidat dengan tema besar mengenai hukum, ekonomi, Pemerintahan Daerah dan infrastruktur itu berhasil dirumuskan dan terealisasi dengan konsep sedikit berbeda dari biasanya.

Terlepas dari apa yang disampaikan masing-masing paslon, secara substantif pembedahan visi-misi dan adu program sudah berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada. Bahkan nilai plusnya, debat kandidat yang selalu identik dengan adu argumen antara paslon satu dengan yang lainnya, tetapi pada debat kandidat paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tersebut ternyata juga menjadi panggung hiburan.

Seoalah-olah ada pertunjukkan kesenian yang dapat mencairkan suasana antara satu sama lain. Tertawa lepas bukan untuk saling mengejek dan menjatuhkan, akan tetapi tertawa lepas karena mereka saling terhibur menikmati penampilan yang satu dengan yang lainnya.

Perlu diingat bahwa ini bukanlah pertunjukan Opera Van Java dan juga bukan acara Pesbukers, tetapi ini nyata adalah acara resmi debat kandidat Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang merupakan bagian dari agenda politik. Ya, agenda politik yang selama ini selalu dianggap sebagai sesuatu yang membosankan.

Harapan masyarakat Indonesia khususnya di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten yang akan melaksanakan pesta demokrasi serentak tahun 2018, juga menunggu kreativitas dan inovasi dari masing-masing KPU daerah untuk mempersiapkan dan menampilkan konsep acara debat kandidat maupun tahapan pilkada serentak lainnya yang lebih menghibur dengan tanpa mengurangi substansi (sosialisasi) yang ingin dicapai.

Faktanya memang kompetisi politik ini cukup melelahkan dan cenderung “memanas”, jadi tidak ada salahnya jika diatur dengan konsep yang lebih santai dan bersahabat. Tujuannya adalah agar demokratisasi berjalan semakin renyah dan nyaman sehingga pada akhirnya juga akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu mewujudkan kemajuan sesuai yang diharapkan masyarakat.

Selanjutnya satu hal yang sangat penting adalah dengan cara dan konsep yang menghibur ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih khususnya mereka yang memiliki sikap acuh tak acuh terhadap politik, dan pada akhirnya akan memperkuat legitimasi kepemimpinan paslon dalam menjalankan program kerja ketika mereka terpilih.

Kita masih dapat percaya bahwa politik itu masih memungkinkan untuk menghibur, tergantung bagaimana menyikapi dan berinovasi dalam menggerakkan sistem yang ada. Politik tidak harus melulu soal propaganda, kekuasaan dan urusan menang kalah, akan tetapi perlu kiranya mengikuti saran mbah Sujiwo Tejo agar politik diimbangi dengan berpuisi, berpantun ria bahkan juga ngelawak.

Mudah-mudahan hal-hal positif ini akan menjadi cikal bakal lahirnya politik garis lucu. Lantas apakah politik garis lucu ini benar-benar dapat menghibur? Kita lihat saja.