Setiap manusia memiliki dua macam keberadaan; sisi ganda yang melekat, yang begitu sukar dipisahkan, bahkan tanpa kita sadari.

Pertama, kita adalah pribadi sebagaimana manusia umumnya. Kita tidak ingin lapar dan haus, selalu ingin merasa aman, mencintai dan dicintai, ingin mengekspresikan bakat-bakat kita, dan ingin berkomunikasi dengan yang lain secara baik.

Sedangkan keberadaan kedua, ia tumpang tindih dan saling berjalin dengan yang pertama, merupakan pribadi pembawa sifat-sifat rasial, budaya, kepercayaan atau keyakinan. Keduanya hadir bersama sejak kita lahir, berkelindan, saling pengaruh-memengaruhi, lalu membentuk identitas kita.

Ciri tipikal yang kita miliki itu begitu dinamis, bersifat mobilitas dan memiliki intensitas yang berbeda. Ia bersentuhan dengan konteks eksternal, tuntutan situasi, harapan-harapan dalam penghayatan, termasuk beragamnya pengalaman hidup. Latar belakang kita menjadi satu kesatuan sebagai identitas pribadi.

Dampaknya, pertemuan dengan orang lain menjadi enigma, sebuah misteri. Jika kehadiran kita diapresiasi, kita disambut baik. Jika tidak, perbedaan yang melekat akan dinegasi. Dari situ terbuka konflik.

Dari situasi semacam itu, logis jika manusia dengan segala upaya menjamin keselamatannya. Ia lalu melakukan kontrak sosial. Negara pun terbentuk. Jika terjadi kekacauan, dengan maksud menertibkan, penggunaan kekerasan oleh negara dianggap sah. Negara memiliki legitimasi untuk itu, tetapi harus dilakukan dengan batas-batas hukum yang ada.

Negara Indonesia juga dibangun berdasar kontrak sosial, sebuah hasil dari bangsa yang menegara. Jika melihat suku bangsa yang bertebaran dari Sabang hingga Merauke, segala macam pembekuan identitas telah dicairkan. Latar belakang identitas menjadi sesuatu yang relatif.

Bentuk keberadaan manusia yang kedua—seperti yang disebutkan di atas—yang dibangun di atas sifat-sifat rasial, seperti budaya, kepercayaan atau keyakinan, bukan lagi menjadi dasar didirikan negara.

Indonesia berdiri lebih berdasar pada cara keberadaan manusia yang pertama, di mana harapan-harapan untuk tidak lapar, tidak haus, memiliki rasa aman, bebas mengekspresikan rasa cinta pada yang lain, mengekspresikan bakat-bakat, dan segala macam aktualisasi diri dapat terjamin.

Pertanyaan lalu muncul, ketika negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan telah dibangun, bagaimana agar kekuasaan negara yang dikelola tidak jatuh pada tindakan sewenang-wenang penguasa negara?

Jika melihat jalannya sejarah, proses bernegara telah dilalui manusia berabad-abad. Ada penghayatan dan pembelajaran tentang manajemen kekuasaan negara, tentang idealnya negara diselenggarakan, mulai dari yang otoriter, yang oligarki, hingga demokrasi.

Pada yang terakhir inilah cara penyelenggaraan negara—yang demokratis—dianggap lebih ideal dibanding yang lain. Ini karena demokrasi dianggap memiliki mekanisme mengoreksi dirinya sendiri.

Prinsipnya, penguasa mendapatkan mandat dari rakyat. Ketika tindakan sewenang-wenang dilakukan penguasa negara, rakyat dapat mengoreksi. Jika dianggap tidak dapat dilanjutkan, mandat yang diberikan bisa ditarik kembali. Indonesia sendiri telah memilih demokrasi sebagai cara bagaimana kekuasaan negara dikelola.

Rezim Polyarchy Electoralism dan Politik Identitas

Pilihan berdemokrasi bukan sesuatu tanpa alasan. Ia merupakan jawaban atas proses bernegara yang pernah berjalan. Pengalaman di bawah rezim otoriter Orde Baru mengharuskan bangsa ini melakukan koreksi total. Sampailah demokrasi dianggap sistem yang tepat untuk dipraktikan.

