Menjelang pemilu 2024, kampanye untuk menolak politik identitas semakin digencarkan. Misalnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf yang menegaskan bahwa NU dilarang menjadi fiqroh atau kelompok identitas yang diharamkan dalam Alquran.

Gus Yahya dalam Launching Press Conference Religion Forum (R20) International Summit of Religious Leaders di Ritz Carlton, Jakarta (7/9/2022) mengatakan, “kami menolak politik identitas apapun. Apakah itu identitas etnik, ataupun identitas agama. Termasuk identitas. Tidak boleh ada politik identitas. Kami menolak itu,”

Polarisasi dalam masyarakat merupakan bahaya yang mengancam jika politik identitas masih ada di Indonesia. Ketika jargon “NKRI harga mati” berganti menjadi politik identitas, maka masyarakat akan dengan mudah mendiskreditkan kelompok yang dianggap berseberangan dengan dirinya.

Jurnalisme Warga dalam Pusaran Politik Identitas

            Dinamika sosial politik di Indonesia sekarang ini ditunjang dengan perkembangan komunikasi digital terutama dengan penggunaan media sosial (Facebook, SnapChat, TikTok, Whatsapp, Instagram, Line, Twitter, maupun Youtube).

Medsos sekarang ini menjadi bentuk jurnalisme warga yang dikendalikan oleh individu-individu dan tidak bisa dituntut seperti halnya jurnalis-jurnalis profesional. Keadaan tersebut membuat jurnalisme warga menjadi sangat rawan untuk disalahgunakan guna menyebarkan informasi bohong dan ujaran kebencian karena tidak terverifikasi dengan baik.

Di era pasca-kebenaran sekarang ini iklim sosial-politik (terutama di medsos) seperti memupuk agar emosi atau hasrat bisa mengalahkan objektivitas dan rasionalitas, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda.

Politik identitas biasanya dengan mudah tersebar karena memainkan emosi suatu kelompok akan identitas berdasarkan ras, etnis, warna kulit, golongan atau agama tertentu akan suatu ketertindasan yang belum tentu kebenarannya.

Politik Identitas Menurut Francis Fukuyama

            Menurut Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “The End of History” berakhirnya perang dingin bukan hanya menjadi akhir dari perang panjang antara Barat dan Timur, melainkan akhir dari seluruh sejarah kehidupan manusia.

Kemenangan Barat ditandai dengan demokrasi liberal yang menjadi tatanan pemerintahan yang diterima oleh hampir seluruh dunia. Francis Fukuyama secara lebih lanjut dalam bukunya yang lain berjudul “Identitas Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian”, menjelaskan bahwa ancaman serius di era demokrasi liberal adalah meningkatnya politik identitas atau tuntutan atas pengakuan (demand for recognition) identitas yang hampir terjadi di seluruh dunia.

            Mengenai politik identitas, Fukuyama secara gamblang memberikan contoh bahwa kemenangan Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat pada 2016 sebagai bentuk nyatanya. Trump dengan jargonnya, “Make America Great Again” dan “American First” telah memainkan isu soal Anti-Imigran, persoalan istilah pribumi, ungkapan berbau SARA seperti misalnya larangan terhadap etnis tertentu untuk masuk ke negaranya, serta menjustifikasi agama tertentu sebagai teroris.

Hal yang mirip tetapi dengan bentuk lain dilakukan oleh banyak kepala negara, misalnya Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, Presiden Tiongkok Xi Jinping, hingga pendiri Al-Qaeda Osama bin Laden.

            Menurut Fukuyama, politik Abad 21 ditandai dengan fenomena politik identitas yang dilihatnya berdasar pada perubahan spektrum politik dari pembelahan kelompok Kanan dan Kiri yang berbeda dari era sebelumnya.

Jika dahulu perselisihan antara dua kelompok tersebut berkutat pada isu ekonomi, belakangan hal tersebut tidak lagi kuat. Pada abad 20, sangat nampak bahwa kelompok Kanan mengkampanyekan kebebasan dan keterbatasan intervensi negara dalam ekonomi, sedang kelompok Kiri menganggap ekonomi liberal sebagai penyengsara kehidupan manusia dan mempercayakan negara sebagai pengatur ekonomi.

Sekarang ini menurut Fukuyama terjadi pergeseran perjuangan menjadi berbasis identitas. Kelompok Kanan mengukuhkan identitas sosok patriot nasionalisme tradisional (termasuk soal keagamaan), sedangkan kelompok Kiri terkait dengan identitas kelompok marginal seperti LGBT, imigran, korban rasisme, dll.

            Untuk memahami mengenai politik identitas, Fukuyama menyampaikan kembali pemikiran Sokrates terkait dengan tiga bagian jiwa manusia yakni keinginan atau hawa nafsu (desire), akal sehat atau rasionalitas (reason), dan semangat (spirit) yang dalam Bahasa Yunani disebut Thymos.

Thymos merupakan sifat dasar prajurit atau orang yang mengabdi kerajaan (guardian) yang berisikan marah dan kebanggaan atas timbal balik dari penilaian seseorang kepada kita. Thymos menurut Fukuyama dalam era modern ini dikenal sebagai politik identitas.

Secara naluri, Thymos selalu mencari pengakuan atas identitas guna mencari rasa bangga, dihormati, dll. Selain Thymos, Fukuyama juga menjelaskan bahwa terdapat sifat lain yang mengikat manusia, yang ia sebut sebagai inside dan outside seseorang.

