Saya punya pengalaman seru saat masih kuliah beberapa tahun lalu. Sebagai lulusan Hubungan Internasional (HI) di salah satu kampus swasta tertua Jakarta, saya tertarik untuk mengobservasi lingkungan kampus dan mengaitkannya ke lingkungan global.

Layaknya kebanyakan kampus di Indonesia, kampus saya termasuk yang masih kental akan senioritas. Hal itu tergambarkan saat minggu pertama saya masuk dan merasakan kegiatan ‘tipikal’ ospek serta dinamika perkenalan kampusnya.

Tradisi di fakultas saya, FISIP, setiap angkatan-baru akan dibimbing langsung oleh Bapak angkatan (begitu kami menyebutnya), yaitu kakak tingkat empat tahun di atasnya. Setiap Bapak angkatan punya doktrin khas dalam menurunkan ilmu ‘pengantar kampus’ ke Anak angkatannya.

Ilmu yang dimaksud lebih bersifat ‘politik kampus.’ Ya, kegiatan politik kampus memang menjadi salah satu ciri kuat kampus saya. Dari cerita beberapa alumni, kampus saya termasuk salah satu kampus perjuangan yang menjadi pionir demonstrasi mahasiswa ’98 bersama dengan Trisakti, UI, dan beberapa kampus militan lain kala itu.

Tidaklah heran bila mahasiswa-mahasiswa kampusku banyak terlibat ‘parlemen jalanan,’ berdemonstrasi sana-sini, entah karena berburu idealisme atau demi sebungkus nasi kotak(?) Syaratnya sederhana: cukup hadir dalam aksi dan gunakan almamaternya!

Pengaruh berbagai organisasi eksternal di kampus saya juga turut dirasakan. Organisasi-organisasi ini aktif menjalankan kegiatan kaderisasi lintas fakultas. Untungnya, para mahasiswa jurusan saya solid menolak pengaruh dan ideologi organisasi eksternal, sehingga intervensi terhadap dinamika internal bisa diminimalisir.

Blok Barat-Timur

Di jurusan HI kampus saya, pertarungan ideologis cukup kentara bagi saya yang saat itu masih di tahun pertama kuliah. Bagi saya, pertarungan yang terjadi disulut karena perbedaan doktrinasi Bapak angkatan dan kentalnya gap angkatan ganjil-genap.

Angkatan mahasiswa baru (maba) sering kali meneruskan warisan konflik antara Bapak-bapak angkatan yang belum usai. Karena kiblat ilmu kampus datang dari Bapak angkatan masing-masing, tak jarang terjadi konflik ‘proxy’ (proksi) angkatan. Yang menanggung bebannya tidak lain adalah para maba polos seperti saya.

Konflik proksi ini adalah residu dari doktrinasi angkatan ganjil-genap, yang konon katanya lahir pasca peristiwa ’98. Tak begitu jelas apa yang melatarbelakangi pendikotomian oposisi-biner tersebut, yang jelas hal itu masih berlanjut hingga saya lulus.

Kata salah satu senior saya, ganjil identik dengan angkatan progresif dan berani melawan tradisi (revisionis). Sedangkan genap identik dengan konservatisme dan lebih memilih mempertahankan tradisi (tradisionalis).

Uniknya, lokasi tongkrongan keduanya juga terpisah. Mayoritas angkatan ganjil singgah di bawah pohon ‘cerita’ (poncer), sedangkan mayoritas angkatan genap berkumpul di kantin fakultas. Jika menggunakan perspektif gedung Sekretariat FISIP, letak poncer di sebelah timur sementara kantin fakultas berada di sebelah baratnya.

Sepanjang catatan saya, angkatan ganjil (selanjutnya disebut blok Timur) lebih banyak melakukan amandemen dan inovasi terhadap aturan organisasi yang menyangkut kemahasiswaan. Sebaliknya, angkatan genap (selanjutnya disebut blok Barat) lebih banyak mengikuti aturan dan tradisi tanpa banyak mengubahnya.

Persis seperti Perang Dingin, terdapat dikotomi Barat-Timur. Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat (Dunia Pertama) berhaluan kapitalis-liberalis. Timur dipimpin oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya (Dunia Kedua) berhaluan komunis-sosialis.

Sirkel Preman

Konfrontasi dua blok ini tidak semata masalah gap angkatan. Tapi tak jarang persoalan prinsip dan karakteristik tongkrongan ikut berkontribusi. Di dalam setiap angkatan sendiri, terbagi menjadi beberapa sub-kelompok atau istilah kerennya ‘circle’ (sirkel).

