Hubungan agama dan politik sudah menjadi suguhan wajib untuk abad 21 ini. Hal ini bisa kita rujuk melalui beberapa peristiwa penting, seperti revolusi Iran, suatu revolusi yang dikendalikan oleh keyakinan agama (Syi’ah) dan melahirkan gerakan fundamentalisme di dalam berbagai agama. 

“Politisasi Agama” menjadi lambang untuk dua kejadian tersebut (Robertson, 1989: 11). Di Indonesia bisa kita lihat, seperti efek massa aksi 212 yang telah menunjukkan pada menguatnya konservatisme di kalangan pemilih. 

Publikasi Mietzner, Muhtadi, dan Halida (2018) menjelaskan mobilisasi (212) memengaruhi terjadinya peningkatan dukungan terhadap agenda-agenda politik Islam. Kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang terulang, dari reuni sampai ke dalam bentuk munajat.

Kita bisa bandingkan bahwasanya kondisi politik yang memasukkan agama di dalamnya akan lebih hidup ketimbang yang tidak. Nuansanya jadi lebih hidup, karena memasukkan dalil agama, sebagai penunjukan kesalehan personal, atau supaya terlihat seperti sufi ala ke-Arab-an.

Memang tidak ada politik yang terpisah dari agama, dan tidak ada pula faktor keagamaan yang pada waktu bersamaan bukanlah suatu faktor politik, sehingga saling berkaitan (Panikkar, 1983: 50).

Di Indonesia, masyarakat Islamnya tidak bisa dilepaskan dari faktor politik ­­­­–Isu agama masih muncul di dalam panggung politik, harus di wajar-wajar(-kan) saja, karena melihat sejarah bahwa bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa Islam adalah faktor yang berpengaruh terhadap politik. 

Pengaruh mayoritas dan karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik  tidak dapat dipisahkan menjadi suatu hal yang wajar kalau di Indonesia para elite agama turut andil dalam perpolitikan.

Romantisme Pertemuan Jokowi dan Prabowo

Pilpres 2014 dan 2019 menjadi arena yang ditakdirkan untuk bertarung antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Perbedaannya adalah, Pilpres 2019, Jokowi memanfaatkan ketokohan Islam dan Prabowo memanfaatkan ketokohan pengusaha muda, dua identitas yang dicoba peruntungan manfaatnya. Dua isu identitas besar tersebut adalah masalah ekonomi dan SARA. 

Bukan sejarah baru dalam pemilu Indonesia, penggunaan politik identitas menjadi senjata ampuh dalam menggerakkan rasis di antara sesama.

Hal ini ada kaitanya dari pengaruh Pilkada DKI Jakarta dan Aksi 212. Dua peristiwa tersebut memengaruhi perilaku dan pilihan elite politik partai dalam menentukan kebijakan dan sikap terkait Pilpres. 

Dari sisi Joko Widodo, pembatalan nama Cawapres Joko Widodo dari Mahfud MD menjadi Ma’ruf Amin (Rais Am Nahdlatul Ulama) secara cepat menunjukkan strategi politik untuk merebut suara muslim. 

Sementara, dari sisi Prabowo menunjukan adanya kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan elite politik muslim dalam penentuan cawapres. Elite tersebut tergabung dalam ijtima’ ulama GNPF (Gerakan Nasional Penjaga Fatwa) MUI.

Pemilihan kedua calon tersebut juga akan memunculkan imbas pada suara pemilihan, akibat dari coattail effect (suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain/pengaruh ikutan). (Yunus, 2018: 79-80)

Calon pemimpin yang diusung memiliki efek terhadap elektabilitas suara pada partai pengusung nantinya. Karena pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif, maka tentunya pemilihan rakyat terhadap capres dan cawapres tidak jauh dari calon anggota dewan dari partai pengusungnya. 

Politik identitas bukan makanan baru lagi, alat tersebut sudah dijual di pasar kepentingan-kepentingan. Eksistensinya sebenarnya sudah ada dari dulu. Perlu diingat bahwa politik identitas adalah alat, maka dia bisa digunakan dalam ranah hitam maupun putih. 

Efek positifnya, politik identitas dipandang sangat efektif dalam menjaga rasa kebersamaan sesama identitas. Tetapi negatifnya, ia membuat rasis di antara perbedaan. 

Politik identitas bukan sesuatu yang aneh, tidak ada yang baru, sudah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Maka dari itu, kita harus bersiap untuk bebersih selepas acara memilih.

Pilpres 2019 Membuat Politik Identitas Tidak Efektif

Desain pemilu serentak membuat politik identitas tidak dapat bekerja dengan baik, di antaranya beberapa indikator, karena isu di pemilu legislatif dan pemilu presiden akan berlain arah. 

Kemudian komposisi pemilih dan calon anggota legislatif yang beragam dari internal partai politik. Terjadi juga pergeseran isu kedua pasangan menjadi isu-isu ekonomi dan pembangunan dalam kampanye. Dalam pemilu legislatif, perubahan pilihan terjadi juga berdasarkan preferensi ideologis pemilih.

Ternyata lemahnya pengaruh gerakan massa 212 dalam memengaruhi perilaku pemilih menunjukkan bahwa mobilisasi pemilih berdasarkan isu-isu keagamaan tidak efektif dalam pemilu di tingkat nasional. 

Beberapa indikator: tidak adanya efek langsung aksi 212 terhadap kenaikan atau penurunan suara pasangan calon. Kemudian dari sisi distribusi suara pendukung dan massa aksi 212 relatif terdistribusi kepada kedua pasangan calon, baik Jokowi maupun Prabowo menurut data survei CSIS (Centre for Strategic and International Studies).

Pendukung aksi 212 pun tersebar ke partai-partai dengan ideologi yang berbeda, baik partai berbasis agama atau nasionalis (Arya, 2018: 7-8). Kecenderungan lainnya adalah bahwa pilihan publik terhadap pasangan calon sangat ditentukan oleh faktor kredibilitas, integritas, dan program dalam pasangan calon tersebut.   

Politik identitas mengalami penguatan bila kontestasi antar-kandidat cukup kuat, terutama di daerah dengan komposisi latar belakang pemilih yang berimbang, baik dari sisi agama, suku, atau ras.

Politik identitas, kalau dibiarkan, akan menjadi alat yang gaduh di dalam kondisi Indonesia. Dan memang kalau alat hanya akan digunakan pada saat membutuhkan, kemungkinan terbesar adalah hanya dipakai pada saat 17 April besok saja. 

Tetapi orang-orang yang buta memang tidak memikirkan efek selanjutnya, tidak peduli dengan efek pasca pemilu besok. Kita lagi yang harus bersih-bersih dari efek politik identitas tersebut, karena pernyakit rasis berbahaya menjadi tamu di antara kita semua.

Kita yang sudah sama-sama menyatakan Indonesia, dipaksa kembali memutar sejarah mengenai keindividualitasan kelompok. Padahal politik identitas membuat kita sulit menjadi diri sendiri. Karena sekali menyebutkan identitas, kita kehilangan individualitas. 

Tolong dicatat, tujuan utama dari politik adalah menyelesaikan urusan kolektif tanpa harus baku hantam, cekik-menyekik, ataupun jambak-menjambak. Politik itu berhubungan dengan masalah-masalah duniawi, yang profan dan temporal. 

Dan anehnya sekarang, semua urusan dibawa ke dalam politik. Padahal tidak semua urusan harus diselesaikan dalam politik.