Mereka... mengatakan: “Damai sejahtera!” Padahal sama sekali tidak ada damai sejahtera. Mereka itu mendirikan tembok... (Yehezkiel, sekitar 593-571 SM)
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk (binatang) politik (zoon poticon). Dalam hal ini, filsafat politik Aristoteles mengacu pada masyarakat itu sendiri, karenanya Aristoteles menekankan filsafat politiknya pada hubugan sosial dalam masyarakat atau negara sehingga masyarakat mengenal budi, dan menjalankan fungsinya baik secara individu maupun sosial.
Pengetahuan manusia membuat manusia menjadi kreatif, maksudnya manusia berusaha tidak hanya mencapai kebenaran saja, melainkan mungkin mencoba hendak mengetahui seluruh obyeknya dengan segala aspeknya. Hal yang demikian itu tidaklah dilakukan oleh binatang.
Mungkin bebarapa jenis binatang boleh dikatakan, bahwa mereka juga mempunyai pengetahuan, akan tetapi pengetahuan itu reseptif saja, mereka menerima, dan tanpa tahu meletakkan hubungan sesuatu terhadap sesuatu itu.
Lebih lanjut, begitu sulit untuk dibantah bahwa manusia terus-menerus mengejar hal yang baik. Apabila membedakan sesuatu hidup yang baik dari sesuatu hidup yang buruk, sesuatu yang sepantasnya dikerjakan dari apa yang sepantasnya tidak dikerjakan, sebenarnya manusia berbuat demikian karena tahu yang baik, yang benar, dan sepantasnya menuju kearah tujuan yang semestinya.
Karena hidup yang baik akan membawanya ke arah pemenuhan hal yang baik yang tertinggi yang mungkin ia capai, tujuan untuk apa ia berada, dan untuk apa ia bereksistensi.
Karenanya filsafat politik menurut Aristoteles merupakan sebuah konsep negara dan kekuasaan secara ideal, di dalamnya berbicara mengenai kebaikan bersama, dan kebaikan bersama tersebut dapat terwujud melalui pengetahuan yang baik tentang politik tersebut.
Paling tidak menurut pandangan Aristoteles, filsafat politik bagaikan obat untuk penyembuhan penyakit yang disebut konflik. Kendati konflik dalam masyarakat sukar untuk didamaikan. (Poespoprodjo, 1998).
Pandangan Aristoteles terkait 'politik untuk kebaikan bersama' tersebut mengingatkan saya saat ini pada euforia kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris dalam pemilu AS.
Beberapa teman di sosial media merayakan kemenangan mereka seolah mereka Modern Prince yang menjadi sosok nyata pembawa ekspresi dan kehendak kolektif setelah keburukan kepemimpinan Trump.
"Trump juga ada baiknya, loh. Di bawah beliau, toleransi terhadap gesekan cenderung meningkat, misal perang dagang Trump dengan China, tekanannya terhadap Iran dan Venezuela, serta retorika berapi-api yang dia gunakan pada kepresidenannya sehubungan dengan Korea Utara.", begitu kira-kira argumen seorang teman yang berusaha melihat sisi baik dari Trump.
Argumen penentangnya? "Lah, si Trump aja marah-marah melulu di berita, apa yang bagus dari dia?"
Rasanya tidak sah mencap kebijakan politik seseorang buruk hanya karena headline berita atau judul yang mengandung clickbait. Dalam menilai kinerja pemerintah lewat berita, setidaknya Anda harus seleksi sampel dalam konteks, memperhatikan bias account, validalitas, dan yang terpenting sifatnya faktual atau opini.
Misal saya ambil contoh, seperti banyaknya penggemar Kamala Harris hanya karena dia 'perempuan' dan minoritas. Representasi politik memang penting. Dalam konteks ini, Kamala sebagai representasi perempuan dalam panggung pejabat, namun apa dengan menjadi perempuan lantas membuat Kamala sama sekali tidak bersalah.
Sejauh ini, saya belum banyak melihat orang yang mempermasalahkan track record Kamala. Jadi, fakta bahwa Kamala sendiri pernah memenjarakan banyak orang kulit hitam karena nonviolent marijuana use dan memisahkan anak imigran dengan orangtuanya (forbes.com/18/08/2020), tidak bermasalah asal dia termasuk representasi perempuan?
Inilah politik identitas, gerakan politik yang didasarkan pada kesamaan identitas suatu kelompok: agama, ras, gender, orientasi seksual, kelas sosial, budaya dan sebagainya. Politik identitas identik dengan minoritas atau mereka yang tertindas: perasaan senasib sepenanggungan karena ditindas akibat identitas mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang membuat mereka bersatu dan bergerak menuntut hak-hak politik yang setara.
