Setiap kali saya membuka aplikasi Youtube di Smartphone saya, kolom beranda selalu dipenuhi dengan berita-berita internasional. Kebanyakan beritanya mengenai konflik, mulai dari presiden Xi Jinping yang selalu adu mulut dengan Joe Biden soal Taiwan, perseteruan Korea Utara dengan Korea Selatan, belum lagi soal nuklir Iran, di Asia soal Klaim Laut China Selatan, konflik Israel-Palestina yang tak kunjung selesai sampai saat ini, dan baru-baru ini soal invasi Rusia ke Ukraina.

Beberapa minggu yang lalu, konten berita dari VIVACOID berjudul "Aviv Kochavi: Siap Serang Republik Iran". Di kolom deskripsi, VIVA menulis "Panglima Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Letnan Jenderal (Rav Aluf) Aviv Kochavi, secara lantang mengatakan negaranya siap menyerang Republik Islam Iran. Sasarannya jelas, menggagalkan ambisi Iran mendapatkan senjata nuklir", 21 Juli 2022.

Kemarin, Narasi Newsroom memberikan judul beritanya tentang pernyataan Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara yang kontroversi "Kim Jong Un Siap Perang Nuklir", 30 Juli 2022.

Di hari yang sama, CNBC Indonesia memberikan juga judul beritanya "Xi Jinping Memberikan Peringatan Keras ke Biden Soal Taiwan", 30 Juli 2022. Pernyataan Presiden China ini sebagai respon atas Nancy Pelosy, Ketua DPR Amerika Serikat, yang mau berkunjung ke Taiwan.

Judul-judul berita di atas memang sedikit berlebihan, dan Anda mungkin berpikir sama dengan saya bahwa judul berita di atas sengaja dilebihkan karena tujuan komersial, atau mungkin judul seperti itu adalah hal yang lumrah dalam sebuah wacana politik global, tapi Anda dan saya juga kemungkinan tidak mempunyai argumen yang mampu menjamin bahwa "semua akan baik-baik saja".

Tidak menutup kemungkinan konflik-konflik yang awalnya cuman adu-mulut, berakhir dengan adu militer seperti Rusia-Ukraina. Bisa jadi, China akan menginvasi Taiwan jika Taiwan memang betul-betul lepas dari China. 

Konflik Rusia-Ukraina dan Solusi Perdamaian Yang Tak Terelakan

Jujur saja, saya pesimis tentang perdamaian. Sejarah peperangan, sayangnya tidak seperti pertandingan Sepak Bola yang terkadang hasilnya seimbang. Peperangan antar negara selalu berakhir dengan kekalahan atau kemenangan.

Perang dunia pertama misalkan, karena katidakmampuan Jerman menghadapi blok sekutu, akhirnya meminta gencatan senjata kepada Woordow Wilson, Presiden Amerika waktu itu. Maka muncullah perjanjian Versailles yang isinya "rasa malu Jerman" karena harus menanggung semua syarat yang diminta blok sekutu. Sejarah kemudian mencatat yang memenangkan Perang ialah blok sekutu yang anggotanya Amerika, Rusia, Prancis, Britania Raya dan lain lain. Sementara yang kalah adalah blok sentral yang Anggotanya Kekaisaran Jerman, Kesultanan Utsmaniyah, Bulgaria dan Austria-Hungaria.

Perang Dunia ke 2 pun demikian, yang memenangkan "medali emas" waktu itu adalah blok sekutu yang anggotanya Uni Soviet, Amerika Serikat, Imperium Britania, Tiongkok dan lain-lain. Sementara yang kalah adalah blok poros, yang anggotanya adalah Jerman, Kekaisaran Jepang, Italia dan lain-lain.

Atau sejarah penjajahan negara kita sendiri, apakah waktu itu kita mau berbagi lahan tempat kita berpijak dengan negara penjajah seperti Jepang, Belanda, dan Portugis? Tentu tidak, kita mau kita menang, dan penjajah keluar dari negara kita.

Dalam konflik Rusia dan Ukraina saat ini jauh dari kata resolusi maupun rekonsiliasi. Berita-berita yang tersebar di berbagai media online, tidak ada yang berkesan damai, yang ada hanya kecaman dari pimpinan negara-negara Eropa untuk Rusia. Saling menjatuhkan sanksi satu sama lain. 

Apa yang diharapkan dari pertengkaran ini? perdamaian kah? ataukah biarkan saja pertengkaran ini terus berlanjut sampai salah satu pihak kalah? Pilihan ini memang sangat sulit, namun solusi untuk membiarkan pertengkaran antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut, bagi saya merupakan solusi yang rasional. 

Sejarah peperangan yang sudah dijelaskan di atas adalah contoh bagus. Perdamaian selalu datang ketika salah satu pihak mengakui kekalahan. Setelah itu, walaupun berat, baru muncul pembangunan yang sesuai dengan keinginan si Pemenang.

Para pemimpin politik sebaiknya tidak menghabiskan dana ataupun tenaga hanya untuk mengkampanyekan perdamaian seperti yang dilakukan presiden kita beberapa waktu lalu. Yang perlu dilakukan adalah membantu salah satu pihak untuk menang, entah itu berpihak ke Ukraina atau Rusia.

Tapi bagi saya, keputusan untuk membela Ukraina merupakan keputusan yang bijak. Dalil untuk hidup bebas adalah argumen yang sulit dibantah. Ukraina adalah sebuah negara yang sudah cukup lama melepaskan diri dari Rusia. Untuk itu Ukraina berhak untuk menentukan sistem politik, sistem ekonomi, maupun keberpihakan politik yang mereka mau.

Tidak bisa dipaksa, apalagi dengan dalih irasional seperti yang disampaikan Rusia, yaitu ketakutan mereka terhadap infrastruktur militer NATO yang akan dibangun di Ukraina jika Ukraina bergabung dengan NATO. Bagi saya, irasional karena pembangunan infrastruktur NATO tetap berada dalam wilayah Ukraina. apa yang salah dengan hal itu? bukankah itu wilayah Ukraina dan bukan wilayah Rusia. Jika pangkalan militer tersebut dibangun di dalam wilayah Rusia baru Ukraina bisa disalahkan.

Padahal, jika Rusia takut akan ancaman jika terjadi perang suatu saat, Rusia bisa saja menggunakan taktik politik dengan mempengaruhi dan membangun pangkalan militer di Kuba yang memang negara tersebut berdekatan dengan Amerika Serikat. Sayangnya hal ini tidak dipikirkan dan akhirnya memutuskan untuk menyerang Ukraina dengan dalih absurd yaitu "Operasi Militer Khusus", yang sebenarnya hanya mengambil hak Ukraina.

Sekali lagi, Ukraina adalah sebuah negara demokratis, yang seharusnya mempunyai kebebasan untuk memilih jalan seperti apa yang menurut mereka baik dan benar. Dan kita harus mendukung hal itu.