Namun, ketika demokrasi telah dipilih sebagai jalan, apa yang diharapkan ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi yang dibangun telah ke luar dari jalan yang dikehendaki, sebuah praktik demokrasi yang berjalan ke-bablas-an.

Demokrasi dikatakan bablas berarti ada praktik demokrasi yang melewati batas. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut kata bablas dengan tiga arti; terus, lenyap (hilang), dan mati.

Terkait demokrasi kita yang bablas, kita dapat mengetahuinya secara terang dengan melihat bagaimana jalannya kompetisi elektoral yang tidak sehat, sebuah kompetisi yang saling menegasi identitas yang berbeda. Penggunaan politik identitas yang kelewat batas telah mengisi ruang-ruang elektoral. Ini menandakan tujuan kontrak sosial yang dibuat belum tercapai.

Menimbang situasi sosial politik penuh kompetisi yang tidak sehat itu, dengan menguatnya politik identitas yang ekstrem, kita anggap ini dapat membahayakan kelangsungan demokrasi kita.

Titik fokus “politik identitas” sendiri terletak pada penekanan “perbedaan” sebagai kategori politik utama. Sedangkan bahaya politik identitas dapat berwujud pada ancaman kekerasan.

Bagi Indonesia sebagai sebuah negara, ujung paling ekstrem politik identitas akan mengantarkan negara pada kondisi disintegrasi. Maka, pada situasi seperti ini, demokrasi yang berjalan dapat kita anggap sedang tidak baik-baik saja. Ia berjalan pelan-pelan untuk lenyap dan melenyapkan.

Lenyap karena kondisi seperti itu bukan kondisi ideal demokrasi dan dapat membuat lenyap demokrasi; melenyapkan karena ia dapat menghilangkan eksistensi suatu negeri. Jika tidak segera mawas diri lalu mengambil sikap yang diperlukan, demokrasi kita akan membawa masa depan negara ke liang kubur.

Politik identitas ekstrem merebak karena kita sendiri sebagai bangsa telah membuka ruang artikulasi politik yang ekstrem. Bentuk kategorisasi identitas ekstrem telah melahirkan sektarianisme, terorisme, serta ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Ini akhirnya mengantarkan—secara perlahan—demokrasi kita pada pemakamannya. Yang disesalkan lagi jika politik identitas memang sengaja diciptakan dalam rangka perebutan kekuasaan untuk mendapat privilege.

Setelah reformasi, problem politik identitas memang begitu hidup di negeri kita. Warga negara makin rajin menggolongkan diri dalam identitas kelompok. Suatu tindakan diambil sesuai dengan kepentingan, keyakinan, ideologi, suku, dan agamanya.

Mereka merasa punya identitas diri karena berada dan diakui dalam kelompoknya masing-masing. Problem besar datang ketika itu berkelindan dengan kepentingan aktor-aktor kekuasaan. Para aktor menggunakan demokrasi sebagai jalan mencapai keuntungan. Dalam perjalanan politik nasional, politik identitas terlihat menguat ketika menjelang ajang elektoral.

Lebih dari itu, kondisi dalam negeri pascareformasi, jika kita letakkan pada perkembangan dunia hari ini, dengan berbagai kelemahan struktural dan institusional, dapat kita katakan belum compatible dengan perkembangan dunia yang menuntut efisiensi.

Bangsa Indonesia, walau melarat, ternyata sangat boros. Di samping karena konsumerisme yang dikembangkan sejak Orde Baru, juga karena dibangun dengan ongkos politik yang mahal. Habitat politik Indonesia semacam ini bukan hadir begitu saja. Ia dibangun oleh rezim yang bisa kita sebut sebagai rezim Polyarchy Electoralism.

Rezim Polyarchy Electoralism adalah suatu bangun politik yang dikendalikan oleh elite—politik maupun ekonomi—melalui pemilihan umum berbiaya mahal. Poliarki memang kecenderungan umum demokrasi liberal. Namun, yang terjadi di Indonesia begitu vulgar dan keterlaluan, suatu demokrasi yang dibangun di atas “egosentrisme” ekstrem.

Karena pemilihan umum memakan biaya mahal, upaya menghalalkan cara untuk menang sangat terbuka dilakukan, termasuk dengan mengeksploitasi politik identitas.