Apa yang salah dengan itu? Pertama, menekankan narasi "kita dan mereka". Kita menghadapi musuh yang sama, karena itu kita perlu mencari tahu siapa kawan dan lawan. Tetapi yang kedua ia juga cenderung oportunis: musuh dari musuhku adalah sahabatku. Akibatnya adalah bahaya yang ketiga: menuduhkan guilt by association. Kamu musuh saya karena kamu segolongan, seetnis, seagama dan sejenis dengan musuh saya; kecuali kamu menyangkal diri.
Nah, bagaimana jika tuntutan mereka sudah terpenuhi, atau dengan kata lain mereka sudah tidak lagi tertindas? Apakah mereka sekarang menganggap identitasnya sebagai suatu keunikan dalam masyakarat yang setara, tetapi tidak perlu digembar-gemborkan dan diistimewakan? Apakah tidak ada lagi “kita vs mereka”? Idealnya sih begitu.
Dengan berakhirnya penindasan, mereka meninggalkan latar belakang akar rumput mereka dan masuk ke gelanggang politik mainstream yang dipenuhi tuntutan untuk meluhurkan political correctness. Anda dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara atau mengeluarkan pernyataan. Bisa jadi harga yang harus dibayar bukan saja kehilangan suara pemilih, tetapi juga kehilangan kebebasan di balik terali besi.
Ketika partai Nazi berkuasa di Jerman setelah menang pemilu 1933, mereka melanggengkan ketakutan terhadap orang Yahudi, Slavia, Romani (Gypsy), homoseks, komunis dan manusia ‘rendah’ lainnya jauh lebih gencar dari sebelum mereka berkuasa. Masih banyak contoh serupa dari rezim militer, komunis, anti-komunis, agama dan sebagainya; termasuk Orde Baru.
Mereka melanggengkan kekuasaan dengan cara menciptakan ketakutan di tengah masyarakat bahwa mereka selama ini menjadi korban musuh-musuh mereka. Ya, mereka mengkampanyekan ‘mentalitas korban’ di masyarakat.
Hal inilah yang digemborkan pejabat "pro rakyat". Masyarakat ditakut-takuti akan kehilangan jati diri karena diserbu imigran, kehilangan pekerjaaan karena direbut pekerja asing, kehilangan gengsi karena globalisasi, kehilangan jatidiri bangsa karena harus tunduk pada kriminalisasi sejarah.
Tanpa disadari negara jatuh dalam lingkaran setan sektarianisme karena kaum minoritas yang dianggap ‘ancaman’ itu juga melawan dengan politik identitas.
Beberapa negara tertentu menerapkan ‘batas-batas’ untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih mencegah konflik sektarian; kadang sangat jelas, kadang halus. Ada yang memberikan ‘jatah’ atau kuota keterwakilan di parlemen, tetapi tidak punya kekuatan apa-apa.
Ada yang membuat ‘kantong-kantong’ kelompok minoritas supaya mayoritas tidak terganggu. Ada yang sengaja membuat ketimpangan penegakan hukum: terlalu mahal harganya jika kelompok yang kuat dihukum karena menghina kelompok yang lemah, tetapi jika yang terjadi sebaliknya dianggap mencerminkan ‘rasa keadilan masyarakat’.
Yang paling halus mungkin memang cocok dengan budaya sopan santun kita: memaksakan political correctness pada kelompok minoritas. Yang muda, yang datang belakangan, yang hanya menumpang; harus sopan, mengalah dan tunduk pada yang senior, yang lebih dulu ada, yang memiliki negeri ini secara sah. Falsafah bahasa Jawa sudah jelas: anak dan pembantu harus bicara krama pada orang tua, tetapi orang tua boleh bicara ngoko pada mereka.
Yang perlu digarisbawahi, dalam politik identitas dan political correctness, hal tersebut malah bertendensi ke arah mobokrasi, dimana pemerintah hanya menerjemahkan preferensi mayoritas dalam bahasa-bahasa politik fancy.
Walaupun di kamar kebijakan ‘terkadang’ ide tersebut tidak akan dibawa oleh para penggunanya dan hanya akan dipakai sebagai bumbu penyedap dalam menarik minat calon pemilih, politik identitas dan political correctness akan memperkeruh diskursus publik, kondisi sosial, dan angka toleransi suatu negara.
Referensi
Poespoprodjo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya