Dalam sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi, menjadi wajar jika iklim perpolitikan dan pemerintahan di dalamnya akan selalu berdinamika, terlebih di saat proses pesta demokrasi rakyat negara tersebut sedang berlangsung. 

Demikian juga negara kita. Dalam perjalanan lebih dari 20 tahun, kita memilih demokrasi sebagai sistem politiknya, dinamika pemerintahan pasti akan terjadi menjelang proses pemilu. Di dalam tulisan ini, penulis akan membahas bagaimana ironi negara yang ”katanya” berdemokrasi tapi menjadi negara yang dihegemoni oleh kekuatan politik identitas.

Pilkada Jakarta dan #2019GantiPresiden

Penulis menganggap bahwa semua orang sepakat bahwa pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 yang lalu merupakan arena pertunjukan sempurna kekuatan politik identitas di dalam merebut kekuasaan. Setuju atau tidak, dari yang penulis analisis, lebih dari 50 persen faktor yang membawa kemenangan pasangan Anies-Sandi lebih adalah faktor politik identitas dan isu SARA.

Hal itu juga diakui oleh PKS sebagai salah satu partai yang mengusung Anies-Sandi. Saat itu, kita melihat penggiringan opini yang sangat masif oleh kelompok organisasi masyarakat mayoritas tertentu mendiskriminasi pemimpin mereka sendiri yang berasal dari kalangan minoritas. Hasilnya bisa ditebak, kelompok mayoritas berhasil mendapatkan kekuasaan dengan cara yang legal dan tidak melanggar hukum.

Menjelang pemilu tahun depan, muncul tagline #2019GantiPresiden yang banyak menimbulkan kontroversi. Banyak pihak menganggap bahwa tagline ini merupakan sikap politik yang dapat memprovokasi masyarakat dan tidak sedikit juga pihak yang menyatakan tagline ini adalah gerakan yang sah secara konstitusional dan tidak melanggar hukum. 

Penulis melihat munculnya gerakan ini sebagai aplikasi dari pemahaman politik identitas. Kelompok gerakan ini memiliki militansi yang sangat kuat dan cenderung menempatkan lawan politiknya sebagai musuh serta dianggap merepresentasikan kelompok dan agama tertentu. 

Arah gerakan ini hampir pasti memiliki maksud politis. Jika pada pilpres tahun depan gerakan ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemenangan salah satu pasangan calon, rasanya memang ada yang salah dengan pemaknaan politik identitas di negara kita ini.

Di negara demokrasi, kita bebas untuk menentukan pilihan kita sendiri karena semua itu diatur dengan jelas di dalam konstitusi bahwa kita dapat memilih pemimpin tanpa tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Kenyataannya, narasi memilih pemimpin sekarang adalah bukan lagi tentang track record, visi misi atau integritas, tapi lebih berorientasi kepada kesamaan agama, ras, suku, dan kedaerahan.

Konstitusi kita mengatur bahwa selama masyarakat memilih pemimpin dengan asas-asas pemilu di negara kita (LUBERJURDIL), selama itu pula tidak ada aturan konstitusi yang dilanggar karena konstitusi kita tidak mengatur alasan kita untuk memilih suatu pemimpin tetapi dikembalikan kepada masyarakat yang mempunyai hak suara untuk digunakan. 

Negara demokrasi selama ini terkenal dengan tagline “rakyat menentukan nasibnya sendiri”. Artinya, suara masyarakat adalah suara untuk menentukan nasib mereka sendiri ke depannya dan dalam menentukan nasib mereka itu salah satunya ketika memilih pemimpin negara atau daerah.

Banyaknya pro-kontra yang mengiringi isu ini tidak langsung membuat masyarakat mengerti tentang bagaimana memaknai politik identitas ini dengan baik. Secara naluri memang sangat sulit untuk memisahkan proses demokrasi dan politik identitas tersebut, tapi bukan berarti pola pikir masyarakat tidak dapat kita arahkan menjadi pemaknaan yang positif karena sejatinya politik identitas ini bisa menjadi pemersatu dan memperkuat situasi politik masyarakat di daerah.

Pemaknaan Politik Identitas

Politik identitas sangat sulit dipisahkan dari sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi, terlebih di negara kita yang terdiri dari banyak sekali daerah dan kepentingan di dalamnya.

Penulis memaknai politik identitas menjadi dua hal. Pemaknaan pertama adalah politik identitas bisa menjadi penguat persatuan dan kestabilan politik di daerah. Pemaknaan ini, jika politik identitas dilaksanakan dalam rangka memilih pemimpin dan wakil rakyat berdasarkan track record dan visi misi yang baik, bukan berdasarkan dari kesamaan suku, agama, dan ras. 

Jika ada calon pemimpin, baik dari kalangan mayoritas atau minoritas, yang telah memiliki integritas dan merepresentasikan kepentingan bersama, itulah pemimpin yang seharusnya dipilih oleh masyarakat. Memilih pemimpin itu bukan soal mayoritas dan minoritas, tapi soal kepentingan dan keberlangsungan kesejahteraan masyarakat ke depannya.

Pemakanaan kedua dan yang saat ini terjadi adalah politik identitas menjadi pertunjukan kekuatan mayoritas kepada minoritas. Dalam hal apa pun yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan, pemaknaan politik identitas ini semuanya harus dikuasai oleh pihak mayoritas dan tidak menyisakan ruang bagi kelompok minoritas.

Sejak pilkada DKI Jakarta, sentimen politik identitas ini kembali menguat karena melihat bagaimana keberhasilan kelompok mayoritas mendapatkan kekuasaan. Dan dengan adanya gerakan #2019GantiPresiden, nampaknya isu ini akan kembali terjadi di pemilu 2019 yang akan datang.

Penulis menganggap bahwa masyarakat sudah dapat memahami bahwa kepentingan bersama itu jauh lebih penting dibandingkan kepentingan kelompok tertentu saja. Pemimpin itu bukan tentang mayoritas dan minoritas saja, tetapi lebih daripada itu adalah persatuan dan kesatuan yang harus selalu kita jaga. 

Seandainya kelompok masyarakat mayoritas ingin terus menggunakan politik identitas sebagai alasan untuk memilih pemimpin, maka itu adalah hak kelompok masyarakat tersebut. Yang perlu kita pastikan adalah penggunaan politik identitas tersebut tidak bertentangan dengan aturan konstitusi.

Menjadi harapan penulis dan masyarakat pada umumnya bahwa pemaknaan politik identitas ini dapat dimaknai secara baik oleh masyarakat di tengah kondisi dan situasi bangsa yang sedang menghangat. Kedewasaan masyarakat dalam memahami isu ini menjadi penting karena ketika pemaknaan politik identitas itu dilakukan secara baik, maka akan muncul pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan mewakili semua golongan masyarakat.

Namun, bila politik identitas ini salah dimaknai oleh masyarakat, maka akan terpilih pemimpin yang hanya mewakili golongan masyarakat tertentu, bekerja untuk masyarakat tertentu, dan akhirnya negara ini kembali menjauh dari negara yang dimimpikan oleh para pendirinya.