Pada setiap orang, menurut Fukuyama, terdapat semacam identitas yang otentik yang membedakannya dari orang lain. Ciri identitas otentik (inside) tersebut tidak boleh diganggu dan harus diakui oleh lingkungan sosialnya (outside).

Selain inside dan outsideFukuyama juga menjelaskan mengenai konsep martabat (dignity), dimana setiap orang membutuhan pengakuan bukan hanya di dalam kelas soasial, tetapi bagi seluruh umat manusia. Tuntutan atas martabat berpotensi disalurkan untuk didapatkan dengan gerakan politik.

            Contoh yang sering disebut sebagai keberhasilan politik identitas di Indonesia adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2016, ketika Anies Baswedan berhasil mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok/BTP).

Saat itu, Anies didukung oleh sebagian besar kelompok Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahok yang beretnis Tionghoa dan beragama Kristen sangat tidak diuntungkan saat itu.

Di samping tudingan penistaan agama, pendukung Anies juga memakai isu bahwa umat Islam harus memilih pemimpin dari agama yang sama. Pada masa menjelang Pilpres 2019 lalu, beredar pula video yang menunjukkan Ketua FPI Habib Rizieq Shihab berpidato meminta audiens untuk memilih Prabowo-Sandi karena dianggap sebagai pelindung umat islam.

Kubu Jokowi-Ma’ruf kala itu juga tidak lepas dari tudingan politik identitas, yakni terkait dengan pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres yang diyakini analis media sosial Ismail Fahmi sebagai cara untuk menjaring kelompok muslim dan melindungi Jokowi dari isu-isu anti Islam.

Politik Identitas, Realitas yang Tak Terhindarkan 

            Francis Fukuyama melihat bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan politik identitas itu sendiri karena hal tersebut adalah respon alamiah yang tidak terhindarkan terhadap ketidakadilan.

Setiap orang orang dan setiap kelompok yang mengalami rasa tidak hormat dengan caranya masing-masing mencari kembali martabatnya. Politik identitas dengan demikian meningkatkan dinamikanya yang dengannya masyarakat membagi diri menjadi kelompok lebih kecil berdasarkan pengalaman hidup viktimisasi mereka yang khusus.

Fukuyama kemudian akan menyarankan untuk mempromosikan kepercayaan atas identitas nasional yang dibangun dengan nilai-nilai demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini harus ditegakkan sebagai wujud penghargaan bagi setiap orang tanpa menolak nilai-nilai kebudayaan parsial. Contoh dampak baik politik identitas adalah rasa nasionalisme seperti pada Sumpah Pemuda tahun 1928, yang merupakan politik identitas ke-Indonesia-an yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Penutup

            Lebih lanjut Fukuyama menyoroti pula politik identitas yang sekarang ini semakin difasilitasi oleh teknologi. Ketika internet pertama kali digunakan secara massal pada 1990, banyak pengamat termasuk Fukuyama percaya bahwa hal itu akan menjadi kekuatan penting guna mempromosikan nilai-nilai demokrasi.

Kemunculan media sosial secara khusus tampak menjadi alat yang memungkinkan kelompok-kelompok yang berpikiran sama untuk bersatu dalam masalah yang menjadi perhatian yang sama. Gerakan Black Lives Matter atau gerakan #metoo adalah bukti nyata pengaruh besar dari media sosial.

Media sosial menghubungkan orang-orang yang berpikiran sama tanpa batas geografi ataupun tirani kekuasaan. Di saat yang sama, pada media sosial, peran editor seperti pada media tradisional, pemeriksa fakta, dan berbagai kode etik jurnalisme profesional tidak berlaku. Akibatnya media sosial menjadi tempat subur untuk berita bohong dan memudahkan upaya untuk melemahkan lawan politik.

Maka, narasi di media sosial yang berbau ketidakadilan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, adu domba, perundungan, dan penggunaan politik identitas secara destruktif harus ditanggapi dengan kritis dan melalui verifikasi fakta.

 

SUMBER-SUMBER:

Fukuyama, Francis, IdentitasTuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2020.

Haryatmoko, “Politik Identitas dan Keadaban Publik”, dalam Koran Kompas, Selasa 6 Desember 2022.

Sugiharto, Bambang, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi kajian filosofis atas permasalahan budaya abad ke-21, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Wattimena, Reza A.A, Demokrasi Dasar Filosofis dan Tantangannya, Yogyakarta: Kanisius, 2016.

A43, “Jokowi Juga Pakai Politik Identitas”, 11 April 2019, https://www.pinterpolitik.com/in-depth/jokowi-juga-pakai-politik-identitas/,(diakses pada 6 Desember 2022, pkl. 17.14).

Jayanto, Dian Dwi, “Politik Identitas Abad 21 dan Gagasan Liberal Fukuyama”, 21 Oktober 2019, https://www.pojokwacana.com/politik-identitas-abad-21-dan-gagasan-liberal-fukuyama, (diakses pada 6 Desember 2022, pkl. 17.07).

Nathaniel, Felix, “Politik Identitas Tetap Buas, Masyarakat Bawah Kena Imbas”, 3 Desember 2019, https://tirto.id/politik-identitas-tetap-buas-masyarakat-            bawah-kena-imbas-emEE (diakses pada 6 Desember 2022, pkl. 16.55).