Politik identitas sendiri sebenarnya merupakan bagian dari sejarah demokrasi. Lebih tepatnya, bagi demokrasi liberal. Demokrasi adalah “perayaan perbedaan”. Maka, mengetengahkan identitas adalah jawaban liberal bagi pertanyaan “bagaimana merayakan perbedaan dalam alam demokrasi?”.

Demokrasi hidup karena menerima identitas kelompok yang berbeda. Tentu itu dilakukan dengan catatan: selama ia berada dalam ruang persatuan, ia tidak menjadi soal.

Ketika politik identitas dieksploitasi, apalagi berkait relasi kuasa, ruang polarisasi dibuat melebar. Politik identitas membawa kita saling menegasi satu dengan yang lain, antara kelompok yang berbeda. Perebutan kekuasaan dapat mempertebal pandangan eksklusif dan klaim keunggulan masing-masing kelompok.

Klaim kebenaran makin didorong, sehingga kebenaran sepenuhnya dianggap milik kelompok. Di luar kelompoknya dianggap bukan kebenaran, bahkan ia harus tunduk pada klaim kebenaran itu.

Apakah politik identitas dapat menjadi fondasi bagi kokohnya demokrasi? Jika ia dibangun dalam kerangka persatuan, tentu bisa. Tetapi jika tidak, ia justru dapat mendorong perpecahan. Ini karena suatu kelompok dengan kelompok yang lain saling menjauh, saling menegasikan, saling mengatur jarak.

Di Indonesia, ketika Sumpah Pemuda 1928 dideklarasikan, sebenarnya kita telah menerima perbedaan dalam kesatuan; atau kesatuan dalam perbedaan.

Untuk menjadi Indonesia, kita tidak perlu menghilangkan identitas kita sebagai orang Sumatra, Jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain. Segala macam perbedaan dapat hidup di taman sarinya Indonesia. Dan bukankah Indonesia adalah Indonesia jika ia mengakomodasi perbedaan?

Kita kembali lagi pada soal rezim polyarchy electoralism yang membuat demokrasi kita kebablasan. Di dalam rezim polyarchy electoralism yang mengeksploitasi politik identitas sebagai jalan mendapatkan kuasa, telah mendorong kategori-ketegori kelompok untuk lebih menggunakan emosi-emosinya dibanding menggunakan rasionalitasnya.

Politik identitas digunakan untuk mempertajam perbedaan-perbedaan. Ini dilakukan guna mendapatkan suara pemilih mayoritas. Keyakinan agama adalah kategori identitas yang paling sering dieksploitasi.

Sebuah gambaran menarik diberikan Gerry Van Klinken untuk masalah ini. Klinken melayangkan pertanyaan, mengapa nilai-nilai religius yang bersifat transenden “begitu dalam” merasuk ke dalam politik, sedangkan aturan formal dilihat bersifat sekuler dan aktor-aktor pemain kunci tidak ada yang agamis? Ia lalu menjawab, itu berkaitan dengan kebutuhan kandidat dalam menggalang dukungan politis.

Untuk mendapat dukungan politis, para kandidat beramai-ramai mendekati para pemuka agama. Para politisi menyadari betul, seseorang yang memiliki kapital simbolis semacam pemuka agama punya legitimasi berbicara atas nama orang lain. Ia juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan versi resmi dunia sosial yang ada.

Konteks ini telah berjalan cukup lama. Semasa Orde Baru, propaganda antikomunis selalu mendefinisikan kesetiaan warga negara dalam konteks budaya keagamaan. Sedangkan pembahasan secara kritis soal miskin dan kaya dilarang.

Jadi, kita tidak perlu panik ketika melihat mengapa banyak politisi tiba-tiba merapat kepada orang-orang yang dianggap pemuka agama. Atau dapat kita perluas, merapat pada apa pun yang dianggap mayoritas dalam kawasan suara pemilih.

Para politisi ini tidak sedang membincang bagaimana kemiskinan bisa diselesaikan agar rakyat miskin terangkat kesejahteraannya. Mereka juga tidak sedang membincang bagaimana soal korupsi yang merupakan kejahatan extraordinary dapat dibasmi. Pembicaraan biasanya terpusat hanya pada bagaimana suara mayoritas ketika berlangsungnya Pemilu dapat diarahkan untuk memilih mereka.

