Buku dengan tebal 133 halaman ini sempat mengundang ketertarikan tersendiri saat disodorkan oleh seorang kawan kepada saya yang sedang berburu buku bersama di Assalam Hypermart. Pada sampulnya tertera judul yang sangat menggelitik, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih dikenal dengan sapaan Buya Syafii atas gagasan IAF lewat acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) ke-III.

Buya Syafii merupakan seorang intelektual kelas satu di Indonesia yang mengagumi berbagai sumbangan pemikiran inklusif almarhum Nurcholish Madjid atau yang lebih dikenal dengan Cak Nur. Selain itu, Buya juga dikenal publik sebagai penggagas istilah populer, “premanisme berjubah”, demi menggambarkan fenomena munculnya bibit sikap dan perilaku antidemokrasi yang sering kali diwujudkan dalam bentuk kekerasan, di kalangan Muslim di Indonesia.

Buku ini menyajikan orasi ilmiah dari Buya Syafii dan tanggapan baliknya, dengan dilengkapi tanggapan-tanggapan dari tujuh komentator lain (sebenarnya ada sepuluh, namun tiga dari sepuluh komentator yang dipilih terpaksa batal masuk daftar karena tidak mengirimkan naskah hingga batas waktu yang ditentukan). Ketujuh komentatornya, yaitu Martin Lukito, Siti Musdah Mulia, Eric Hiariej, Asfinawati, Budiman Sudjatmoko, Yayah Khisbiyah, dan Tonny D. Pariela.

Ketertarikan para ilmuwan sosial terhadap isu politik identitas baru dimulai pada tahun 1970-an, bermula di Amerika Serikat menghadapi sekian banyak masalah minoritas, feminisme, gender, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial terpinggirkan lainnya. Setelah itu meluas pada konteks permasalahan agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan kultural yang beragam.

Hakikat politik identitas digagas pertama kali oleh L.A Kauffman yang disinyalir berasal dari gerakan mahasiswa antikekerasan dan dikenal dengan sebutan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat di awal 1960-an.

Kemudian menurut pandangan Gutmann, politik identitas juga mengemuka setelah munculnya gerakan Martin Luther King dan uskup-uskup Katolik di Amerika. Para Muslim Hitam di Amerika mengalami serangkaian ketidakadilan dan mendambakan prinsip persamaan (equality) dalam kehidupan masyarakat luas pada masa itu.

Sampai pada gelombang politik identitas pada masa terkoyaknya federasi Uni Soviet akibat gerakan mujahidin di Afghanistan yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat.

Seluruh kekacauan yang mendasar pada politik identitas sebenarnya lebih kepada adanya suatu kondisi minoritas suatu kaum. Seperti penduduk Muslim perantau di Amerika, karena menjadi kaum minoritas di sana maka mereka seolah merasakan keterasingan/alienasi.

Meski begitu, ada sebagian kelompok yang masih mau bersikap longgar terhadap adanya kaum Muslim perantau ini (biasanya kaum terpelajar dengan profesi yang mampu bersaing dengan kaum awam). Kondisi ini bukan hanya ditemui di Amerika, namun juga di negara Barat lainnya.

Seperti respon optimisme Murad W. Hoffman terhadap masa depan Islam di Barat melalui cuplikan pernyataannya “I think the Muslims in America and in Europe will the leaders for the intellectual revitalization of the Muslims in the East.

Sedang di Indonesia, politik identitas lebih mencakup pada etnisitas, agama, dan ideologi politik. Seperti dipaparkan oleh Buya Syafii beragam bentuk perkumpulannya, RMS (Republik Maluku Selatan), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka), gerakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan dengan agama sebagai politik identitasnya, sampai pada ancaman pemberontakan PKI tahun 1948 yang menggunakan ideologi Marxisme sebagai politik identitasnya.

Buku ini menarik dan wajib dibaca oleh para pencari ihwal perjuangan pluralisme pada masyarakat multikultur maupun sepak terjang politik identitas kaum minoritasnya. Hanya saja Buya kurang memberikan penjelasan lanjut secara gamblang mengenai terminologi politik identitas, serta dampak/ancamannya terhadap pluralisme, demokrasi, maupun hak-hak asasi manusia.

Meski demikian saya sangat mengapresiasi kemampuan Buya Syafii mengulas dan membalik tanggap segenap sumbangan pemikiran dari para komentatornya dengan begitu memikat sekaligus membuat kita banyak belajar jauh.

Politik identitas tidak akan menjadi permasalahan krusial di tanah air asalkan segenap masyarakat mampu menyatupadukan berbagai toleransi keberagaman pada tempat selayaknya. Dalam berbagai ruang publik negara, kelompok apa pun, utamanya kelompok agama/keyakinan memiliki hak untuk tidak dipandang sebelah mata dan dialienasikan.

Namun juga kurang layak jika terlalu diistimewakan dan dijunjung mutlak sejajar dengan retorika pluralisme negara Indonesia. Seperti dipesankan untuk kita cermati dengan lebih teliti dan sepenuh cerdas itu oleh Buya Syafii:

Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.”

  • Judul: Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita
  • Penulis: Ahmad Syafii Maarif/Buya Syafii
  • Penerbit: PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi)
  • Tahun Terbit: 2010