Sirkel ini termanifestasi dari sifat atau kebiasaan anggota-anggotanya. Dengan berjalannya waktu, sirkelnya akan lebih sempurna terbentuk. Bentuk akhir dari sirkel ini saya menyebutnya ‘sirkel preman.’

Dinamika antar sirkel ini menarik. Saya petakan menjadi empat: (1) Sirkel preman lama, senior yang berbadan besar dan sangat percaya diri; (2) Sirkel preman baru, mahasiswa yang juga berbadan besar dan juga sangat percaya diri; (3) Sirkel calon preman, berbadan biasa dan sangat mengagumi sirkel preman lainnya; (4) Sirkel cemen, mereka yang takut sama preman dan tidak ingin menjadi preman.

Pola sirkel preman ini diambil dari observasi saya terhadap politik internasional. Sirkel preman lama ini adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mereka memiliki uang berlimpah dan militer yang kuat. Begitupun dengan pengikutnya yang banyak. Mereka adalah kelompok yang merasa paling keren serta disegani di dunia.

Ada juga sirkel preman baru. Mereka menantang kekuasaan preman lama. Di dalam politik internasional, Tiongkok dan Rusia memainkan peran ini. Sepak terjang Rusia di Ukraina adalah upaya untuk menantang dominasi sirkel preman lama di dalam politik internasional yang bernama ‘kampus.’

Berikutnya sirkel calon preman. Mereka memiliki sumber daya yang besar. Pengaruh mereka juga besar di wilayah sekitarnya. Tiga negara muncul di kepala, yakni India, Turki, dan Brazil. Mereka bisa menjadi preman global di masa depan, jika kemajuan mereka tidak terbendung.

Yang terakhir adalah sirkel cemen, yakni sirkel yang lemah dan sering menjadi korban penindasan. Indonesia termasuk di dalamnya, bersama negara-negara A3: Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Mereka hanya ikut apa kata para preman. Mereka cenderung tak dianggap di dalam kompleksitas politik internasional.

Skenario Akhir

Dalam percaturan politik dunia saat ini, barangkali eskalasi yang dapat diamati dari benturan oposisi-biner Barat vs Timur adalah invasi Rusia ke Ukraina. Suatu pola hubungan internasional yang telah diprediksi jauh-jauh hari oleh John Mearsheimer, teoretikus realisme HI.

Akan tetapi, dalam skenario kampus saya, eskalasi persaingan dua blok ini tidak sampai pada konflik terbuka bagai konflik Rusia-Ukraina. Masing-masing blok masih mempertahankan konflik pada tataran ideologi saja.

Kesempatan untuk menyebarkan pengaruh masing-masing datang ketika ada angkatan baru HI bergabung. Si sirkel preman lama yang biasanya berkepentingan mempertahankan Perang Dingin ganjil-genap. Sirkel lain hanya mengekor.

Kebetulan angkatan saya didoktrin untuk memutus rantai ganjil-genap ini. Disitu saya merasakan bahwa misi yang diberikan oleh Bapak angkatan kami sangat mulia, yaitu membangun gerakan non-blok (GNB) di fakultas. Bagaikan Indonesia pada awal kemerdekaan dengan jargon “mendayung diantara dua karang.”

Sejujurnya, angkatan saya, tidak sepenuhnya mampu mengakhiri Perang Dingin tersebut. Namun, kami berhasil mengurangi eskalasinya dengan membangun GNB. GNB ini berbentuk tongkrongan baru di depan sekretariat FISIP. Letaknya di tengah dan strategis sehingga lebih mampu mengakomodir dua blok konfrontatif tersebut.

Dengan semakin banyak yang bergabung pada tongkrongan GNB, maka relevansi ganjil-genap dengan sendirinya akan pudar. Karena semua menjadi setara. Terlepas dari ideologi, sirkel, dan angkatan. Inilah wujud dari inklusivitas dan egalitarianisme (kesetaraan) mahasiswa.

Pembentukan GNB baru bisa direalisasi di tahun terakhir saya, ketika angkatan saya memegang puncak kekuasaan organisasi fakultas, yakni Badan Perwakilan Mahasiswa. Kami menginisiasi reformasi di berbagai lini, baik formil maupun non-formil. Mulai dari program kemahasiswaan, lingkungan fakultas, hingga penghapusan tradisi senioritas.

Perjuangan panjang mengakhiri Perang Dingin ganjil-genap ini tak berhenti pada angkatan saya, tapi kami turunkan estafetnya ke junior, terutama angkatan Anak kami. Harapan saya, perang terbuka tak terjadi. Layaknya Rusia-Ukraina, yang mungkin akan menjadi perang terakhir karena melibatkan senjata pemusnah massal (nuklir).