Para kandidat yang diusung dalam rezim polyarchy electoralism selalu bersandar pada praktik politik “bagaimana harus menang”. Segala cara dapat digunakan demi mencapai kemenangan. Para pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, makin matang, bahkan lincah memanfaatkan situasi.

Sentimen-sentimen atas nama identitas disebar luas ke dalam ruang publik. Bahkan secara ironi, masyarakat sebagai subjek politik secara sukarela menerimanya. Beberapa kelompok bahkan menyambutnya secara heroik. Slogan-slogan pembelaan terhadap, misalnya, keyakinan, kebangkitan pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi asing atau aseng, dan sebagainya begitu terdengar nyaring berkumandang.

Lantas, bagaimana cara kita sebagai bangsa mengatasi politik identitas di tengah habitat rezim polyarchy electoralism?

Pentingnya Warga Negara Kritis

Masyarakat kritis adalah kunci demokrasi dapat berjalan sehat. Sedangkan bersikap kritis, yaitu menunda terlebih dahulu segala prasangka atau asumsi atas sesuatu. Dengan menunda prasangka yang sebelumnya dianggap benar, segala sesuatu akhirnya diragukan lalu diperiksa atau dipertanyakan kembali.

Misalnya, dengan mempertanyakan apakah benar Indonesia didirikan hanya milik satu golongan? Hanya milik satu agama? Hanya milik satu identitas? Sehingga klaim dasar atas golongan, agama, atau identitas tersebut layak diperlakukan secara istimewa?

Dengan melihat sejarah berdirinya republik dan realitas bangsa Indonesia, tentu klaim-klaim semacam itu sangat mudah diruntuhkan. Selanjutnya, ini berarti memaksa warga negara aktif berperan agar rezim polyarchy electoralism tidak bebas menggunakan politik identitas secara dangkal semata-mata sebagai dukungan politik untuk memenangkan kontestasi kekuasaan.

Memang sudah seharusnya kita menguatkan pandangan kita sebagai warga negara. Persoalan kewarganegaraan berarti adanya kesadaran bahwa kita bukanlah sekadar identitas suatu kelompok di dalam masyarakat. Keberadaan kita di dalam negara telah merelatifkan keberadaan kita sebagai identitas kelompok tertentu. Kita telah menjadi satu warga negara, yakni warga negara Indonesia.

Itu berarti sekat-sekat identitas yang membatasi satu dengan yang lain menjadi terlampaui. Itu juga sejalan dengan konsep nasionalisme Indonesia, yang berdasar pada kesadaran adanya pengalaman yang sama akan kesejarahannya dan memiliki cita-cita yang sama tentang bangunan masyarakat yang dicita-citakan.

Cita-cita itu yang harus diperjuangkan terus-menerus, oleh semua kelompok dan golongan. Lebih dari itu, warga negara aktif yang kritis harus dapat memaksa elite politik maupun penyelenggara negara mewujudkan cita-cita itu.

Selanjutnya, karena negara sebagai representasi kehendak rakyat, dan kehendak rakyat tidak dapat dilepaskan dari kontrak sosial yang dibangunnya, seperti menjaga keamanannya dan keselamatannya, mewujudkan kesejahteraannya, dan lain sebagainya. Untuk menciptakan semua itu, maka segala sesuatu yang menjadi “ancaman” terwujudnya cita-cita itu harus disingkirkan.

Ini tidak berarti bahwa negara akan memberangus segala macam perbedaan yang ada di Indonesia. Tugas negara hanya menjaga agar keberadaan identitas suatu kelompok tidak membahayakan keselamatan kelompok yang lain. Adapun ketika negara hendak menertibkan kekacauan, harus tetap berdiri di atas hukum-hukum yang ada.

Dengan legitimasi penggunaan kekerasan yang dimilikinya, negara dapat menertibkan kelompok-kelompok yang dianggap mengganggu keberadaan kelompok lain yang telah hidup damai. Jangan sampai, akibat ulah suatu kelompok yang ingin memaksakan kehendak, memancing reaksi kemarahan dari kelompok lainnya.

Ini dapat berujung pada kekacauan. Itu tidak boleh terjadi. Negara sudah seharusnya menertibkan. Sehingga mandat rakyat yang diberikan kepadanya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat fokus direalisasi.