Dunia politik dan panggung teater ternyata memiliki kesamaan yang kental. Walaupun kedua hal ini memiliki wilayah otonomi yang berbeda.
Sudah begitu lumrah dalam pentas teater, pesan-pesan politis begitu kuat terasa. Lihat saja pentas Teater Koma, Bengkel Teater, dan komunitas teater lainnya. Dalam pentasnya, fragmen-fragmen kehidupan politik begitu kuat. Hingga tak jarang adegan dalam teater tersebut membuat marah penguasa.
Pesan-pesan politik dalam teater dapat dilihat dalam pemilihan tema, judul, ataupun setting panggung. Narasi dan pemilihan kata, dalam dialog-dialog sebuah pentas teater, dapat pula menjadi medium menyampaikan pesan politis yang ingin digaungkan. Tak heran karena pentas teater dapat menjadi simulasi dari keadaan dan penderitaan rakyat.
Begitu pula dengan dunia politik. Setiap politikus membangun citra dirinya lewat sebuah panggung politik. Dalam panggung politik, kadang ada konflik, pertentangan, atau umbar kemesraan atau rasa keprihatinan dalam sebuah dialog, perilaku, atau peristiwa. Ada tangis, ada tawa, ada kepalsuan, ada kejujuran, bahkan ada pula penghianatan.
Maka jangan heran jika sekarang mereka berteman dan mesra, bisa saja nanti mereka menjadi bermusuhan. Atau sebaliknya, dulu menghujat, sekarang berbalik mengumbar kemesraan. Seakan hanya satu semboyan yang berlaku: tak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.
Bagaimanapun miripnya dunia politik dengan teater, keduanya tetaplah memiliki wilayah yang berbeda. Namun, dewasa ini dunia politik Indonesia begitu riuh, bak panggung sandiwara, seakan tak ada lagi batas di antara keduanya. Apalagi dengan adanya program-program TV yang setiap hari menayangkan debat-debat politik, lengkaplah seolah tak ada batas lagi antara politik dan panggung teater.
Dalam situasi seperti ini, untuk memahaminya, masyarakat dituntut belajar keduanya, ilmu politik sekaligus ilmu panggung atau teater. Jika tidak begitu, kebingungan dan pemahaman yang keliru pasti menghinggapi pikiran kita.
Akting Politik
“Politik adalah seni," begitu sebuah idiom dalam dunia politik berkata. Tak salah karena dalam banyak kondisi, politik memerlukan permainan peran. Dunia politik banyak menuntut akting dan sandiwara.
Dalam berwacana, memainkan isu-isu dan mempermainkan opini publik, proses “kesenian" juga terlihat di dalamnya. Semuanya berhubungan dengan usaha meraih simpati, mematikan lawan, merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Namun terasa ada yang aneh, mengapa ketika kebebasan politik dikekang, dulu pentas teater politik begitu bergairah? Kita ingat di era Orde Baru, pentas-pentas Teater Koma, Bengkel Teater, selalu berhasil menyedot perhatian publik.
Apakah pentas-pentas itu telah diambil alih oleh “pentas“ teater sesungguhnya, pentas realis yang dimainkan oleh para politikus? Atau kita sudah merasa cukup terhibur dan puas dengan pentas aktor-aktor politikus itu, mengomentarinya tiap hari di media sosial dan lalu menjadikannya viral? Apakah akting para politikus lebih memikat sehingga tak perlu lagi “tafsir“?
Seni Mahal
Di samping persamaan memainkan peran, ada lagi persamaan politik dan teater, yakni keduanya “seni mahal“.
Jika dalam seni teater ongkos produksi banyak tersedot oleh tata artistik panggung, kostum, alat peraga, dan setting panggung, dan proses latihan yang panjang, yang mana hal ini memerlukan biaya yang tak sedikit pula, di dunia politik, untuk menguasai isu, misalnya, seorang politikus harus memasang iklan, membuat video klip, atau menyewa buzzer, melakukan sumbangan, yang mana goalnya adalah menyetting citra dirinya agar sesuai dengan target yang diinginkanya, yakni suara masyarakat.
Ongkos-ongkos tersebut, jika direnungkan, ternyata untuk sebuah hal yang bertolak belakang. Jika dalam politik biaya yang mahal tersebut untuk sebuah kebohongan, sebaliknya biaya yang mahal dalam teater adalah harga yang ditebus untuk sebuah kejujuran. Dengan catatan, kejujuran sang seniman masih bisa diandalkan.