Sebentar lagi pemilu serentak akan segera dilaksanakan, mulai dari pemilihan presiden hingga sampai kepada pemilihan anggota dewan perwakilan daerah. Tentu, pada pemilu 2019, arah kebijakan dan peraturan baru akan diberlakukan, sehingga strategi politik akan berubah.

Partai politik sebagian telah mengatur strategi jitu agar dapat memenangi pemilu serentak, membentuk relawan dan tim suksesi. Menariknya, sasaran parpol dalam perekrutan relawan dan tim sukses adalah generasi milenial.

Pembicaraan generasi milenial tiap hari makin hangat, padahal ukuran usia millenial di sejumlah kalangan masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa generasi millenial adalah mereka yang lahir pada tahun kisaran tahun 1980-1999.

Namun terlepas dari perdebatan usia, hari ini generasi milenial paling banyak diincar dan didekati. Dalam kontestasi politik hari ini, misalkan, banyak para tokoh politik yang mengatakan dirinya sebagai perwakilan dari generasi milenial, berpakaian ala milenial, gaya bicara hingga sampai dengan berinteraksi di ruang publik dan media sosial layaknya generasi milenial.

Namun, strategi dan komunikasi yang ia lakukan masih tetap pada komunikasi gaya lama.

Ini tidak salah, dan dalam kontestasi politik, sesuatu hal demikian terlihat wajar. Apalagi pada tahun 2019 nanti, pemilih yang berusia 17-38 tahun mencapai 55% (Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC).

Generasi milenial sebenarnya lahir dari adanya fenomena bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia. Bonus demografi ini diprediksi akan terjadi di antara tahun 2020-2030. Berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk usia produktif akan mencapai 70 persen dan non produktif 30 persen, pada tahun 2020. Artinya bahwa penduduk dengan usia produktif yang mencapai 70 persen tersebut di isi oleh mereka dari generasi milenial.

Persentase ini di yakini akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Dan setelah itu, komposisi bakal mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itulah bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.

Generasi milenial yang memiliki karakteristik komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, serta cara pandang yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sehingga, mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya.

Sayangnya, gerakan milenial dalam kontestasi politik Indonesia masih belum mendapatkan muaranya. Generasi milenial masih dianggap sebagai generasi yang apatis terhadap politik. Hal ini tentu berbeda dari apa yang terjadi di dunia yang sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau politik milenial terlepas dari apa pun pandangan politik yang mereka yakini.

Seperti Macron, misalkan, menjadi Presiden termuda Prancis dalam sejarah dengan kisaran usia 39 tahun,atau Sebastian Kurtz, pada usia 31 tahun telah menjadi kanselir austria, dan juga pemimpin demonstrasi besar-besaran di Hongkong yakni Nathan Law, pada usianya yang begitu muda 23 tahun mampu mengantongi 50 ribu suara dan menjadi anggota parlemen Hong Kong.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalkan, yang mengatasnamakan diri sebagai partai generasi milenial, dimana rata-rata usia pengurus PSI dibawa dari usia 33 tahun, tapi menentukan dukungan dan mengajukan capres dan cawapres pada pemilu 2019, masih mengambil dari tokoh golongan tua.

Hal ini tentu dinilai belum mendekati keinginan dan aspirasi dari generasi milenial yang cenderung ingin melakukan perubahan secara cepat dan reaktif terhadap lingkungan sekitarnya.

Belum lagi munculnya stigma dikalangan generasi milenial bahwa politik merupakan suatu hal menjijikan dan kotor, pemberitaan tentang banyaknya kasus korupsi dari anggota legislatif serta pejabat publik menambah pemahaman pada generasi milenial bahwa politik memanglah suatu hal yang kotor.

Disinilah diperlukan pendidikan politik bagi generasi milenial agar dapat berpartisipasi dalam politik, tidak hanya sebagai tim suksesi tetap bisa pula menjadi aktor dan tokoh serta pemimpin di era sekarang.

Pendidikan politik generasi milenial tidak didapat dengan cara-cara konvensional melainkan melalui media sosial. Sehingga transformasi politik yang terhubung ke internet dapat memberikan akses yang bersifat personal.

Menurut Tapscott, kesadaran modernitas pemuda atas nasionalisme tidak lagi bersifat historis, melainkan sangat fungsional. Tentu dengan adanya pendidikan politik akan dapat membuka pandangan pemuda pada perihal isu-isu ekonomi, sosial, dan politik.

Tentu, ruang-ruang bagi generasi milenial juga harus terbuka luas, golongan tua dan para elite politik harus juga dapat memberikan kepercayaan untuk terlibat aktif dalam dunia politik.

Sehingga, generasi milenial yang selama ini hanya menjadi voters dapat berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional.